Tadabbur Hari ini (32)
SAWANG SINAWANG AL-FATIHAH
SAWANG SINAWANG AL-FATIHAH
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)
Dari Tadabbur hari kemarin kita menemukan bahwa tidak akan pernah ada tafsir baku Al-Fatihah. Andaikan ada kebakuan itu terbatas pada subjektivitas penafsirnya, batasan zamannya, atau mungkin “madzhab”-nya. Dan dengan berbagai jenis kebakuan itu berarti masing-masing tidak baku. Masing-masing berposisi relatif. Kalau dilihat secara teknis ada misalnya tafsir baku Ibnu Katsir, ada tafsir baku Kemenag NKRI, atau tafsir baku Jalalain. Tetapi tidak bisa diberlakukan sebagai tafsir baku atas Al-Fatihah.
Allah itu Maha Tak Terhingga dan setiap firman-Nya pun tak terhingga. Setiap ayat-Nya, kata pilihan-Nya, bahkan mungkin huruf-Nya, bermakna tak terhingga. Kita sesama manusia maupun sesama makhluk Allah lainnya hanya bisa “sawang-sinawang” dengan bekal rendah hati satu sama lain, kemudian mengembalikannya kepada rahasia kebenaran di keharibaan Allah Swt. sendiri.
Kita selalu waspada dan takut terperosok menjadi “Maghdlub” atau bahkan ngeri terjerumus menjadi “dhollin”. Maka kita tidak bisa bersikap merasa paling tahu, sok tahu, “kemeruh” dan “keminter” kepada siapapun. Dan terhadap siapapun yang sok tahu di hadapan kita, kita menyiapkan “Astaghfirullahal’adhim” atau “Subhanallah” dan Kalimah Thayyibah lainnya, serta meneguhkan kedaulatan diri dan kemandirian berpikir kita. Kita harus punya ketahanan terhadap “alladzi yuwaswisu fi shudurinnas”.
Tafsir atau tadabbur atas Al-Fatihah, bahkan perjumpaan batin setiap manusia dengan Al-Fatihah, apalagi di zaman yang berbeda dengan latar belakang situasi kehidupan yang juga berbeda, belum lagi kapasitas pribadi yang juga tidak sama, serta banyak sekali variabel perbedaan-perbedaan lainnya – mengajarkan kepada kita bahwa tidak seorang pun, sepandai apapun ia, se-Kiai atau se-Imam se-Mursyid se-Ulama apapun, yang berposisi untuk bisa membakukan dan memaksakan tafsir atau tadabbur Al-Fatihahnya kepada siapapun.
Bahkan para sahabat Nabi dan ummat Islam pemula di zaman Nabi selalu melakukan rekonfirmasi satu sama lain, saling berendah hati sehingga bertanya satu sama lain. Mereka selalu “bisa rumangsa” dan menghindari “rumangsa bisa” terhadap firman-firman Allah. Meskipun andaikan kita ini pernah belajar di Pesantren, bahkan pernah kuliah di Al-Azhar Cairo, atau sudah Sarjana Utama dan S-3 sekalipun, sebaiknya jangan merasa apalagi meyakini bahwa pandangan kita tentang Al-Fatihah lebih hebat, lebih bagus, atau lebih canggih dibanding refleksi seorang tukang becak, kuli pasar atau buruh tani yang tidak terpelajar.
Allah mengajarkan sikap hidup, patrap intelektual, kuda-kuda budaya dan bagian dari akhlaqul karimah di ayat berikut ini. Yang berlaku tidak hanya untuk kita yang awam, tapi juga untuk beliau-beliau yang alim saleh, atau tokoh-tokoh schoolars yang teruji ilmu dan pembelajarannya. Ia berlaku sama untuk komunitas Rasulullah Saw. di Mekah maupun Madinah. Juga berlaku untuk para sahabat terdekat Nabi. Bahkan ayat ini diajarkan atau direkomendasikan oleh Allah Swt. kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw. sendiri:
قُلْ اِنْ ضَلَلْتُ فَاِنَّمَآ اَضِلُّ عَلٰى نَفْسِيْۚ وَاِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوْحِيْٓ اِلَيَّ رَبِّيْۗ اِنَّهٗ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ
Katakanlah, “Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat untuk diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha-dekat.” (Saba`: 50)
Tentu saja kita tidak mungkin tahu apakah itu juga berlaku bagi Malaikat Jibril dan para Malaikat lainnya. Tetapi Jin yang pernah lulus menjadi Imam dan Pinunjul di antara semua Malaikat, akhirnya di-Iblis-kan oleh Allah, karena khilaf dan sembrono menyangka “bersujudlah kepada Adam” adalah “menyembah Adam”, Sehingga Si Kanzul Jannah alias Al-Khasyyi’, Arraki’, Assajid itu dikutuk oleh Allah sampai hari kiamat.
Perhatikan, kata kuncinya adalah “Jika”. Artinya selain Allah tidak akan pernah mengerti kepastiannya. Kita semua hanya bertengger di langit “Jika”.
Memang dalam Bahasa Arab “usjudu li-Adama” bisa berarti “bersujudlah kepada Adam” sekaligus berasosiasi “menyembahlah kepada Adam”. Dan ia menjadi Iblis atau di-Iblis-kan oleh Allah karena “rumangsa bisa”. Sok tahu. Tidak tanya-tanya dulu. Kontan saja menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam.
Padahal kelak manusia banyak yang bersujud kepada Ibunya ketika Idul Fithri, atau Neneknya atau siapapun yang ia takdzim dan berposisi mengabdi. Dan ia bersujud kepada Ibu itu sama sekali bukan berarti menyembah beliau.
Meskipun demikian memang banyak manusia lain yang bukan hanya khilaf terhadap makna kata dan ayat. Tidak sekadar sembrono memaknai, menafsirkan atau mentadabburi firman Allah. Tidak sedikit yang memang sengaja tidak peduli kepada firman-Nya, bahkan tahu tapi sengaja melanggarnya.
Kalau Syekh Kanzul Jannah menjadi Iblis karena sembrono, kita tidak tahu nasib kita yang sengaja meremehken, melecehkan dan melanggar firman Allah Swt.
Emha Ainun Nadjib
30 Mei 2023.