Perginya Sang Makhluk Langka
Untuk cover majalah suatu hari Jemek kami jadikan model. Dia sebagai manusia sakit yang minum infus. Maka selang-selamh infus tidak menancap di tubuhnya tapi langsung masuk ke mulutnya.
“Bajingan tenan iki sing duwe ide. Mosok aku dikon nguntal infus,” gerutunya.
Tapi itu guyonan Jemek. Dia akan manut apapun yang kami minta. Potretan berjalan lancar. Begitu rampung kami makan dan dia diberi amplop sebagai honor.
“Kapan-kapan aku digawe model wong mati ya?”
“Mangsudmu piye, Mek?” tanya saya.
“Aku turu neng peti mati nganggo pakaian jenazah.”
“Kowe dipocong?”
“Ora. Didandani kayak jenazah wong Katolik kae.”
“Lho kowe ki Katulik ta?”
“Prekkk…asu ki. Elek-elek ngene aku ki ya muride Yesus. Aku kawin cara Gereja neng Kidul Loji. Sing nikahke aku Romo Vossen Waskito, SJ.”
“Kok kowe nek Minggu ora tahu neng Gereja?”
“Rasah neng Gereja Romo-Romo wis dha ngerti nek aku wong soleh.. ha..ha…”
Begitulah gojekan bersama Jemek. Gojekan kere . Tapi kadang serius. Dia manusia langka untuk Yogyakarta. Juga untuk Indonesia. Sebagai pantomimer dia belajar otodidak. Karena terpaksa. Sebagai anggota grup teater dia tidak bisa menghapal naskah. Memorinya mungkin lemot.
Dunia Jemek adalah absurd. Dia menghidupi keluarga (isteri dan satu anak) dengan honor sebagai pantomimer. Tapi juga dengan “uluran tangan” teman-teman. Kalau ketemu dia tidak segan cerita tentang masalah yang dihadapi.
“Aku kudu mbayar SPP bojoku. Coba pikir apa ana seniman kaya aku iki sing mampu mbayari kuliah bojo neng ISI? Ketoke ya mung aku ta, Bud?”
Jemek memang sosok yang luar biasa. Sulit dicari padanannya. Isterinya, Threda, seorang pelukis. Bisa meraih gelar S1 di ISI Yogyakarta.
Namun tidak berarti dia lalu bisa ongkang-ongkang kaki. Karena harus membiayai sekolah anak semata wayangnya, Kinanti Sekar.
Saya tidak tahu bagaimana Jemek jatuh bangun membiayai kuliah anaknya itu. Tapi Jemek sangat bangga jika menceritakan prestasi Kinanti Sekar sebagai penari profesional.
“Anakku lagi neng Jepang, Mas. Njoged neng kana. Ora ngira ta anakku bisa neng Jepang golek duit, hehehe.”
Diam-diam saya kagum juga. Kalau tidak pentas Jemek dengan senang hati menunggu toko peti mati di jalan Brigjen Katamso. Melek sampai subuh menunggu orang beli peti mati dan perlengkapannya. Dari peti yang laku itu dia mendapat komisi. Sebagian uangnya untuk keperluan keluarga sebagian masuk kantong sendiri.
Itulah sebenarnya pentas pantomim asli seorang Jemek. Bukan pada saat dia naik panggung atau diminta pentas dan dapat honor. Justru ketika dia menunggui barang dagangannya dan berharap ada kematian malam itu.
Selamat jalan Mek. Sekarang tidak ada lagi orang yang menyebut Cak Nun sebagai “nabi” karena memberi 500 rb. Kalau cuma 200 rb maka Cak Nun hanya seorang “ustadz”.