MEMELUK MUKJIZAT
(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan Surabaya Edisi Maret 2024)
Mukjizat, dalam konteks agama, sering dianggap sebagai tanda kekuasaan ilahi atau intervensi ilahi yang luar biasa dalam arti bersifat meta ilmiah, belum pernah terjadi sebelumnya, dan sulit ditangkap alur pikir logika jelata. Namun dalam kesempatan rutinan Bangbang Wetan di tengah bulan Ramadhan ini, kami menawarkan agar kita mencoba memahami mukjizat dalam konteks kehidupan masa kini, khususnya dalam dinamika masyarakat modern. Memahami yang kami maksud adalah peluang kehadiran, bentuk ekistensi serta subjek “penerima” dan dimensi tempat serta waktu yang melingkupinya.
Salah satu marja’ Maiyah, almarhum Muhammad Nursamad Kamba dalam rubrik Tetes pada CAKNUN.com. menuliskan bahwa “Bentuk mukjizat masa kini tidak lagi berkutat pada keajaiban yang menyalahi keteraturan, tapi justru pada keteraturan itu sendiri. Terbitnya matahari dari timur sejak berjuta-juta tahun dalam satu orbit dari timur ke barat adalah keteraturan yang benar-benar mukjizat. Spons atau bunga karang yang sudah terpotong-potong, dan setiap potongannya membentuk dirinya kembali menjadi spons yang sempurna, pun mukjizat.”
Dengan mengambil inspirasi dari pandangan ini, kita dapat melihat mukjizat sebagai analogi dari fenomena luar biasa yang dapat kita amati dan terjadi dalam kehidupan modern, terutama dalam dinamika sosial masyarakat. Misalnya, kita dapat melihat mukjizat dalam bentuk transformasi sosial yang mendalam, seperti perubahan mendadak dalam pandangan masyarakat terhadap hak asasi manusia atau kesadaran akan teramat pentingnya ikut menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dalam bentuk yang tampaknya “sederhana”, kita dapat melihat mukjizat di peristiwa rutinan BangbangWetan maupun kegiatan Sinau Bareng, di mana puluhan hingga ribuan manusia rela dan mampu duduk berjam-jam hanya untuk menyaksikan diskusi panjang. Kata menyaksikan di sini secara jelas merujuk pada kegiatan yang cenderung pasif. Dengan kata lain, mereka bukanlah pelaku. Lebih jauh, kegiatan ini sama sekali tidak produktif kalua kita kenakan kacamata materialisme.
Jika teropong kita perbesar dan tingkatkan akurasinya, karya-karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, memunculkan pemikiran tentang mukjizat yang terbilang senada. Beliau berpendapat bahwa mukjizat dapat dilihat sebagai manifestasi keajaiban ilahi yang terus berlangsung secara terus menerus dan berkelanjutan. Selanjutnya, dikatakan bahwa, “Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang terus ada di dunia ini, menginspirasi, memberi petunjuk, dan menyembuhkan hati yang sakit.” Analogi ini dapat diterjemahkan sebagai kemampuan ide-ide dan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an untuk meresap ke dalam masyarakat modern, memberikan petunjuk dan solusi bagi tantangan yang dihadapi manusia yang hidup di era terus bertumbuhnya artificial intelligence.
Dalam konteks kehidupan masyarakat modern, kita dapat melihat mukjizat sebagai simbol dari kemungkinan-kemungkinan luar biasa yang terbuka bagi manusia untuk menciptakan perubahan positif, baik dalam skala individu maupun kolektif. Mukjizat, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang terbatas pada masa lalu, tetapi juga merupakan sumber inspirasi dan pembelajaran yang terus-menerus hadir bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan mereka.
Di BangbangWetan bulan puasa dimana kabar akan datangnya badai La Nina santer kita dengar sebagaimana penetapan Presiden dan Wakilnya serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat telah diumumkan oleh lembaga terkait, mari berbagi sajian menu berbuka puasa yang tidak kita temukan di meja makan Istana. Sepaket perjamuan cinta bagi segenap anggita kehormatan majelis pemeluk mukjizat.
(Redaksi Bangbang Wetan)