Tadabbur Hari ini (56)
ARAH YANG TEPAT KE ALLAH

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)

Kunci-kunci informasi atau substansi firman Al-Fatihah sudah menjadi idiom budaya sehari-hari Kaum Muslimin Indonesia. Di mana-mana kita mendengar banyak orang mengucapkan “shirathal mustaqim”.

Mungkin tidak banyak yang cukup teliti ketika mengucapkan atau mendengarkannya. Penggalan “thal”, secara ilmu Bahasa Arab, disebabkan ada kata “ihdina” sebelumnya. Andaikan ia berdiri sendiri ia berbunyi “thul”.

Juga tidak banyak diperhatikan oleh para pemakainya bahwa sebenarnya ada tiga kemungkinan kata atau idiom:. Pertama, “as-shirathul mustaqim”, yang “thul”-nya menjadi “thal” kalau didahului oleh kata kerja “ihdina”.

Kedua, “shirathun mustaqimun”, atau disingkat “shirath mustaqim”. Dia bermakna dan berposisi umum di dalam kalimatnya. Yang tertera di Al-Fatihah adalah bermakna khusus atau spesifik: “as-shirathul mustaqimu”. Awalan “Al” dalam tata Bahasa Arab semacam “the” yang pada posisi lain dipakai “a”. Yang di Al-Fatihah itu “the shirath al-mustaqim”.

Lihat juga

Secara umum Ummat Islam dan kita semua sudah terbiasa mengucapkan “shirathal mustaqim”. Kita ambil yang termudah dengan menirukan bunyi tatkala ayatnya diucapkan “Ihdinas-shirathal mustaqim”. Dan itu tidak masalah, sebab yang kita ucapkan itu bukan “kata” melainkan “idiom”. Memang demikianlah habitat budaya komunikasi manusia. Dalam sangat banyak hal pandangan kita “blawur”.

Posisi idiomatiknya, kalau “shirathal mustaqim” atau kalau spesifik menjadi “as-shirath al-mustaqim”, menunjukkan komposisi pensifatan. “Shirath”-nya bersifat “mustaqim”. Tapi kalau “shirathal mustaqim” itu berposisi “idhafah”. Atau lazim diistilahkan “mudhaf wa mudhaf ilaih”. sesuatu yang dimiliki. “ghanamu ‘Ali”, dalam Bahasa Indonesia dulu sebelum KBBI berarti “kambingnya Ali”, sebagaimana yang berlaku dalam Bahasa Jawa. Sekarang “kambing Ali”, “mahkota Raja”, “singgasana Pak Sukarwi”, “peci Kiai Hilmy”.  Meskipun pola ini kadang membingungkan, sehingga seringkali dalam berbahasa Indonesia tetap kita pakai “nya”.

Adapun pada sisi arti atau maknanya, “as-shirathal mustaqim  di kalimat “ihdinash-shirathal mustaqim” biasa diartikan dengan luasan ruang pemaknaan yang tidak tunggal. Yang paling umum diartikan “jalan yang lurus”, Ini idiom komunikasi budaya. Orang bisa bingung, tidak ada jalan yang benar-benar lurus. Bahkan jalan tol pun ada bengkok-bengkoknya meskipun sedikit. Maka perlu asosiasi konteks dan nuansa, tidak bisa berhenti pada kognisi-materiil.

Kemungkinan arti yang lain misalnya “jalan yang menegakkan”. Maksudnya jalan itu sendiri berfungsi menegakkan hidup manusia. Manusia yang menempuh jalan itu menjadi tegak hidupnya. Jangan lantas di-wantah-kan lagi: “Mana ada hidup tegak terus, pasti ada membungkuk-membungkuknya, bahkan ambruk segala”.

Atau kalau pakai “mudhaf wa mudhaf ilaih”, bisa berarti “jalannya orang yang menegakkan”. Maksudnya menegakkan nilai-nilai Allah. Jadi yang lurus atau tegak bukan hanya “shirath”nya, tapi terutama “mustaqim”nya.

Maka secara keutuhan maksud, kita memahami “as-shirath al-mustaqim” bukan “jalan yang lurus”, melainkan “arah yang tepat” ke Allah.

Di dalam ragam ayat-ayat Al-Qur`an “almustaqim” banyak diparalelkan atau diasosiasi-maknakan dengan kosakata “almuqawwim” atau “alqaim” atau “alqawwam” yang jamaknya “qawwamun”.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ
وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَ‍َٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ
ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ
إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Maidah: 8)

Sengaja kita kutipkan ayat tentang penegakan kebenaran yang beraksentuasi pada keadilan dan kebencian, supaya tinggi kadar asosiasinya dengan aktualitas hidup ummat manusia sekarang ini.

Ayat itu dan ayat apapun bisa merangkum atau minimal terkait dengan beribu-ribu tema atau subtema apapun lainnya. “As-shirath al-mustaqim” adalah presisi arah yang menjadi pedoman setiap buah pikiran manusia, setiap keputusan perilaku manusia, setiap tindakan individu, gerakan sosial, manajemen pemerintahan, langkah peradaban dan apa saja dalam kehidupan ummat manusia. Demikianlah “Presisi arah ke Allah” mengejawantah ke “Qawwamuna Lillah”.

Tadabbur nomor ini menseyogyakan agar kita semua senantiasa mengaktivasikan “roso” dan pikiran, atau hati nurani dan akal sehat di dalam melihat dan menilai diri sendiri maupun segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari, dalam urusan kemasyarakatan, Negara dan dunia seluruhnya.

Agar kita selalu merasakan dengan alat ruhaniyah terdalam apakah perkataan kita, sikap, dan perilaku kita “mengarah lurus ke Allah atau tidak. Agar kita siap selalu ber-shadaqah mengurangi pertengkaran, meminimalisasi pertentangan dan peperangan.

Emha Ainun Nadjib
24 Juni 2023.

Lihat juga

Back to top button