JANGAN BERSEDIH DUHAI KEKASIH
Sebagai rasa syukur kepada Allah Swt., Milad Mbah Nun ke-70 digelar di beberapa simpul Maiyah. Beragam acara disusun, dari doa bersama hingga pameran arsip perjalanan karya Mbah Nun. Saya yakin acara-acara itu digagas tidak sekadar untuk merayakan happy birthday. Gelaran Milad ke-70 tahun bukan terutama soal Hari Ulang Tahun, karena kesadaran kita bisa lahir kembali kapan pun, hari apa pun, atau jam berapa pun.
Tasyakur dinawaitukan sebagai upaya melakukan internalisasi nilai-nilai, menanam kembali benih-benih ilmu Maiyah dalam tanah kesadaran kita. Internalisasi artinya kita fokus pada apa, mengapa, dan bagaimana nilai-nilai Maiyah: paradigma, perspektif, sudut pandang (bersama ushul dan furu’-nya), serta metode penerapannya.
Dari “Siapa” Bergeser ke “Apa”
Kalau diperkenankan meminjam bahasa Al-Qur’an untuk menjawab pertanyaan: siapa sosok atau figur Mbah Nun? Jawabannya adalah innamaa ana basyarun mistlukum. Aku adalah basyar (manusia dengan fitrah kemanusiaan yang melekat pada diriku) seperti kamu (Al-Kahfi ayat 110).
Hubungan seorang mbah dan cucu adalah hubungan manusiawi, hubungan kasih sayang, hubungan yang dilandasi saling tidak tega untuk tidak saling menguatkan, menumbuhkan, dan membahagiakan. Relasi kemanusiaan ini tidak dijalin oleh kalkulasi pamrih politik dan ekonomi. Bahkan menuruti syahwat struktural keagamaan juga tidak.
Kita pun mengerti mengapa Ibu Halimah—yang belum tertandingi kebiasaannya minta maaf dan memintakan maaf—menjadi teladan kita. Seyogianya, memang demikianlah konsekuensi basyariah kita sebagai manusia tempatnya salah dan lalai. Artinya, tidak ada kultus pribadi, tidak ada sosok yang diberhalakan, tidak ada figur nir kesalahan yang dinabikan apalagi dituhankan. Dan Maiyah konsisten dengan humanisasi ini.
Namun, kita tidak berhenti pada humanisasi. Kita mengarahkan fokus pada yuuhaa ilayya, telah diwahyukan kepadaku (Al-Kahfi ayat 110). Derivasi ini tidak untuk menyamakan, menyejajarkan, menyandingkan siapa pun setara dengan Nabi Muhammad. Pemaknaan ini semata-mata menjadikan Al-Qur’an sebagai spirit sinau bareng supaya nyambung, muqtadlal hal, kontekstual dengan kebutuhan sejarah kita saat ini di sini.
Keyakinan faktual (istilah ini pinjam dari Syaikh Muhammad Nursamad Kamba) untuk memaknai yuuhaa ilayya, dengan demikian, bukan pada pengertian terminologi wahyu sebagaimana diterima Nabi Muhammad, melainkan pada makna etimologi: karomah, ilham, inspirasi, lintasan suara hati, “isyarah yang cepat” (al-isyaarah al-sarii’ah).
Pada konteks Tasyakur Milad Mbah Nun ke-70, fokus pada keyakinan faktual atas “wahyu” (apa) lebih urgen ketimbang fokus pada figur (siapa). Kendati apa dan siapa adalah dua sisi keping yang tidak dapat dipisahkan.
Gamblangnya, apa yang diisyarahkan secara cepat (al-isyaarah al-sarii’ah) seperti ilham, inspirasi, wangsit serta perkataan dalam bentuk lambang-isyarat (al-kalaamu ‘alaa sabiili al-ramzi wa al-ta’ridli) seperti karya puisi, esai, naskah drama—yang semua itu merupakan “wahyu” dari Allah Swt—seyogianya menjadi fokus pemaknaan dan refleksi internalisasi.
Shohibu Baity
Apa indikator pencapaian dari pembacaan, pemaknaan, dan internalisasi “wahyu”? Adalah annamaa ilaahukum iaahun waahid. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Tuhan yang Tunggal (Al-Kahfi ayat 110). Sudut ruang kesadaran kita diisi penuh—sepenuh-penuhnya—oleh tauhid kepada Allah Swt. Shohibu baity. Allah menjadi Tuan Rumah Penghuni Utama hatiku.
Tauhid menjadi titik pusat kesadaran sekaligus cakrawala di mana kita berpijak dan berjalan menghampirinya. Pusat dan hamparan cakrawala bagi siapa pun yang apabila ingin berjumpa dengan Rabb-nya hendaklah mengerjakan aktivitas yang berdaya guna (‘amalan shaliha) dan tidak bersekutu dengan siapa dan apa pun dalam menghamba kepada Allah Swt.
“Menyatu dengan Tuhan adalah menyatu dengan kebaikan dan cinta kasih. Artinya seseorang yang merealisasikan tauhid akan menjadi personifikasi kebaikan dan cinta kasih; apa pun yang dilakukan dan diperbuatnya semata-mata hanya kebaikan, semata-mata hanya cinta kasih,” ungkap Syaikh Nursamad Kamba.
Menauhidkan Allah tidak menjadikan seseorang malas bekerja, gengsi mengantarkan anak sekolah, wegah korah-korah, atau umbah-umbah. Tauhid tidak hanya beririsan dengan amal saleh, keduanya berada di dalam satu bulatan kesadaran seorang basyar. Ia adalah spirit sekaligus aksi nyata.
Ishbiruu wa Shabiruu
Namun, fitrah basyariyah kita merasakan cobaan, ujian, tantangan, dan sejenisnya ketika mendaki jalan perjuangan. Fitnah, fait accomply, character assassination, fakta sosial politik dholuman jahuulaa mengiris logika kebenaran, memojokkan kita di ruang sepi dan asing.
Kita lemas, bersedih, dan berada di ambang pintu keputusasaan terhadap upaya manusia dalam memperbaiki keadaan. Tetapi, kita bertahan dalam optimisme: janganlah kamu berputus asa terhadap kasih sayang Allah.
Oleh karena itu ishbiru: bersabarlah. Wa shabiruu: lipatgandakanlah kesabaranmu. Ishbiru berlaku pada skala personal individual, wa shabiruu pada komunal sosial. Kita memperteguh kesabaran pribadi masing-masing. Lalu saat Maiyahan kita melipatgandakan dan saling menguatkan kesabaran pada skala komunal-sosial yang lebih luas.
Mengapa Allah menganjurkan ishbiru wa shabiru? Agar kita memiliki kewaspadaan (wa raabithuu) dan keteguhan hati melaksanakan Amar Maiyah dan Jalan Peradaban Islam.
Spirit Al-Kahfi 110 dan Ali Imran 100 mengantarkan kita tiba di gerbang Milad Mbah Nun ke-70. Mohon maaf, ngapunten sanget, saya (dan anak putu) masih tertatih-tatih menjaga tongkat Maiyah.
Jangan bersedih duhai kekasih / Daku pahami hatimu yang perih / Hadapilah dengan jernih /
Berhentilah merintih-rintih / Pandangilah luasnya bumi serta cerahnya matahari / Tuhan selalu merahmati / Burung pun turut menari-nari.
Jombang, 24 Mei 2023