UNGGAH-UNGGAHAN, SETELAH MELANGIT KEMUDIAN MEMBUMI

(Liputan Maiyah Cirrebes, Cirebon-Brebes, Sabtu, 18 Maret 2023 )  

Pada edisi Maret 2023 para penggiat sengaja memajukan rutinan Maiyahan bulanan yang seharusnya pada malam minggu terakhir dirubah menjadi 18 Maret 2023. Tidak lain karena sebelum Ramadhan di daerah Cirebon dan Brebes terdapat semacam tradisi Unggah-unggahan di mana biasanya seluruh keluarga dan kerabat berkumpul. Dimajukannya jadwal rutinan ini dimaksudkan untuk memberikan kelonggaran dan waktu banyak yang dapap dipergunakan para jamaah bersama keluarga tercinta di rumah.

Rutinan dimulai dengan pembacaan Tawashshulan yang dipimpin oleh Mas Gandi dan Furqon. Selain Jamaah, datang juga masarakat setempat di sekitar saung baca IKAMATSABA milik Kang Ivey di daerah Babakan Gebang Cirebon. Semua berhimpun bersama dengan indah melantunkan shalawat dan meminta syafaat kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Setelah itu, Mas Azis membuka Sinau bareng dengan membacakan Mukaddimah yang sebelumnya ditayangkan di mymaiyah.id dan akun media sosial Maiyah Cirrebes.

Sesi pertama dipandu oleh Mas Dany Padmadisastra dengan mengajak jamaah yang hadir untuk belajar kepada leluhur tentang tradisi dan budaya berkaitan dengan kenapa sebelum memasuki bulan Ramadhan harus ada Unggah-unggahan. Mas Dany meminta salah satu ibu-ibu yang hadir untuk menceritakan kebiasaan tersebut dari cara turun-temurun mereka melakukan ritual budaya tersebut.

Ibu Saluri menceritakan bahwa Unggah-unggahan sebagai bentuk rasa syukur manusia kepada Allah Swt. dan kepada masyarakat sekitar. Sebelum tiga hari memasuki bulan puasa biasanya keluarga berkumpul kemudian memanjatkan doa untuk leluhur dan orangtua yang sudah tiada terlebih dahulu, dilanjutkan dengan membuat makanan untuk dimakan bersama dan dibagikan kepada tetangga dan saudara. Bagi yang punya besan juga tidak luput dari tradisi saling mengirimkan makanan. Ini sebagai bentuk komunikasi antar sesama saudara yang jauh tidak saling bertemu juga sebagai bentuk silaturahmi dan wasilah gotong royong sesama tetangga sekitar.

Lihat juga

Momen ini pula yang kemudian digunakan untuk saling meminta maaf satu sama lain menjelang Ramadhan dan Idul fitri. Ini adalah sebuah rangkaian dimana setelah itu ada istilah Udun-udunan, tiga hari sebelum Idul Fitri. Menurut ibu Saluri setelah ibadah puasa satu bulan penuh kita berhubungan dengan Allah Swt. maka kita harus kembali berhubungan baik dengan antarsesama manusia yang dimanifestasikan dengan tradisi Udun-udunan atau membumi berbaur dengan makhluk sosial lainnya dengan taraf kualitas yang baru lewat Idul fitri, baik iman dan tingkah laku.

Mas Dany Padmadisastra menjelaskan bahwa tradisi atau kebiasasan tersebut tidak serta merta luput dari sebuah peristiwa sejarah tradisi budaya leluhur masa lalu di mana ada alkulturasi tradisi Hindu dan Islam, di mana Wali penyebar Islam tanah Jawa tidak menghancurkan tradisi tetapi memodifikasinya menjadi manifestasi Islam yang rahmatan lil alamin serta menggambarkan simbol hablumminallah dan hablumminannas.

Berikutnya Mas Aceng Zainal yang berasal dari Karawang yang dilahirkan di Garut, kemudian menepi tinggal di Cirebon bersama istri dan keluarga. Ia mengisahkan saat kecil di Garut di mana orangtuanya menjelang bulan Ramadhan selalu pulang ke kampung halaman. Itu menjadi tradisi selain mudik menjelang Idul Fitri, dan melakukan doa bersama di makam leluhur serta selamatan seperti yang dilakukan Ibu Saluri. Ada kesamaan kebiasaan yang dilakukan tetapi pada saat ini kadar dan kebiasaan tersebut sudah memudar bahkan generasi sekarang banyak yang belum mengetahui hal tersebut. Menurutnya kemajuan teknologi salah satunya yang mengubah tradisi menjadi demikian, semuanya serba instan padahal tidak semua hal bisa diselesaikan dengan fasilitas modern dan teknologi. Salah satunya adalah kurangnya silaturahmi langsung bertatap muka, padahal itu adalah bentuk dari hubungan sosial yang diajarkan turun-temurun.

Pada sesi selanjutnya diberikan kesempatan kepada Om Heru, salah satu sesepuh dari Masyarakat Maiyah Cirrebes untuk memberikan paparannya mengenai tema malam itu. Menurut Om Heru prosesi Unggah-unggahan hampir merata di daerah Jawa Barat dan sekitarnya, bahkan tradisi ini terjadi di seluruh pulau Jawa, hanya saja namanya berbeda-beda.

Kalau dalam masyarakat Cirebon kita mendengarnya dengan kata ‘munggah’. Prosesi ini sangat intim sekali karena langsung berhubungan privat antara manusia dan Tuhannya, yaitu munggah menjelang Ramadhan dan munggah haji (naik haji).

Menjelang Ramadhan biasanya waktunya pas setelah panen hasil bumi masyarakat. Jadi, dalam Unggah-unggahan terjadi proses gotong-royong selain silaturahmi. Para masyarakat saling memberikan hasil bumi satu sama lain. Saat ini bentuk gotong-royong atau kebersamaan itu sudah mulai terkikis zaman karena tempat hasil buminya pun sudah kritis dan jarang generasi muda berminat dalam pertanian.

Orang Zaman dahulu sangat memuliakan bulan Ramadhan dengan prosesi Unggah-unggahan sehingga diharapkan ada peningkatan kualitas iman dan takwa. Ketika itu dilakukan terus-menerus maka kita akan dituntut untuk belajar lebih baik lagi dari tahun ke tahun, dan itu yang dinamakan ‘munggah’ bahkan kita dituntut belajar dari saat di ayunan sampai liang lahat. Betapa luar biasanya tradisi dan kebudayaan masyarakat kita untuk mengajarkan kualitas hidup agar terus naik setiap saat.

Mas Gandi menyambung bahwa adanya tradisi Unggah-ungahan sangat menarik dalam fenomena masyarakat. Menurutnya ini perwujudan rasa syukur dari masyarakat terhadap datangnya bulan Ramadhan, di mana ini bulan yang sangat spesial dan berbeda dengan bulan-bulan yang lain dalam keistimewaanya. Karna istimewa maka ada tradisi yang sangat istimewa juga untuk menyambutnya sebagai syukur dan kegembiraan.

Bahkan ada hadis, Kanjeng Nabi mengatakan bahwa: “Siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka”.

Rasa gembira itu tidak akan muncul kalau dalam perasaan kita masih ada benci, iri hati, dan permusuhan antar sesama saudara, maka tradisi Unggah-ungahanlah sebagai momen dan waktu yang tepat untuk membersihkan diri.

Seperti halnya kita sering mendengar saat Ramadhan tulisan atau ucapan “Marhaban Yaa Ramadhan”. Marhaban kalau dalam terjemahan bebasnya adalah selamat datang tetapi menurut ahli bahasa Arabnya berasal dari kata “Rahbat” yang artinya ruangan luas untuk kendaraan memperoleh kebaikan. Kita akan mengucapkan “selamat datang” kalau hati kita lapang.

Kita harus berlapang dada terhadap segala permasalahan baik terhadap manusia dan ketentuan Allah Swt., harus ridha. Semuanya harus yakin. Mengutip Mbah Nun dalam rutinan Mocofat Syafaat 17 Maret 2023 bahwa “Allah ada di semua koordinat, tidak terbatas. Yang terbatas adalah otak kita, tidak mungkin keterbatasan menyentuh ketidak-terbatasan”.

Dalam Maiyah kita mengenal hidup itu harus mengalir, aliran yang bergetar dan getaran yang mengalir. Kita mengalir dalam takdirnya Allah Swt., apapun yang terjadi semaksimal mungkin menselaraskan dengan ketentuan dan aturan-aturan-Nya melalui taqwa dan selalu tersambung dengan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Di awal kita selalu memulai dengan Tawashshulan karena tidak ada cara lain untuk siapa yang kita andalkan kecuali baginda Nabi Muhammad Saw., karena hanya beliaulah yang bisa mengawal kita untuk bisa munggah.

Selanjutnya Mas Azis mengajak tanya jawab kepada jamaah yang hadir. Salah satunya ada Mas Syahid bertanya karena ada kaitanya dengan Ramadhan dan menjaga kualitas iman dan taqwa, yaitu mengapa pada bulan Ramadhan masih ada kemaksiatan sedangkan ada yang meriwayatkan bahwa pada bulan suci Ramadhan semua Syaitan dikerangkeng.

Mas Gandi kemudian menjawab dalam hal ini kita harus mengerti dahulu apa itu definisi dan hakikat Syaitan, bahkan cukup sering Mbah Nun menggambarkan ini. Syaitan tidak berbuat mutlak menguasi jiwa dan raga kita secara langsung hadir dalam tubuh dan ruh, tetapi Syaitan bisa menjadi pembisik di alam bawah sadar kita untuk melakukan hal yang terlarang kemudian kita mengambil keputusan yang salah atau negatif. Syaitan mampu tumbuh dan hadir dalam kesadaran jiwa manusia itu sendiri sehingga kita sebagai manusia bisa bersikap seperti Syaitan.

Kemudian Mas Ivey menyikapi fenomena Unggah-unggahan saat ini berbeda esensinya karena kebanyakan kaum muda hanya mengucapkan maaf dan silaturahmi dengan pesan singkat atau WA berupa gambar. Padahal dengan bertatap muka akan banyak tercipta kondisi batin dan perasaan yang lain. Dari pertemuan akan tercipta obrolan yang lebih intim tentang hal-lain mengenai kehidupan, ekonomi, lingkungan dan sosial.

Bahkan saking pentingnya tradisi Unggah-unggahan tidak sedikit juga orang yang tidak mempunyai biaya membeli makanan untuk syukuran dan berbagi dengan tetangga dan keluarga dengan berhutang. Menurut Mas Ivey kondisi ini justru merusak hakikat dari Unggah-unggahan itu sendiri, yang seharusnya menjadi momen saling gotong-royong dan saling bantu tetapi menjadi adu gengsi dan loyalitas bagi sebagian masyarakat, dan itu yang harus dihindari.

Om Heru memberi contoh, saat ini yang dilihat masyarakat adalah segi material dan pinjaman lunak yang dibatasi waktu dan berbunga. Padahal dahulu bentuk toleransi bagi yang belum punya biaya atau barang selalu digunakan sistem “Talitian”. Talitian adalah kerarifan lokal di mana nanti mengganti atau membayarnya jika si peminjam benar-benar membutuhkanya di waktu akan datang misalkan saat perkawinan atau syukuan pesta lainnya, yang otomatis mimimal akan diselengarakan pada mangsa atau waktu yang selanjutnya. Dalam tradisi Unggah-unggahan sebetulnya sudah diajarkan tentang memberi makanan ke tetangga dan saudara dimana barangkali ada diantara mereka yang sedang membutuhkan.

Selanjutnya ada Mas Akhmad yang mengemukakan bahwa yang terjadi saat ini ketika tradisi seperti Unggah-unggahan sudah mulai terkikis adalah apakah ada kelalaian para pendahulu untuk menanamkan sikap dan memelihara kepada generasi selanjutnya sehingga nilai-nilai kebaikan dari tradisi itu saat ini sangat jarang dilakukan. Mas Dany Padmadisastra kemudian menjelaskan bahwa selain kemajuan teknologi yang sudah dibicarakan di awal kita harus dengan bijak mengelola teknologi menjadi kemaslahatan, maka selain itu forum-forum literasi harus diperbanyak menyangkut pengetahuan tradisi dan budaya agar generasi saat ini kembali paham dan mengerti. Bentuk ikhtiar itu yang bisa dilakukan adalah dengan kumpul rutinan satu bulan sekali ini dalam lingkaran kebersamaan belajar bersama di Maiyahan.

Seiring dengan itu waktu sudah menunjukan tengah malam. Mas Azis menutup forum diskusi dan diakhiri pembacaan doa oleh Mas Dany Padmadisastra. Secara tertib jamaah pulang bergantian. Ada pula beberapa yang masih melanjutkan obrolan sampai subuh menjelang.

Sampai berjumpa di rutinan belajar bersama selanjutnya.

(Redaksi Cirrebes)

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button