JUNTA LAYANG-LAYANG
(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan Surabaya Edisi April 2025)

Demokrasi kita hari ini tak ubahnya layang-layang putus dari benangnya. Terbang gemulai tanpa kendali di langit wacana, angin politik menggiring ke arah yang tak tentu. Sementara, benang simbol kedaulatan rakyat telah lama terlepas dari genggaman. Ia masih terlihat megah dari kejauhan, tapi pelan-pelan jatuh bebas, entah di tangan siapa akan mendarat.
Sebagaimana tercatat dalam esai Titik Nadir Demokrasi, “semua standar menjadi cair, kehilangan kejelasan makna, mudah dimanipulasi, serta kehilangan ketegasan dan kepastian.” Layangan yang dulu dikendalikan oleh rakyat kini berubah menjadi pertunjukan elitis di langit kekuasaan. Hiasan demokrasi masih dipamerkan, tapi esensinya tercerabut dari bumi yang melahirkannya.
Dalam situasi seperti ini, prajurit bukan cuma penjaga garis batas, tapi menjadi harapan terakhir agar bisa menemukan ujung benang yang nyaris hilang itu. Dengan identitas yang ditanamkan sejak awal bukan hanya sebagai seragam, tapi sebagai simbol pengabdian mereka memegang tanggung jawab untuk tidak membiarkan layangan bangsa ini benar-benar jatuh dan rusak.
Personalitas mereka, yang dibentuk oleh nilai disiplin dan integritas, menjadi tumpuan agar tak ikut hanyut dalam angin kekuasaan. Dan jati diri mereka sebagai tentara rakyat, pejuang, nasionalis, dan profesional, menjadi pegangan untuk tetap berdiri ketika yang lain mulai tumbang.
Pertanyaannya kini, apakah para penjaga ini masih bisa menemukan benang itu, menariknya perlahan ke arah tangan rakyat? Atau mereka justru membiarkan layangan demokrasi itu jatuh ke tangan yang salah yang akan memotong benang terakhir, lalu menjadikannya mainan kekuasaan? Mari temukan ujung benang layangan putus ini di rutinan BangbangWetan edisi 18 April 2025!
(Redaksi Bangbang Wetan)