PENERAPAN DHAWUH SIMBAH

Sedikit ingin menulis atau lebih tepatnya curhat. Entah kenapa saya ingin menulis ini.

Kemarin waktu Mocopat Syafaat (17 September 2023), saya lebih senang menyebutnya dengan 17-an (pitulasan), secara teknis acaranya berjalan seperti biasa, seperti bulan-bulan sebelumnya.

Tetapi bagi saya acara 17-an kemarin benar benar 17-an yang berbeda dari biasanya.

Mungkin bisa ditarik mundur sedikit. Entah mengapa akhir-akhir ini greget (semangat) untuk Maiyahan sedikit menurun dengan adanya beberapa faktor. Bulan Agustus lalu saya tidak berangkat 17-an, dan sepertinya hampir 2 bulan saya tidak berangkat Tawashshulan. Singkat cerita, sore sebelum 17-an saya niatkan untuk berangkat: “recharge energi ah”.

Lihat juga

Sampai di TKIT Alhamdulillah, dari kejauhan saya lihat Lik Trip. Lalu secara naluriah saya salim Lik Trip kemudian pamit “Monggo, Lik, kula riyin (mari, Lik, saya duluan)” ucap saya lalu melanjutkan jalan.

Di sebelah selatan, tepatnya di depan lapak Pasar 17-an, terlihat Pakdhe Maskun sedang berbincang dengan seseorang. Saya hampiri Pakdhe Maskun dan salim kepada beliau. Sedikit basa-basi dengan Pakdhe, saya bertanya “Kok tumben sepi niki, Dhe? (kok tumben sepi ini, Dhe?)”

Yo biasa koyo ngene ki (ya biasa begini ini)”, jawab Pakdhe dengan wibawanya.

Saya menyambung dengan sedikit bertanya kepada Pakdhe “Dhe, kok hampir 2 bulan ini semangatku Maiyahan berkurang ya? Seperti yang waktu itu saya ceritakan kepada Pakdhe”. Hampir 2 bulan saya tidak berangkat Tawashshulan. Bahkan 17-an bulan kemarin pun saya juga tidak berangkat”.

Masih dengan berwibawa Pakdhe menjawab, “Yo biasa le, karang jenenge menungso (ya biasa nak, namanya juga manusia)”.

Saya jawab,”Sebenarnya saya juga gelisah, tapi mau bagaimana, kalah oleh rasa malas”.

Lha adhewe ndene ki ngilangi gelisah je (Loh, kita ke mari itu untuk menghilangkan gelisah lho)”, tukas beliau.

Deg! seperti tertampar rasanya. “Nggih pun, Dhe, tak marani kancaku, dewe kae mau bocahe (Ya sudah, Dhe, saya mau menemui kawan saya, dia sendirian tadi)”, jawab saya.

“Ya, siap!” kata Pakdhe Maskun.

Saya lalu duduk di pojok dekat tiang seperti biasa. Saat itu sedang “nderes (tadarus) Qur’an” namun saya hanya mendengar, menyimak, dan terdiam. Di dalam diam, tiba-tiba pikiran saya mulai liar memikirkan hal-hal random. “Ah, dasar aku, lagi nyimak Qur’an malah mikir ke mana-mana”. Tapi ya bagaimana, ini otomatis dan di luar kontrol saya. 

Di momen itu tiba-tiba semua yang sedang mengganggu pikiran saya muncul seperti slide foto sampai di ujungnya semua hal tersebut bisa sedikit ‘sumeleh’.

“Ah, sudah lama aku tidak merasa sumeleh begini”, pikir saya dalam hati.

Acara masih terus berlanjut sampai di momen Mbak Gielsa dan teman-teman yang lain perfom. Saya sangat menikmati musikalisasi puisi itu. Hingga tiba kesadaran “Loh ini Maiyahan to? kok rasanya beda?” 

Di situ saya menyadari Maiyahan ini benar-benar berbeda dari sebelum-sebelumnya. Saya merasa Maiyahan ini adalah bentuk implementasi/aplikasi dhawuh-dhawuh (pesan-pesan ajaran) Simbah selama ini.

Dan 17-an kemarin saya benar-benar merasa “ini Maiyahan dengan intensitas dan frekuensi yang berbeda”. Entahlah, tapi itu yang saya rasakan, nyamannya berbeda dengan Maiyahan ketika dibersamai raga Simbah di panggung. Namun ini juga nyaman.

Dan semoga memang benar yang saya rasakan bahwa 17-an kemarin adalah aplikasi dari dhawuh Simbah selama ini. Semoga cinta ini akan terus diperjalankan, hingga saya menemukan hendak sampai di mana.

Lihat juga

Back to top button