TA’ARUF, PEKERJAAN KITA SEHARI-HARI

Beranjangsana ke ndalem Mas Islamiyanto di Delanggu, Klaten, rasanya seperti Maiyahan. Sebab selain silaturahmi, di sana juga terjalin diskusi panjang, tanya jawab, serta mengelaborasi banyak hal. Sejak petang hingga larut malam. Terasa betah lantaran ditemani kopi hitam, lintingan tembakau, dan aneka cemilan.

Secara personal, sebetulnya saya belum kenal dekat dengan Mas Islamiyanto. Untungnya beliau pribadi yang mudah akrab. Bahkan tak segan merangkul kami-kami ini. Meski belum lama kenal, obrolan kami begitu cair mengalir. Mas Is adalah tipikal penutur sekaligus pendengar yang baik. Sehingga kami pun merasa nyaman dan krasan bercengkrama lama-lama dengan beliau. 

Bicara tentang kenal-mengenal, kami sempat terlibat asik membincang hal tersebut. Dalam bahasa Arab, saling mengenal antar satu dengan yang lain disebut dengan ta’aruf. Seperti yang tercantum dalam surah Al Hujurat ayat 13. “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” Di samping itu ada sebagian kita yang sering menggunakan kata ta’aruf sebagai cara untuk memperhalus istilah pacaran. Ya ndak papa. Monggo-monggo saja. 

Dalam istilah ta’aruf, Mas Is menyodorkan perspektif yang lebih luas. “Apakah ta’aruf/ mengenal itu hanya sebatas kita mengenal orang lain? Individu dengan individu?,” tanya beliau. “Apakah tidak sebaiknya sebelum kita ta’aruf dengan orang lain, kita terlebih dahulu mengenal diri kita sendiri?,” sambung beliau. Kami semua diam mendengar pertanyaan tersebut, sembari bertanya-tanya kepada diri kita masing-masing. 

Jangankan sama orang lain, lha wong pada diri kita sendiri saja kita belum kenal betul. “Coba, sampeyan tahu jumlah jenggot yang sampeyan punya itu?,” tanya Mas Is sambil menengok ke arah saya. Dan saya pun hanya menggeleng tanda tidak tahu. “Sampeyan tahu berapa liter air yang Anda minum setiap harinya?,” tanya Mas Is kepada rekan sebelah saya. Tak ada jawaban dari dia. “Jadi, kita selama ini sebetulnya belum benar-benar mengenal diri kita sendiri,” terang Mas Islami. 

Satu rekan saya kemudian merespons. “Saya pernah mendengar hadist, atau fatwa ulama yang berbunyi, Man Arofa Nafsahu, Faqod Arofa Robbahu. Barangsiapa mengenal dirinya, maka Ia mengenal Tuhan-Nya. Bagaimana kita memaknai itu Mas Yai?” Sebelum menjawab, Mas Is menyalakan rokok filternya. Dengan tenang, beliau memaparkan secara panjang lebar. “Kata Man dalam Man Arofa Nafsahu itu melingkupi satu konteks awal sejak penciptaan Nur Muhammad sampai kelak akhir zaman. Man itu dapat diartikan sebagian dalam keseluruhan. Dan dalam keseluruhan mengandung bagian-bagian.

Contoh sederhananya begini, ketika kita melihat rambut, kita tidak hanya berhenti pada rambut. Ada hal-hal lain yang menyertai rambut. Kenapa rambut kalau dipotong bisa tumbuh lagi, siapa yang menumbuhkannya? Kenapa setiap orang memiliki jenis rambut yang berbeda-beda? Ada yang lurus, ikal, keriting, kribo, dll. Siapakah yang membentuknya? Dan saat melihat rambut, secara otomatis kita juga akan melihat kepala, kulit, leher, mata, alis, hidung, telinga, mulut, dan lainnya. Semua itu terkait terikat. Rambut tidak berdiri sendiri. Ia (rambut) memiliki ketersambungan satu dengan yang lain. 

Itu baru soal rambut. Instrumen kecil yang ternyata saling kelindan dengan unsur-unsur lain. Kompleks. Pertanyaannya, apakah proses ta’aruf hanya berhenti di rambut saja? Jelas tidak. Bahwa hidup itu sendiri adalah proses panjang ta’aruf. Pekerjaan sehari-hari. Sampai nanti, sampai mati. 

Dimulai dari mengenali diri sendiri, mengenali sesama manusia (keluarga, rekan, saudara, tetangga, guru, dll), mengenali lingkungan (masyarakat), mengenali makhluk hidup lain (binatang, tumbuhan), mengenali alam (air, udara, tanah, cuaca, iklim, dll), mengenali Nabi dan Rasul, mengenali para Malaikat, sampai pada puncaknya mengenali Allah azza wa jalla. Man Arofa Nafsahu, Faqod Arofa Robbahu. Seperti kata pepatah lama; tak kenal, maka tak sayang. Sudah kenal, akan sayang kemudian. Semoga demikian. 

Gemolong, Oktober 2022

Lihat juga

Back to top button