KEKASIH

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Poci Maiyah Tegal Edisi Agustus 2024)

“Yang penting bukan apakah kita menang atau kalah, Tuhan tidak mewajibkan manusia untuk menang sehingga kalah pun bukan dosa, yang penting adalah apakah seseorang berjuang atau tak berjuang.”

Mari kita awali dari nasihat Mbah Nun itu. Tak satupun di semesta ini yang tidak mengalami perjuangan, pergerakan, perubahan. Bahkan, saat kita duduk disini selama satu jam, bumi telah berputar, membawa kita sejauh kira-kira 1600 kilometer, tanpa kita sadari. Dan betapa sayang waktu hidup ini, jika dalam satu jam, melakukan perjalanan sejauh 1600 kilometer, kita tak mendapatkan apa-apa, tak belajar apa-apa.

Tidak bisa disebut cinta, jika tidak berjuang. Bahkan, para neoplatonis yakin jika memang cinta, jangan katakan yang kita lakukan pada kekasih adalah perjuangan dan pengorbanan, melainkan  fana alias menghilangkan eksistensi diri demi yang dicinta. Begitulah seorang kekasih. Dari kata ke-kasih, bukan tentang tindakan transaksional, melainkan memberi, mengasih, mencintai. Dalam konteks bermaiyah, itulah yang Mbah Nun contohkan selama ini. Seorang kekasih, yang terus memberi, mencintai, anak cucu maiyah. Sebagai bukti, perkataan Allah :

Jika engkau mencintai-Ku, ikutilah kekasih-Ku itu (Nabi Muhammad)

Qul in kuntum tuhibunallah fattabi’uni yuhbibkumullah.. (Ali Imran : 31)

Lihat juga

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.”

Jika seorang hamba berkata cinta pada Tuhan, dibuktikan dengan mencintai apa yang Rasulullah cintai : yaitu ummatnya.

“Pelajaran terpenting bagi calon pemimpin adalah kesanggupan menjadi rakyat. Barangsiapa sanggup menjadi rakyat yang baik, itulah pemimpin yang baik. Maksudnya, Sikap mental seorang pemimpin haruslah sikap mental kerakyatan.”

Bukan ujian utama, jika seseorang berkata tidak akan korupsi (misalnya) tanpa tumpukan uang yang berada di depannya. Bukan ujian berat, jika seseorang berkata tidak akan tergoda wanita tanpa sang wanita cantik yang siap melayaninya saat di tempat sepi. Bukan ujian berat jika seseorang berkata tidak akan menyeleweng saat diberi jabatan selama ia belum berada di cengkeraman tanggung jawab besar. Dan bukan ujian berat, jika seseorang berkata tidak masalah tidak menjadi apa-apa selama ia memang belum pernah mendapatkan amanah kepemimpinan ummat. Maka, di Maiyah kita diajarkan agar tidak terjebak dalam padatan-padatan, tidak mementingkan kemenangan, kesuksesan, kekayaan, tanpa kondisi kelanjutan dari itu. Menang, sukses, kaya, itu penting, jika disertai mentalitas dan disiplin seorang kekasih Tuhan. Dalam nasehat Mbah Nun :

Seorang pemimpin itu harus cerdas akal, berani mental, dan suci hati. 

Tak masalah menjadi rakyat, tak menginginkan status apapun, berani tandang dan tanding, dan di hatinya, selalu hanya bersama Tuhannya saja. Sebab, Dia yang Maha Cinta, tak mau bersama siapa saja yang membawa bekas-bekas dunia. Tuhan tak memberi dua hati dalam satu dada, dan hati itu hanya untuk Dia saja. 

Maa ja’alallahu li rojulin min qolbayni fii jaufih

Dia mencintai kesucian, bagaimana mungkin seorang hamba dapat bersama-Nya dengan tetap dalam kekotoran dunia?

“Orang boleh salah, agar dengan demikian ia berpeluang menemukan kebenaran dengan proses autentiknya sendiri.”

Selayaknya seorang hamba, tak mungkin mampu mencapai-Nya. Tapi rahmat-Nya, akan selalu mampu meraih kita. Tidak mungkin manusia bisa hidup tanpa salah. Sebagaimana ketidakmungkinan seseorang menjadi hamba yang tak bisa berbuat benar. Manusia sangat dinamis. Bahkan, saat benar saja manusia masih bisa disalah-salahkan, apalagi ketika salah. Jika pun seseorang terus menerus teranggap salah, maka justru itu sangat baik. Sebab akan mengarahkan manusia itu untuk hanya bertransaksi, berbincang, dialog, dengan Tuhan saja. Dipuji atau dicaci, ia tak bergeming, sebab orientasi kesadarannya hanyalah Allah saja. Itu yang seorang kekasih seharusnya rasakan. Seperti yang sering Mbah Nun kutip :

alaa inna awliya allahi la khoufun alaihim wa lahum yahzanun.

Pada diri kekasih Allah, tidak ada rasa takut dan kesedihan (terhadap dunia) lagi.

Rabu, 31 Juli 2024

(Redaksi Poci Maiyah/Abdullah Farid)

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button