ILLEGALOGY
(Mukaddimah Majelis Ilmu Jamparing Asih Bandung, Rabu 30 November 2022)
Sejak abad kedelapan belas, manusia telah mencapai sebuah titik balik peradaban yang mempengaruhi laju perubahan dunia yang dikenal dengan modernitas. Perubahan atas laju perubahan ini membuat manusia semakin cepat berlari demi menyesuaikan eksistensinya agar tidak tertinggal oleh arus perubahan zaman. Akan tetapi, dalam tahapan tertentu modernitas nyatanya gagal dalam mencapai tujuannya. Bahkan tidak hanya itu, ia menimbulkan dampak negatif yang sangat signifikan bagi kehidupan manusia dan alam. Manusia mulai menyadari bahwa modernitas yang bertumpu pada efektifitas dan efisiensi pekerjaan telah melahirkan ilmu-ilmu tanpa kebijaksanaan, teknologi dan industri tanpa kepedulian lingkungan, demokrasi tanpa moralitas, dan agama tanpa penghayatan spiritual. Itulah yang terjadi di dunia dalam realitas kekinian. Meskipun masih ada beberapa hal yang bernilai positif.
Modernitas telah membawa manusia ke dalam jurang permasalahan hidup yang semakin mengkhawatirkan, mulai dari permasalahan gejala sosial hingga permasalahan gejala alam yang semakin tidak menentu dan terprediksi, seperti pandemi dan bencana alam. Kecerdasan manusia yang diwakili oleh ahli-ahli dan ilmuwan yang dilengkapi dengan teknologi canggih pada akhirnya tidak mampu mengendalikan gejala-gejala alam yang terjadi. Pakar geologi level dewa jebolan kampus modern bergengsi tingkat global hari ini, hanya bisa ngintip atas kejadian gempa di Cianjur yang sampai tulisan ini dibuat, masih berlangsung. Akan tetapi, setidaknya itulah yang dianggap paling efisien dan praktis. Bagaimana tidak, sebelum adanya BMKG orang-orang dulu masih menggunakan kentongan untuk mengabarkan khalayak bila terjadi sesuatu di pemukiman tertentu.
Dengan demikian hamparan realita muncul sebagai tantangan tersendiri bagi manusia modern saat ini. Kita tidak begitu gagah berkata bahwa manusia sebagai khalifatullah fil earth harus mampu memberikan jalan keluar atas seluruh problematika kehidupan yang dihadapinya sendiri untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian hidup. Seperti yang diobsesikan oleh beberapa kelompok manusia yang bahkan ia berani menjadi pemimpin atas manusia lainnya. Misalnya dengan membentuk lingkaran civil society, perserikatan, organisasi pemuda, partai politik, bahkan negara. Hal tersebut merupakan upaya manusia untuk menjawab berbagai persoalan hidup di muka bumi sebatas kemampuannya. Bahkan sebuah prestasi yang luar biasa sehingga manusia mampu mengakses sesuatu di luar jangkauan dirinya dengan menciptakan produk dari buah pikir. Namun perlu diingat, semakin banyak persoalan yang mampu manusia atasi justru memunculkan problematika baru yang tak berkesudahan.
Pertanyaan sederhana yang kemudian muncul adalah bagaimana leluhur kita di Nusantara kala itu menghadapi situasi yang silang sengkarut dan kacau?. Apakah justru semacam bencana alam dan tragedi kemanusiaan tidak pernah terjadi?. Bahkan kita perlu curiga, jangan-jangan apa yang kita anggap saat ini sebagai gejala alam atau bencana alam justru tidak dianggap sebagai bencana alam. Secara sepintas hal itu hanyalah problem semiotik antara signifier dan signified, atau sebatas pergeseran makna sebuah teks dan ungkapan akibat dialektika kultural. Akan tetapi perbedaan itu berimplikasi besar terhadap paradigma atau cara pandang kita terhadap realitas sekitar. Bisa dibuktikan ketika kejadian banjir kita maknai sebagai teguran Tuhan, sikap yang akan kita munculkan adalah kembali meningkatkan penghayatan dan perenungan, memperbaiki akhlak dan moralitas, serta mengendalikan hawa nafsu. Adapun ketika kita memaknai banjir sebagai bencana, ekspresi yang kita munculkan adalah membuat pamlet ucapan pray for anu secara resmi mengatas namakan komunitas, lembaga, dan institusyi tertentu. Untuk yang terakhir disebutkan ini, tentu saja ekspresi yang positif. Namun kita perlu jujur, ekspresi tersebut belum tentu menjadi maqom dalam penghayatan hati kita, karena masih mengutamakan kamuflase lahiriyah, terlebih apabila menjadi standar formal seolah-olah sebagai satu-satunya ekspresi yang legal dalam merespon terjadinya gejala alam.
Formalisasi dan legalisasi itu lah yang kita sebut sebagai fenomena illegalogy (dibaca iyyegalogi: doble eye). Sebuah fenomena modernitas yang menjadi denyut nadi eksistensi manusia modern. Meminjam istilah Descartes, aku legal, aku formal, maka aku ada. Dalam kejadian kecelakaan, yang kita lakukan adalah acuh saja, karena kita bukan pihak yang legal dari institusi formal untuk menangani kecelakaan itu. Justru jika kita bergerak secara sukarela, setengah kemungkinan kita bisa dijerumuskan menjadi pelaku. Adanya kerusakan lingkungan, yang mesti kita lakukan adalah membentuk lembaga yang bergerak di bidang perlingkunganan agar kegiatan kita legal formal dan berizin dari dinas terkait. Termasuk tulisan ini yang tidak berarti apa-apa karena tidak terindeks di jurnal terakreditasi tingkat internasional, apalagi tidak dilengkapi sitasi yang hari ini sangat praktis dilakukan dengan aplikasi Mendeley. Mungkin suatu saat nanti kita akan menjumpai seorang korban begal yang tidak boleh menyelamatkan diri karena bukan pihak yang legal dan formal yang diizinkan untuk menangani perkara begal. Nampaknya kaidah fikih al ashlu fi al-asya’u al-ibahah, illa ma dalla dalil yuharrimuh, dimaknai menjadi semua perkara asal-muasalnya terlarang, kecuali jika sudah mendapatkan izin.
Hal itu menjadi bahan renungan bersama mengenai segala hal, baik sosiologis, antropologis, maupun kosmologis secara mendalam disertai harapan dan doa yang, menurut bahasa Alquran, antakhsya’a qulubuhum, yakni hati yang khusyu’ dan tulus. Dari sini muncul apa yg sering disebut tuah, keramat, feel, rasa, estetik dalam setiap buah karya manusia. Ajaran leluhur tentang presisi dan keseimbangan sangat relevan untuk dihayati pada konteks saat ini. Mungkin problematika yang bertubi-tubi menimpa kita bukan karena ketidakmampuan dan keterbelakangan kita, melainkan karena kita sudah lupa untuk memposisikan bahwa kita sebagai manusia dan produk yang kita ciptakan (untuk mempermudah dan membantu aktivitas pekerjaan) satu sama lain sebagai hubungan intra subjek bukan subjek-objek. (Redaksi Jamparing Asih)