TARI DAMPENG SAMBUT SASTRALIMAN
Tiga pasang pria berbaju warna kuning lengan dan celana panjang itu berlari kecil menuju muka panggung Pendopo Maiyah, Kadipiro. Langgam gerakan mereka mirip seni beladiri silat. Lenggak dan lenggok ketubuhannya cenderung tegas dan lugas.
Corak gestural dimulai dengan pemberian salam. Kedua telapak tangan menempel tepat di depan dada—menunjukkan ekspresi namaste. Satu penari, sembari diikuti penari lain, melirik ramah, dan memutar menghadap keluar. Gerakan memutar ini membentuk posisi melingkar. Kaki mereka menghentak mengikuti iringan nyanyian dan alunan lagu. Tubuh mereka menggeliat seirama dengan kibasan sayap burung bila terbang.
Konon, di balik gaya koreografi Dampeng asal Kabupaten Aceh Singkil, tersibak cerita atas pengalaman Sutan Berdaulat. Dus, Sutan Berdaulat tengah melakoni perjalanan menuju Minangkabau dan Pagaruyung Sumatera Barat. Selama perjalanannya itu Sutan Berdaulat beristirahat di bawah pohon besar. Sembari menyandarkan tubuh di pohon, ia menyaksikan empat ekor elang terbang berputar-putar di atas kepalanya.
Tidak mengherankan jika kisah di balik tari Dampeng setemali dengan laku-mlaku Sutan Berdaulat.
Pertunjukan tari Dampeng itu membuka kegiatan diskusi bulanan SastraLiman Rabu malam (03/11) tempo hari. Penari berjumlah enam orang ini berasal dari komunitas Hamzah Fansuri Yogyakarta. Jumlah penari Dampeng harus genap. Sebab, mereka harus menari secara berpasangan. Tarian khas Serambi Mekkah ini kemudian disusul pembacaan puisi. Puisi berjudul Ibu karangan Widji Thukul dideklamasikan oleh Ryan.
SastraLiman memang agenda rutin bulanan plus. Diselenggarakan Majalah Sastra Sabana, SastraLiman bukan hanya menggelar diskusi buku. Namun, lebih dari itu. SastraLiman memfasilitasi kegiatan kesenian dan kebudayaan lintas-bidang. Sastra, teater, seni rupa, seni musik, monolog, dan performing arts acap kali menyemarakkan helatan SastraLiman. “Semoga diskusi ini bermanfaat dan menginspirasi. Selamat menikmati dialog pada malam ini,” buka Khocil Birawa dalam sambutannya.