KANGEN, KERASAN, DAN OTENTIK

(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan Surabaya, Senin 6 Februari 2023)

Maiyah itu habitat. Habitat adalah tempat sekumpulan makhluk hidup kerasan tinggal di dalamnya serta membuat penghuninya tumbuh dengan baik.” Inilah pandangan Cak Adil Amrullah merespons tema Majelis Ilmu Bangbang Wetan edisi Februari 2023 “Be Authentic” yang berlangsung Senin malam (06/2/2023) di Pendopo Taman Budaya Cak Durasim, Genteng, Surabaya.

Malam itu, nomor Kangen dari Dewa19 dibawakan oleh Lala-Lili n Friend siswi SMA X Muhammadiyah. Mereka menyumbang suasana enjoy dengan permainan gitar dan biola yang saling mengisi untuk mengiringi vokalis bernyanyi.

Sebelum Cak Dil merespons, Pak Darmaji selaku dosen Matematika ITS lebih dahulu merespons tema tentang otentik di dalam dunia kampus yang digelutinya. Menurutnya, semua manusia dilahirkan dalam keadaan otentik. Setelah itu manusia berproses di lingkungannya sehingga menjadi tidak otentik. Peran kampus mengembalikan keontentikan manusia atau mahasiswanya. Salah satu langkahnya adalah mahasiswa dididik supaya menjadi ahli di bidangnya, mampu berkomunikasi dengan baik (untuk mengkomunikasikan keahliannya supaya dipahami orang lain), serta pintar menggali potensi diri (menemukan diferensiasi dirinya dengan yang lain). Sehingga, menurut pandangan Pak Darmaji, yang didorong pihak kampus kepada mahasiswanya adalah menemukan jati diri dan menjadi pembeda dari yang lain.

Selanjutnya, Mas Aminullah berbagi pandangannya tentang Maiyah. Menurut Mas Amin, di dalam Maiyah ada keberlimpahan ilmu. Dalam semalam di Maiyahan, kita bisa belajar psikologi sampai teknologi mutakhir, seperti yang selama ini Mbah Nun dan Mas Sabrang sampaikan ketika membersamai rutinan Majelis Ilmu Bangbang Wetan.

Mas Amin mengutip dari apa yang disampaikan Mbah Nun pada Majelis Ilmu Padhangmbulan edisi Februari, “Hidayah itu seperti air hujan, tinggal bagaimana receiver kita dalam menangkap hidayah Allah.” Maka, Mas Amin mengajak kita untuk mengumpulkan kata kunci ilmu yang kita dapatkan di setiap Maiyahan yang bergusa sebagai cara kita menambah kepekaan dan keluasan kita dalam menangkap hidayah Allah.

“Jika ada yang minta tolong, ditolong saja, Mas Amin. Selebihnya urusan Allah,” salah satu pesan Mbah Fuad kepada Mas Amin yang menjadi pengalaman spiritual Mas Amin yang selalu diingatnya. Menurutnya, pesan tersebut bermanfaat bagi dirinya sehingga mengubah perjalanan hidupnya. Sehingga Mas Amin juga meneruskan pesan Mbah Fuad tersebut kepada jamaah yang hadir. Bahwa, kalau kita dimintai tolong, segera kita tolong saja, selebihnya biar urusan Allah.

Maiyah itu Habitat

Seperti dikutip di awal tulisan, Cak Dil berpandangan bahwa Maiyah itu habitat. Maiyah itu habitat dari tumbuhnya nilai-nilai, termasuk di dalamya nilai ketauhidan. Nilai-nilai membutuhkan habitat supaya bisa tersebar. Menurut Cak Dil, ciri habitat Maiyah adalah Kangen, Kerasan, dan Otentik: disingkat KKO.

Menurut Cak Dil, kalau tidak saling kangen berarti kita belum Maiyahan. Apalagi di Maiyah kalau kita tidak kerasan isinya bertengkar saja, sehingga tidak bisa menemukan keotentikan diri. Otentik menjadi sesuatu yang niscaya di dalam habitat yang baik. Salah satu ciri habitat yang baik adalah membuat kita kangen dan kerasan berada di dalamnya.

Ciri seseorang otentik atau tidak bisa dilihat dari rasa keingintahuannya tinggi, seperti anak kecil yang banyak bertanya. Seseorang yang hidup pada habitat yang baik, keotentikannya akan tumbuh.

Tugas Maiyah adalah menjaga habitat yang baik Maiyah menjadi habitat tumbuhnya nilai-nilai kebaikan.

“Orang beriman adalah orang yang merasa aman sehingga membuat orang lain merasa aman,” Cak Dil mengutip apa yang pernah disampaikan Mbah Fuad untuk menggambarkan cara kita dalam menjaga habitat Maiyah yang baik.

Cak Dil juga menegaskan kembali bahwa Maiyah bukan ormas ataupun madzab karena Maiyah itu habitat. Habitat Maiyah membutuhkan peran semua yang hidup di dalamnya. Salah satu peran kita menjaga habitat Maiyah adalah membuat orang aman (kerasan), sehingga membuat orang sekitarnya juga merasa aman, menjadikan orang kangen kalau tidak Maiyahan.

Respons Jamaah tentang Habitat Maiyah

Cak Dil meminta beberapa jamaah merespons manfaat dari habitat Maiyah yang dirasakan selama ini.

Pertama, dari Sahrul Fahmi asal Banyu Urip Surabaya. Sahrul yang memakai baju biru dongker dan memakai udeng khas Jawa ini menyampaikan bahwa dulu ikut Maiyahan karena terpaksa. Dia juga mengaku bahwa dulu dia adalah seorang “bajingan”, kalau bukan karena ketangkap polisi mungkin dia sekarang sudah menjadi teroris. Bahkan Sahrul dulu berguru karena kepengin menjadi dukun. Kalau ada orang yang tidak senang sudah ia balas dengan keahliannya menjadi seorang dukun. Tetapi dia resah karena merasa bukan itu yang dia cari.

Pada akhirnya dia mengenal Maiyah. Sahrul merasa nyaman dan betah mendengarkan pemaparan Mbah Nun, Mas Sabrang, dan setiap narasumber lain karena dia berpegang teguh pada salah satu pesan Mbah Nun: “Jangan menelan mentah-mentah setiap apa yang kita dengar.” Menurut Sahrul bisa jadi itu menjadi jalan kita menemukan ilmu baru atau jawaban atas apa yang kita hadapi ke depan.

Kedua, Hilmi domisili Kapas Madya Surabaya. Pria yang beraktivitas sehari-hari sebagai guru ini mengungkapkan bahwa Maiyah hampir 80% mengubah mindset hidupnya. Mindset hidup tentang keluarga, sampai cita-cita. Dulu Hilmi enggan menjadi seorang guru karena gaji guru tidak membuatnya kaya. Tetapi setelah kenal Maiyah, dia menemukan value hidup bermanfaat lebih penting dari sekadar kaya. Maka, dia memutuskan menjadi guru untuk jalan menebar kebermanfaatan hidup kepada banyak orang. Tujuan hidup Hilmi bergeser dari ingin kaya menjadi hidup yang bermanfaat.

Salah satu bentuk menebar kebermanfaatan hidup adalah menerapkan apa yang disampaikan Mbah Nun kepada siswanya. Selain itu, Hilmi juga menyampaikan apa yang disampaikan Mbah Nun di setiap Maiyahan kepada siswanya di kelas. Menurutnya ilmu yang disampaikan di Maiyah sangat nyambung dengan apa yang dilakukannya di sekolahan tempatnya mengajar.

Ketiga, Ali Reza domisili Wonocolo Surabaya. Ali Reza berbagi pandangan hidupnya bahwa kita bisa merasakan susah dan senang itu merupakan DNA dari Nabi Adam. Ali Reza Berusaha menerima rasa susah dan senang yang diberikan Allah kepadanya. Dia berusaha menerima semua ketentuan Allah supaya otentik. Formula untuk menemukan keontentikan di dalam menerima segala pemberian Allah adalah dengan bersyukur. Ali Reza pernah mengalami fase susah. Padahal kalau dilihat dari perjalanan hidupnya dia sudah kerja keras serta ibadahnya sudah baik dan istiqamah. Berdasar ilmu tadabbur yang diperolehnya di Maiyah, dia menemukan jawaban tentang pentingnya syukur dan sabar dari apa yang diresahkannya pada ayat ke-7 surat Ibrahim “Waidz ta-adz dzana Ribbukum lain syakartum laazidannakum walain kafartum inna adzabi lasyadid.” (Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.)

Pada penghujung acara, Cak Dil mengungkapkan, “Kita rasakan kemaiyahan kita (selama ini yang membuat kita lebih produktif, kreatif, serta baik). Sehingga habitat baik itu kita tularkan kebermanfaatannya seluas-luasnya.” Majelis Bangbang Wetan ditutup dengan bershalawat kepada Rasulullah Saw., yang dipimpin oleh Gus Ahmad Lutfi.

Surabaya, 7 Februari 2023

Lihat juga

Back to top button