Syuronan Bersama KiaiKanjeng
Sabtu malam (22/7), Gamelan KiaiKanjeng hadir di Desa Bantal, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang. Mas Sabrang MDP, Gus Aniq, Habib Anis Sholeh Ba’asyin juga ikut membersamai dalam acara Syuronan di desa Bantal ini.
Malam penuh berkah, tidak hanya bagi masyarakat, namun juga untuk para pedagang. Anak-anak diajak serta oleh orangtua mereka, menikmati semarak Syuronan di lapangan terbuka.
Nomor medle “Tombo Ati – Syi’ir Abu Nawas” dari album Kado Muhammad Mbah Nun dan KiaiKanjeng berkumandang. Lagu ini memang nomor andalan KiaiKanjeng. Tua muda dan lintas generasi langsung nyambung dengan tembang ini.
Acara Syuronan ini diselenggarakan oleh masyarakat Desa Bantal, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang dalam rangka memperingati momentum 1 Muharram (Hijrah Nabi Muhammad Saw) yang dalam budaya masyarakat Jawa lazim disebut dengan istilah Suronan/Syuronan. Tema yang diusung adalah “Dari Desa Menjaga Persatuan, Merawat Kerukunan, Menyebarkan Kebaikan untuk Indonesia.”
Desa Bantal memiliki warga kurang lebih 900 KK. Mayoritas mereka bekerja sebagai petani dan perantau. Hasil tani rata-rata desa ini adalah jagung dan palawija. Sementara lahan sawah di Desa Bantal ini umumnya adalah sawah tadah hujan. Selain itu, mereka yang merantau—hampir 80 persen warga—banyak yang bekerja di proyek-proyek infrastruktur dan properti di kota lain, misalnya di Jakarta. Selain dua mata pencaharian tersebut, ada pula mereka yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang.
Kepada mereka semua, KiaiKanjeng mendoakan agar mereka yang bertani, bisa panen dengan baik, mereka yang merantau, bisa pulang membawa uang yang banyak, mereka yang sedang hamil, semoga diberi kelancaran saat persalinan dan anak-anaknya menjadi anak-anak yang saleh salehah, mereka yang punya utang, bisa segera lunas utangnya, mereka yang punya masalah, bisa segera teratasi masalahnya, mereka yang masih jomblo, semoga bisa terentaskan segera dari kejombloannya. Gemuruh amin pun memenuhi udara lapangan Bantal menyambut doa KiaiKanjeng untuk mereka.
Kurun waktu 5-7 tahun terakhir ini, sebelum pandemi, masyarakat desa Bantal, terutama anak-anak mudanya, sudah mengenal dan ikut Maiyahan bila Mbah Nun dan KiaiKanjeng tengah Maiyahan di desa atau daerah terdekat seperti di Semarang, Salatiga, Boyolali dan sekitarnya.
Tema yang diusung dalam Syuronan ini adalah keresahan para penggerak pemuda desa akan tergerusnya nilai-nilai dasar seperti bersatu, rukun, dan menyemai kebaikan-kebaikan dalam bermasyarakat. Selain itu, latar belakang lain adalah kebutuhan untuk bersatu dan berkolaborasi dari seluruh elemen masyarakat desa (pemuda, pengusaha, alim ulama, dan perangkat desa) dalam membangun desa Bantal agar lebih berdaya, berbudaya, dan bermartabat di era polusi informasi seperti sekarang ini.
Tentang persatuan, kerukunan, dan keguyuban ini, KiaiKanjeng menyampaikan teori Mbah Nun yang dulu sering disampaikan dalam Sinau Bareng bahwa kerukunan dan persatuan adalah akibat dari sebab yang berupa adanya keadilan, kesejahteraan, pengayoman, dll. Bila ingin persatuan tercipta, lakukanlah sebab-sebabnya. Maka, Mas Jijid dan Mas Doni dengan apik menggambarkan kalau di antara warga mau ngopi bareng, srawung, pemerintah mau mengayomi, dll, niscaya persatuan, kerukunan, dan keguyuban akan terwujud.
Nah, dengan acara Syuronan Bersama KiaiKanjeng ini, harapannya pemuda desa semakin aware, titen, dan bisa bersatu menghadapi tantangan ke depan yang akan semakin dinamis dan mereka punya kesiapan menghadapi persaingan yang semakin kompetitif di era teknologi di mana AI menjadi leader of innovation saat ini.
Harapannya pula, bahwa untuk bisa menyebarkan kebaikan, berkarya, dan berusaha untuk masa depan baik untuk pribadi maupun desa atau negaranya tidak harus beranjak ke kota. Sekarang semua itu bisa di lakukan di pojok-pojok desa.
Sementara itu, merefleksikan peristiwa hijrahnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. dari Mekah menuju Madinah, ada dua hal yang menurut Mas Sabrang menjadi elemen penting proses hijrah tersebut.
Dua elemen itu adalah: pertama, kebulatan tekad (tatag) saat menjalani satu perjuangan, dalam hal ini adalah hijrah dari Mekah ke Madinah dengan berbagai tantangannya. Yang kedua adalah semangat kesediaan untuk memberi bantuan kepada orang lain, tanpa pandang bulu. Kanjeng Nabi Muhammad Saw. sudah mengajarkan kepada kita mengenai keberagaman itu. Diversity bukan hanya menjadi slogan, namun sudah diaplikasikan secara langsung. Tidak mengherankan jika kemudian saat itu Kanjeng Nabi Muhammad beserta rombonganya diterima oleh masyarakat Madinah.
Keberhasilan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. dalam peristiwa hijrah itu tak lepas dari sikap pengayoman yang dimiliki oleh beliau, sehingga saat memasuki Madinah, tidak menemui perlawanan dari penduduk Madinah saat itu. Bahkan, pada prosesnya lahirlah Piagam Madinah sebagai pondasi konstitusi saat itu yang disepakati bersama untuk menjadi aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat di Madinah.
Sikap pemimpin yang sanggup untuk mengayomi ini yang pernah dibedah oleh Mbah Nun dalam sebuah monolog yang diarsipkan dalam Album Menyorong Rembulan. Dalam monolog itu Mbah Nun menjelaskan seperti apa “Bocah Angon” yang dimaksud dalam lirik lagu “Ilir-ilir”. Hakikatnya, setiap kita harus memiliki daya angon dalam diri kita, sehingga mampu merangkul semua pihak untuk mencapai cita-cita kebaikan untuk bersama.
Nomor medley “Ilir-ilir – Sholawat Badar” tadi malam juga dibawakan oleh KiaiKanjeng. Salah satu nomor andalan dari album Menyorong Rembulan. Dibawakannya nomor tersebut, semakin menegaskan bahwa salah satu hal yang kita butuhkan saat ini adalah pemimpin yang memiliki daya angon, yang sanggup merangkul semua pihak, bukan pemimpin yang hanya memilah kotak-kotak khusus, yang sesuai dengan keinginan dan kemauannya.
Salah satu makna hijrah yang disampaikan Habib Anis adalah hijrah berarti kesediaan untuk meninggalkan apa-apa yang disenangi menuju menjawab tantangan baru. Habib Anis juga memaparkan perbedaan sejarah istilah Syuronan dan Muharraman/Hijrah. Sementara itu, Gus Aniq mengajak jamaah khususnya anak-anak muda untuk bangga dengan desa. Di desa tersedia begitu banyak rahmat Allah. Gus Aniq mengemu ayat yang menegaskan “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada dalam diri mereka” memiliki salah satunemungkinan makna: Allah tidak akan mencabut rahmat yang telah diberikan kepada manusia hingga/kecuali mereka sendiri yang mencabutnya.
KiaiKanjeng sudah sejak dahulu punya prinsip menjunjung apa yang diremehkan orang, menggali apa yang dikuburkan orang, dan mengingat apa yang dilupakan orang. Agar semua menjunjung, menggali, dan mengingat khasanah ilmu yang terkandung dalam tembang-tembang Jawa, Mas Jijid, Mas Doni, dan Mbah Geyol Novi Budianto hadirkan tembang segar seperti E Dayohe Teko.
Anak-anak muda saat ini adalah pemimpin masa depan. Di berbagai level dan skala lingkungannya. Terutama juga di desa-desa. Anak-anak muda saat ini menghadapi tantangan zaman yang lebih kompleks dari generasi sebelumnya. Dalam hal teknologi misalnya, anak-anak muda saat ini secara sporadis mengikuti arus yang mengalir sangat deras. Kemampuan untuk selalu beradaptasi pada perkembangan teknologi adalah salah satu tantangan yang harus dijawab oleh anak-anak muda saat ini.
Anak-anak muda sekarang memang berbeda. Ada level kemajuan yang luar biasa untuk berbuat lebih kepada desanya. Dan Mbah Nun sudah weling kepada kita sejak 40 tahun yang lalu: Indonesia Bagian Dari Desa Saya. Dan anak anak muda Bancak memberi contoh kepada kita tadi malam, bahwa semangat membangun peradaban manusia memang harus dimulai dari desa.
Acara Syuronan tadi malam berlangsung hingga pukul 23.45 WIB, dan salut buat semua yang hadir, hingga akhir acara semua istiqamah dan setia mengikuti shalawatan bersama KiaiKanjeng, tanpa ada yang pulang duluan. Mereka baru kembali ke rumah masing-masing tepat setelah acara ditutup dengan diantarkan nomor Shalawat Jibril oleh KiaiKanjeng.[]