Jangan Sampai Kita Kehilangan Tradisi Dekat Kepada Allah
Sinau Bareng tadi malam, Minggu 19 Juni 2022, di Lapangan Desa Potorono Banguntapan Bantul dihadiri puluhan ribu orang. Tidak hanya warga desa Potorono, maupun warga desa sekitar dan kecamatan lain, tetapi banyak yang datang dari luar Kabupaten Bantul, seperti Klaten, Gunungkidul, Kulonprogo, Purworejo, Sleman, Magelang, Solo, Wonogiri, dan lain-lain.
Semua kendaraan hadirin dan jamaah yang datang dari berbagai daerah itu oleh panitia dipersilakan diparkir dengan rapi di semua tempat yang disediakan dan tidak dipungut biaya sedikit pun alias gratis. Para pedagang kakilima yang berniat membuka jualan di area Sinau Bareng di Potorono juga dipersilakan dan tercatat sekitar 200 pedagang kakilima yang telah mendaftar secara resmi kepada panitia.
Penyelenggaraan Sinau Bareng ini pun melibatkan semua unsur-unsur kepemudaan, Karangtaruna desa Potorono, Forum Pengurangan Risiko Bencana desa Potorono, pemuda-pemuda Banser (NU), Kokam (Muhammadiyah) dan SAR (Bantul, DIY), semuanya berkoordinasi dalam kerjasama yang menyatu dan kompak. Tidak lupa, para ibu-ibu dan mbak-mbak yang cekatan menyiapkan hidangan para tamu di kantor Kalurahan dan berbagai kebutuhan lain untuk para jamaah dan tim KiaiKanjeng.
Di atas panggung, Mbah Nun ditemani Lurah Potorono Bapak Prawata, Panewu Banguntapan Bapak I Nyoman Gunarsa, S.Psi., M.Psi, jajaran kepolisian, serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Tema Sinau Bareng ini adalah Sinau Syukur dengan subjek desa Potorono. Sangat menukik ke sisi yang tak pernah dipikirkan para pelaku pembangunan masyarakat, Mbah Nun langsung mengidentifikasi jenis masyarakat Potorono.
Mbah Nun bertanya kepada mereka, “Masyarakat Potorono ini tergolong tradisional atau modern?”. Mereka menjawab, “Campur!”. Mbah Nun meneruskan, “Budaya masyarakat tradisional itu lebih mengandalkan pendekatan dan pengolahan roso, maka jangan sampai meremehkan atau tidak memiliki pendekatan akal dan pengolahan intelektual. Sebab masyarakat modern yang sangat mengutamakan pendekatan intelektual, bahkan akademis, biasanya sudah meninggalkan atau membuang pendekatan dan pengolahan roso”.
Mbah Nun mengambil contoh dari budaya keagamaan, yaitu pepujian, dengan memastikan apakah di desa Potorono masih berlangsung tradisi pepujian di masjid atau mushalla. Mbah Nun meminta anak-anak kecil naik ke panggung serta kemudian perwakilan kaum muda desa, semua diajak berinteraksi untuk mengecek apakah tradisi pepujian masih berlangsung di desa Potorono. Alhamdulillah anak-anak masih bisa melantunkan pepujian kalimat thayyibah dan Mas Ari Cahya dan Mas Eko Pramono yang mewakili generasi muda desa dengan jangkep melantunkan shalawat dan pepujian Tombo Ati dengan diiringi bapak-bapak KiaiKanjeng.
Pepujian yang merupakan ekspresi roso ini memiliki arti khusus di mata Mbah Nun sebab menurut Mbah Nun sangat boleh jadi yang laku di hadapan Allah bukan kepintaran kita melainkan tresna kita kepada Allah dan orang lain, ketulusan, ridla, dan kemesraan perasaan kepada Allah, yang semua itu merupakan proses mendekat kepada Allah dengan bahan-bahan dari Allah sendiri yaitu berwirid dengan memakai nama-nama Allah atau menggunakan kalimah thayyibah dan juga shalawat kepada Kanjeng Nabi.
Di sinilah kemudian Mbah Nun berpesan agar kita jangan sampai kehilangan tradisi dekat kepada Allah hanya karena kita menjadi orang kota. “Dadi kuto gak popo, tapi ojo ilang tradisi cedak kepada Allah,” pinta Mbah Nun.
“Jangan menghilangkan roso” tidak hanya berlaku dalam tradisi pepujian, tetapi juga dalam politik. Momen Sinau Bareng ini berbarengan dengan masyarakat desa Potorono sedang bersiap memasuki hajatan Pemilihan Lurah. Mereka mempersiapkan diri untuk menjaga persatuan dan kedamaian. Tadi malam, pada awal Sinau Bareng, para elemen utama desa berjanji setia untuk menjaga kedamaian dan persatuan desa dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemilihan lurah. Janji mereka dinyatakan dalam sebuah deklarasi yang dibacakan dan ditandatangani di hadapan Mbah Nun, seluruh warga desa, dan puluhan ribu jamaah yang hadir memadati lapangan Desa Potorono.
Persis dalam tema pemilihan lurah inilah, Mbah Nun menyampaikan meskipun pemilihan lurah hingga pemilihan presiden seluruhnya menggunakan metode dan pendekatan modern di mana ada prinsip elektabilitas, akuntabilitas, dll, sebaiknya masyarakat tidak kehilangan roso dalam merasakan siapa orang yang layak menjadi pemimpin. Dalam interaksi sehari-hari, orang sebenarnya bisa niteni dan merasakan siapa di antara warga desa/masyarakat yang punya kompetensi menjadi pemimpin. Roso ini sebaiknya jangan hilang. Roso ini sudah ada sebagai kemampuan sosial politik masyarakat sejak mbah-mbah kita di masa dahulu dari masa kerajaan hingga era desa, dan hendaknya tidak hilang pada masa modern ini.
Selain ilmu mengenai roso/rasa/spiritualitas dan nalar/akal dalam konteks jenis masyarakat, banyak hal disampaikan Mbah Nun tadi malam, mulai dari pembenahan mengenai bagaimana menjawab ucapan salam (wa alaikumussalam, dan bukan wa alaikum salam), tentang jumlah kalimah thayyibah yang tidak hanya 5, melainkan 10 bahkan hakikatnya semua kalimat dari Allah adalah thayyibah, dan bahwa Sinau Syukur adalah sinau mencari dan menemukan hal-hal yang membuat kita bersyukur.
Di penghujung acara, Pak Lurah Prawata menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas kehadiran Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Acara dipuncaki dengan indal qiyam, doa bersama, dan munajat Innama amruhu idza aroda syai-an an yaqula lahu kun fayakun. Selepas acara, para jamaah masih setia mengikuti lantunan nomor Hasbunallah yang dibawakan KiaiKanjeng mengiringi kepulangan mereka. Sebagian yang di depan masih bertahan, dan mereka ternyata kemudian ngalap berkah dengan mengambil minuman dan makanan yang masih ada di panggung KiaiKanjeng. (caknun.com)