MENANTI DEKLARASI REVOLUSI
Pasca 20 hari tragedi Oktober hitam yang terjadi di Kanjuruhan, masih kita dengar satu persatu kabar kepulangan saudara-saudara kita Aremania. Dengan keikhlasan hati, mari kita tundukkan kepala sejenak, mengirimkan untaian doa terbaik bagi gemuruh jiwa-jiwa yang menemu ajalnya, di stadion Kanjuruhan, Malang. Alfatihah.
Sebagai orang yang cinta dan mencintai sepakbola, tentu saya (dan kita semua) turut berduka sedalam-dalamnya atas peristiwa tragedi Kanjuruhan. Yang hilang adalah nyawa, bukan sekedar angka. Ratusan jiwa melayang. Bahkan satu jiwa pun terlalu mahal untuk membayar sebuah permainan bernama sepakbola. Seperti yang disampaikan Mbah Nun dalam video “Tragedi Kanjuruhan : Ujian Mawas Diri NKRI”, bahwa tragedi Kanjuruhan bukan sebatas urusan sepakbola. Tetapi lebih tentang tata kelola tatanan hidup. Yang terjadi di Malang bukan tragedi sepakbola, melainkan tragedi tatanan hidup.
Seluruh elemen yang terkait pertandingan sepakbola, yang meliputi tim, suporter, panpel, official klub, aparat keamanan, media broadcasting (TV), federasi dalam hal ini PSSI, dan pemerintah harus evaluasi. Ini tamparan keras sekaligus luka yang njarem bagi persepakbolaan nasional. Tim Gabungan Independen Pencari Fakta atau TGIPF, yang dipimpin langsung oleh Prof. Mahfud MD harus bergerak cepat—cermat mengusut tuntas semua yang terlibat dalam tragedi Kanjuruhan. Usai fakta ditemukan, semua harus tunduk dan patuh pada konsekuensi hukum yang berlaku. Tanpa pandang bulu.
Basis suporter dari berbagai daerah telah memulai. Mereka melakukan rekonsiliasi. Di Malang, Surabaya, Solo, Jogja, Bandung, Makassar, dan di kota-kota lain. Mereka bertemu, berkumpul, berangkulan, menggaungkan perdamaian. Islah. Dalam nafas dan spirit yang sama, kumpulan suporter ajur-ajer menggelar doa bersama teruntuk saudara-saudara Aremania. Semoga tenang di sana.
Jika barisan suporter akar rumput telah beritikad baik untuk berbenah, apakah stakeholder berikut federasi sepakbola Indonesia beserta jajarannya bersedia melakukan hal yang sama? Sekali lagi dibutuhkan akal sehat, mawas diri, dan kebesaran hati untuk menyadari bahwa kemanusiaan di atas segalanya. Pemerintah (Presiden & Kementrian yang membawahi federasi PSSI) harus tegas. Dan PSSI kudu melek.
Adalah percuma jika perbaikan tata kelola persepakbolaan nasional hanya dilakukan oleh satu pihak saja. Tanpa dibarengi etos perbaikan kolektif dari seluruh elemen bangsa. Dari akar rumput hingga pemangku kekuasaan yang berada di atas. Amat sangat berdosa jika ratusan nyawa yang hilang di lapangan Kanjuruhan, tidak menjadikan insan pelaku sepakbola tanah air untuk mawas diri, lebih berhati-hati, serta memiliki kesadaran (individu & kolektif) bahwa keselamatan jiwa yang paling utama, dan di atas segala-galanya.
Bahkan seumur hidup kami rela tanpa ada sepakbola, jika tidak ada deklarasi resmi dari pemerintah, PSSI, PT. Liga, jajaran klub, aparat (polri), basis supporter, dll, untuk melakukan revolusi pembenahan total di segala lini. Senada dengan pandangan Mbah Nun, bila perlu diterbitkan payung hukum, aturan, pasal-pasal baru, yang komprehensif, edukatif, solutif, yang wajib ditaati dan dirawat bersama-sama. Agar tak terulang lagi hujan nyawa yang melayang lantaran sepakbola. Terakhir, tak lupa kita kawal terus dan usut tuntas Tragedi Kanjuruhan.
Gemolong, 22-10-2022