Tadabbur Hari ini (11), SUKA-SUKA TUHAN LAH
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)
Anda dan siapapun tetap berpeluang melakukan muhasabah. Ke dalam atau keluar diri. Setiap orang bukanlah bagian dari suatu golongan yang berperang melawan golongan lain. Pertarungan atau peperangan yang berlangsung adalah perang nilai, yang itu pun berada dalam hitungan rentang waktu. Antara benar melawan salah, baik melawan buruk, kekuasaan melawan keterkuasaan, kemuliaan versus kehinaan. Dan peta-peta lainnya yang sangat luas sekaligus lembut. Anda menyusun strategi dalam peperangan nilai itu dalam segala konteks dan spektrum.
Apakah Anda sedang mengalami kemenangan? Menang dalam cara pandang yang mana? Menang kapan? Ataukah Anda hancur? Kehancuran bagaimana? Dilihat dari konteks apa? Dipandang dengan bangunan berpikir yang bagaimana? Kenapa? Atas hitungan apa? Kapan berlakunya? Di Maiyah kita belajar sudut pandang, sisi pandang, polarisasi pandang, kelengkapan pandang, resolusi pandang, lingkaran dan bulatan pandang. Maiyah tidak ikut cara pandang sepetak, sempit dan dangkal, yang seserpih dan linier.
Rentang waktu hidup ini bukan hanya sepanjang usia kita. Bukan hanya terbatas pada satu dua dekade atau era dalam perjalanan Negara. Bahkan tidak sekedar sepanjang ada dunia dan alam semesta. Kapan sesuatu bisa disimpulkan sebelum tiba pada batas akhir rentang perhitungan waktunya?
Dan untuk itu “Maliki Yaumiddin”-nya hanya Allah. Dan Dia Rahman dan Dia Rahim. Maka berikhtiar, berjuang dan bekerja keraslah. Kemudian “fantadliris-sa’ah”. Tunggu waktunya. Kita tidak tahu dan tidak berkuasa atas apa yang akan terjadi besok pagi, dua tahun lagi, lima dan sepuluh tahun lagi. “Idza ja`a ajaluhum la yasta`khirunas-sa’ah”. Kalau tiba saatnya, kejayaan atau kehancuran, kebangkitan atau kematian, tak siapapun bisa menolak atau menunda waktunya.
Kita berbangga dan menjadi optimis menjalani hidup dengan banyak sekali rumus-rumus kehidupan. Yang bersumber dari Kitab Suci atau peradaban dan kebudayaan manusia sendiri. “Ngundhuh wohing pakarti”, “Siapa menebar angin akan menuai badai”. “Faman ya’mal mitsqala drarratin khairan yaroh, waman ya’mal mitsqala dzarrotin syarron yaroh”.
Tetapi jangan kaget memang mungkin ada yang menanggapi: “Ya semau-mau Tuhan lah”. “Suka-suka Allah dong”. “Innallaha ‘ala kulli syai-in Qadir”.
Yang lalim tetap jaya, yang melawan harus siap dipralaya. Dan itu bisa membuat yang dituhankan maupun yang menuhankan akan besar kepala, merasa benar, dan semakin mantap menjalankan kelalimannya.
Allah maha berdaulat untuk menentukan apa saja semau-mau Dia. Silahkan manusia yang berpikir 3-C (ciut, cethèk, cekak) merasa nelongso, ngenes, menangis mengguguk-guguk. Apalagi kalau para pemuka Agama, para cendekiawan dan bijaksanawan tidak menjelaskan kepada mereka “thariqat” dan metode berpikir yang bisa mengelaborasi itu dengan “mizan”.
Emha Ainun Nadjib
9 Mei 2023.