Tadabbur Hari ini (18), BUNUH EMHA

إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
(Al-Fatihah: 5-6)

Salah satu tema forum rakyat di suatu Simpul Maiyah sekitar tahun 2005 adalah “Bunuh Emha”.Itu sungguh-sungguh. Tetapi tidak lantas penggiat KC atau para Salikinal Maiyah mengeroyok Emha. Menikamnya beramai-ramai. Mengikatnya di tiang kemudian melakukan “picis rajabrana”. Atau disuguhi minuman beracun supaya agak halus.

Emha biasanya datang naik panggung pakai Peci Maiyah Merah Putih. Tetapi peci Emha bukanlah Emha. Juga baju celana sandal Emha bukanlah Emha. Bahkan jasad dan sosoknya juga bukan Emha, itu hanya jasadnya. Kepala Emha bukan Emha, telapak tangan Emha bukan Emha.

Badan tubuh jasad Emha hanya tajalli-nya. Hanya gejalanya. Hanya perwakilan kehadirannya di dunia kasat mata. Tapi ia bukan Emha. Emha yang otentik orisinal dan sejati bisa dilihat tidak dengan mata, kamera atau alat biologis dan materiil apapun. Mungkin kita tak pernah menjumpainya. Apalagi dengan receiver seri milenial. Apalagi dengan algoritma nilai, dengan model mental, kecurangan dan penyempitan cara kerja intelektual, keburaman spiritual, atau kaca batin yang di-framing kayu kebencian, kedengkian dan hasad tingkat tinggi.

Kalau itu dirimu, tidak perlu “Bunuh Emha”. Sebab toh ia tidak ada padamu, ia tidak pernah exsist dalam dirimu. Yang menyala dalam batinmu adalah munculan khayal dan bayang-bayang yang diproduksi oleh subjektivitas “syarri hasidin idza hasad”-mu, stigma negatif yang diperlukan oleh kepentingan pemihakan politik dan darurat kebutuhan nafkah hidupmu.

Lihat juga

Jannatul Maiyah” sudah lama terbiasa dengan cara berpikir seperti itu. Mereka independen di luar box mainstream. Mereka menerapkan pola persepsi, metode analisis, cara pandang, sisi pandang, jarak pandang, resolusi pandang dan bulatan pandang tersendiri.

Mereka belajar tekun dalam kesegaran rasa syukur untuk menghindarkan jangan sampai nanti kalau ketemu Nabi Isa As. atau Sayidina Ali bin Abi Thalib (karramallahu wajhahu) lantas beliau bilang: “Aduh maaf aku tidak dianugerahi Allah fadhilah untuk bisa menyembuhkan penyakit ahmaq-mu”. “Kalau memperbaiki akhlaq dan kebudayaan, kalau menservis kerusakan masyarakat dan negara, masih mungkin. Tapi untuk kasus ahmaq aku angkat tangan….”

Tema “Bunuh Emha” adalah hasil penghayatan terhadap “Iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in”. Hanya kepada Allah kita menyembah dan hanya kepada Allah pula kita mohon pertolongan. Tentu saja tolong-menolong di antara manusia juga termasuk yang utama diajarkan oleh Allah. Tetapi itu bukan pada substansi, level dan kadar “iyyaka nasta’in”.

“Bunuh Emha” itu cara frontal untuk menghalangi perilaku pengkultusan, pemberhalaan atau penyembahan kepada manusia. Cara untuk tidak membiarkan berlangsungnya feodalisme, egosentrisme, kekaguman improporsional, kultus individu, pemberhalaan dan penyembahan kepada yang bukan Tuhan. Yang di luar Maiyah lazim merupakan bagian dari tradisi masyarakat “gathul” yang tak kunjung berkembang untuk menjadi katak.

Emha tidak boleh membiarkan Jamaah Maiyah menyembahnya. “Salikinal Maiyah” harus belajar membedakan antara menyembah dengan mengabdi, bekerja sama dan berpartisipasi. Kepada yang bukan Tuhan, pol mengabdi saja. Kepada Allah, menyembah sekaligus mengabdi.

Masyarakat Maiyah “sinau bareng”, dan di antara mereka saling berpartisipasi dan bekerjasama di kegiatan apapun yang memungkinkan. Kongsi dagang kecil-kecilan atau apapun. Dan mereka membuktikan bisa melestarikan maiyahan rutin tiap bulan di 73 Simpul selama 30-an tahun.

Kalau habis acara mereka antre di depan panggung untuk bersalaman, minta dipeluk, diusek-usek kepalanya, ditiup air bawaannya, ditampar pipinya, bahkan diludahi mulutnya, itu semua tidak boleh berdasarkan mental kultus. Itu hanya peristiwa cinta dan saling percaya. Itu hanya “wasilah” urusan dengan Allah dan Kanjeng Nabi. Dan kalau sampai Emha tampak merasa bangga atau “mbagusi” karena tradisi itu, tempeleng saja kepalanya.

Seorang tokoh bisa saja canderung manuhankan dirinya. Tetapi yang lebih berbahaya dan mengancam peradaban adalah kalau masyarakatnya menuhankannya. Masyarakatnya tidak hanya patuh, mencintai dan membela, tetapi jangan sampai level menyembahnya.

Jadi, tema “Bunuh Emha” sangat jelas landasan berpikirnya, akar akidah dan ideologinya.

وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ
فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ 

Siapa menyembah Tuhan yang bukan Allah, tidak ada dalil atau argumentasinya, dan di tangan Allah perhitungan atasnya”. Dan yang mengambil keputusan kufur itu jangan menyangka akan mendapat keuntungan. Allah “la yuflihul kafirun”.

Maiyah adalah sinau bareng dan praktek “Iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in” dan “Ihdinashshirathal mustaqim”.

Emha Ainun Nadjib
16 Mei 2023.

Lihat juga

Back to top button