Tadabbur Hari ini (25)
”SEMOGA ALLAH MENGHANCURKAN MULUTMU”

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)

Sesudah Al-Fatihah diwahyukan melalui suara Malaikat Jibril di Gua Hira, tatkala kemudian Rasulullah Saw. membacakannya di tengah kerumunan orang di sebelah Ka’bah, orang-orang Quraiys meneriakinya:

Semoga Allah menghancurkan mulutmu!

Dan banyak kalimat-kalimat makian semacam itu lainnya. Andaikan yang di Ka’bah itu orang Jawa, mungkin makiannya berbeda meskipun sama hajat dan muatannya: “Leg-legen dewe ayat kuwi!”, “Modaro wae, Mad!” dan macam-macam lagi. Sesungguhnya kalau kita memakai pendengaran batin, telinga hati yang bisa mengakses ke rahasia di balik mulut, budaya dan perilaku manusia, sekarang-sekarang ini pun bukan tak terdengar caci-maki semacam itu.

Sangat banyak ekspresi budaya, peradaban, politik atau teknologi manusia yang secara haqiqiyah mencaci maki Al-Fatihah dan tindakan makar kepada Tuhan. Tiap hari kita merasakan bahwa ekspresi-ekspresi banyak manusia, kelompok, sistem atau keputusan dan perilaku dari kalangan makhluk manusia, yang bukan hanya menunjukkan ketidakpedulian kepada Allah, tetapi bahkan juga melecehkan-Nya, menghina-Nya.

Lihat juga

Sedikit saja kita menggunakan kehalusan jiwa, kecerdasan akal dan aplikasi logika, kita merasakan hal-hal itu berseliweran di sekitar kita melalui banyak “corong zaman”, media-media, isi pidato dan pernyataan, tindakan, keputusan budaya, sosial, politik, dan banyak lagi.

سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

Bertasbih kepada Allah semua apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Hashr: 1).

Semua yang di langit dan bumi bertasbih kepada Allah, tapi dari kalangan manusia terdengar suara yang berbeda dan sikap yang lain. Kalau kita melakukan wawancara kepada manusia, di level dan segmen manapun, pasti jawabannya mencerminkan “sabbaha lillahi”. Tetapi kalau kita menyaksikan atmosfer budaya dan politik manusia, yang berlangsung sangat banyak yang sebaliknya.

Terkadang kita berpikir dan bertanya kenapa dalam firman itu Allah memakai kata “ma” dan bukan “man”. Kalau itu diterjemahkan secara lughawiyah kaku dan teknis linguistik formal: yang bertasbih kepada Allah adalah “apa-apa” dan bukan “siapa”.

Yang bertasbih kepada Allah adalah alam, udara, sungai, lautan, gunung, pepohonan, dan dedaunan. Itu semua memang “ma”. Dan mereka semua hidup sepenuhnya menuruti “sunnah”-Nya. Mereka semua berlaku “yaf’aluna ma yu`marun”, hanya mengerjakan yang di-amr dan di-iradahkan Allah.

Dan seakan-akan yang “man”, misalnya manusia, praktik peradabannya memang tidak bertasbih. Tidak mengandung aspirasi tentang kesucian Allah. Terlalu banyak fakta kedhaliman, kekufuran, kemunafikan, tindakan perusakan dan penghancuran dalam kehidupan manusia untuk memungkinkannya dianggap “sabbaha lillah”.

Manusia tidak berada pada posisi takjub kepada Allah. Karena hampir seluruh bangunan ilmu, teknologi, politik dan manajemen peradaban manusia memang tidak mencerminkan apresiasinya terhadap “al’aziz al’hakim”, Allah yang Maha Agung dan Maha Bijaksana. Sorga tidak menggiurkan dan neraka tidak mengerikan bagi peradaban manusia modern.

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’”. (Ali-Imran: 191).

Tidak ada aspirasi gagasan dari kumpulan manusia, apalagi perusahaan-perusahaan eksplorator kekayaan bumi, yang mengacu pada “Robbana ma khalaqta hadza bathila”. Tidak ada Negara, Kerajaan atau Pemerintahan yang berangkat mengelola kehidupan rakyatnya dengan landasan “Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

Subhanallah. Ghairil maghdlubi ‘alaihim waladhdhoollin. 

Emha Ainun Nadjib
23 Mei 2023.

Lihat juga

Back to top button