Tadabbur Hari ini (33)
AL-FATIHAH MUKIBAT MUJAER

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّين
(Al-Fatihah: 1-7)

Sepertinya termasuk “shirathalladzina an’amta ‘alaihim” antara lain adalah bersungguh-sungguh terhadap sanad suatu ucapan atau perilaku untuk hal-hal yang memang wajib menggunakan sanad.

Umpamanya ‘ibadah mahdlah. Bagaimana cara menyembah Allah, bagaimana prosedur dan tata caranya. Bagaimana melakukan shalat dengan semua kelengkapannya.

Juga rukun Islam yang lain. Sebab itu 100% bersumber dari Allah. Bukan Nabi Muhammad atau siapapun yang mengarang “kalimah syahadat”, tatacara dan bacaan shalat lima waktu, ide posisi takbiratul aihram, ruku’, sujud dan duduk tahiyat, serta segala regulasi tentang shalat-shalat sunnah.

Puasa itu pada bulan apa di tahun Hijriyah, delapan ashnaf siapa saja, pergi haji kita ke mana. Itu bukan karangan Malaikat Jibril, Nabi Ibrahim atau Kanjeng Nabi Muhammad, melainkan ketentuan langsung dari Allah swt. Siapapun selain Allah tidak berhak mengambil keputusan, dan kita tidak boleh ngarang-ngarang.

Lihat juga

Maka untuk memahami dan memastikan seluruh “birokrasi” beserta perangkat-perangkatnya, kita tempuh jalan sanad sampai ke Allah. Semua paket ibadah mahdlah turun dari langit Allah ke bumi manusia. Sementara ibadah mu’amalahdiikhtiari oleh manusia diunggah ke langit dengan harapan semoga Allah menerima dan meridlainya.

Sanad dalam pengertian ilmu dan ubudiyah Islam bisa dikatakan mutlak. Tidak bisa kita mengarang cara shalat sendiri, berpuasa wajib di bulan selera kita sendiri, membangun Ka’bah sendiri. Bahkan semua ucapan shalat dari takbir hingga usai tahiyyat bukanlah karya manusia, Nabi, Rasul, pun bukan ciptaan Malaikat. Bahkan kapan dan bagaimana jari telunjuk kita menuding, termasuk “amr” atau perintah Allah.

Bahwa informasi tentang menudingkan telunjuk ada beberapa versi, itu karena tidak solid dan menyatunya informasi dari sekian garis-garis sanad. Walhasil segala yang menyangkut peribadatan, Al-Qur`an dengan Ibu Alfatihahnya, hadits, sunnah dan sirah Rasulullah Muhammad saw, harus diverifikasi sanadnya sedemikian rupa. Dan Kaum Muslimin telah melakukan selama 15 abad sejarahnya secara dahsyat, sehingga tak satu buku atau Kitabpun yang dalam urusan itu bisa menyamai Al-Qur`an.

Akan tetapi Pak Mukibat melakukan tajribah atau eksperimentasi setek ketela pohong, atau fenomenologi Pak Mujair yang mentransformasi ikan air asin menjadi ikan air tawar, mohon jangan dikejar sanadnya dengan melacak Einstein, para ahli botani dunia, Sayidina Umar dan bahkan Kanjeng Nabi Muhammad saw. Termasuk beras ketan diproses menjadi “lemper”, juga jangan kejar sanadnya sampai ke Mekah atau Madinah.

Yang kita kejar sanadnya adalah runutan sejarahnya hingga sampai kita yang menyangkut Al-Qur`an, hadits, sabda Nabi dan perilaku-perilaku tertentu dari beliau.

Itu juga tidak berlaku tatkala Allah sebagai Al-Khabir mengabarkan dan mengaplikasikan sunnahNya tentang tumbuh dan berbuahnya pohon. Tentang seseorang dikasih tahu bahwa ingin buang air kecil atau besar melalui sistem jasad, urat saraf dan otot-otot. Tentang bayi yang langsung punya kemampuan untuk menyusu Ibunya. Atau burung-burung yang entah kursus di mana, dan lewat mana sanadnya, sehingga mereka mampu membangun sarang yang indah, bahkan bisa terbang bersama ribuan burung lainnya dalam suatu formasi dan arah yang seakan-akan diorganisir oleh “Event Organizer” entah dari mana. Pun burung menjujui makan anaknya, dan tidak ada yang keliru pula menjujui anak burung yang lain.

Lebih dini lagi urusan itu juga tidak berlaku untuk bayi yang tanpa pengetahuan sanad mengerti persis bahwa ia harus keluar dari perut Ibunya dengan tahu persis pula jalannya. Tampaknya logis kalau tradisi sanad ilmu Islam tidak bersentuhan dengan “’allamal insana ma lam ya’lam”. Allah mengajari manusia segala sesuatu yang ia tidak atau belum tahu.

Sepertinya juga tidak berlaku untuk puisi Shakespeare, Pablo Neruda, Emerson, Auden, Goethe, Kahlil Gibran atau Jalaludin Rumi serta Chairil Anwar. Mereka mendapatkannya langsung dari Al-Khabir, Dzat Yang Maha Mengabarkan. Lebih jelas lagi jangan pernah sowan kepada Nabi Khidlir di pantai laut manapun dan mempertanyakan sanad ilmu beliau.

فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ اٰتَيْنٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنٰهُ مِنْ لَّدُنَّا عِلْمًا

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65)

Juga, apakah Allah memperkenankan ada semacam cipratan-cipratan Khidlir?

Emha Ainun Nadjib
1 Juni 2023.

Lihat juga

Back to top button