NEMU, NAMATI, NGIGUHKE
Jam sudah mendekat ke angka 18:30 WIB, saya segera bersiap semampunya. Teman-teman NM yang menurut saya lebih “expert” ilmu muamalah ndilalah kok sedang tidak bisa mewakili NM sinergi ke Mocopat Syafaat Februari 2023. Yaweslah sak iso-isone dimenyangi, kata batin saya.
Makjlig.. sampai teras rumah Keluarga Mas Bambang (lokasi Majeska Perdana LKMS). Masih sepi, ada beberapa “santri” Kang Fauzi Imam Kecil (di NM kami biasa memberi julukan begitu) sedang sibuk menyiapkan lapak yang tentu Anda tahu menjual apa saja.
Beberapa jamaah maiyahan Mocopat Syafaat mulai berdatangan. Ada seorang Ibu dan Putrinya setelah memarkir motor kemudian bertanya ke saya.
“Mas, njenengan juga jamaah maiyah?”
“Nggih Budhe. Pripun?”
“Saya baru ke sini kali ini sejak covid”, kata Ibu sambil melepas jas hujan.
“Ouh nggih Budhe”, sahut saya.
“Nitip motor ya Mas, saya tak ke depan panggung”, kata beliau lagi.
“Nggih Budhe, siap”, jawab saya sambil menundukkan kepala.
Blaikk! Sudah lama saya berhenti jadi juru parkir, apa sisa-sisa aura “perparkiran” masih melekat di badan saya ya, gumam hati ini.
Sekejab kemudian Kang Fauzi menghampiri, sesudah Mas Angga datang dan duduk bersama saya.
“Arep mbahas opo Lik?”, tanya Kang Fauzi.
“Haembuh. Mungkin cerita temuan NM terkait personalitas Suwargi Mbah Fuad”, jawab saya.
“Aku raiso tenan je. Jam 7 kudu siap-siap rapat panitia ramadhan nang masjid cedhak omah”, kata Kang Fauzi.
Akhir-akhir ini memang Kang Fauzi sibuk. Beberapa saya tahu, beberapa tidak. Tetapi yang saya tangkap, teman-teman NM memang secara person sedang sibuk dengan kegiatan muamalahnya. Dan itu menggembirakan bagi kami (NM). Sebab toh ketika “jum’at diskusi”, bahan untuk didialogkan menjadi bermacam-macam dan kaya.
Singkat cerita, kami (saya, Mas Angga, Mas Tri Reman, Dhe Maskun) sudah di ruang dalam TKIT Alhamdulillah, selatan panggung tepatnya.
Kalau sudah selesai menikmati “ambengan”, segera merapat ke samping panggung, chat Mas Helmi.
Siap Om, jawab saya.
Apa yang mau saya share nanti? Perihal personalitas Suwargi Mbah Fuad? Baik sangka dan waspada? Kesungguh-sungguhan dan sholat 5 waktu? Atau apa?
Kalimat-kalimat tanya tersebut terus berputar di atas kepala saya.
“Haishh, crito kasunyatan sing eneng hikmahe wae. Rasah abot-abot le mikir, jolali syahadat ping 3 saurunge ngomong. Hutan rimba, masukilah!”, kata suara entah siapa.
Sabut Kelapa, Tokek – Nyamuk, Bebek – Endog Bebek, Pertengkaran, Kakek, Nenek, akhirnya adalah kata-kata yang kemudian menjadi puzzle sharing saya.
Bahwasanya orang-orang tua di sekitar kita ternyata memiliki metodologi memecahkan masalah yang mereka hadapi, itulah stressing poin yang coba saya sampaikan.
Bagaimana beliau-beliau ketika “nemu” (menemui – menemukan), “namati” (mengamati sampai tamat), dan “ngiguhke” (mencari dan melakukan cara pemecahan) atas masalah dalam keseharian hidup, jebule cerdik dan tidak melukai sesama.
Nyamuk tidak ngang-nging-ngung dan nggigiti badan, tokek tidak “mbrebegi” di waktu istirahat Sang Nenek sudah teratasi dengan solusi sederhana (tidak rumit) yakni membakar sabut kelapa menjelang maghrib di ruang tengah rumah. Juga telur bebek Sang Kakek tetap dalam jumlah harian biasanya “with” solusi meminimalisir atau bahkan mentiadakan pertengkaran dengan Istri Beliau, bukankah itu metodologi jitu dan sesuatu yang “mbiyayah enenge” di masyarakat sekitar kita. Atau jangan-jangan kita ini mudah srawung dunia berfikir tetapi memeluk keengganan untuk srawung dunia kasunyatan? Semoga tidak.
Kasihan Bantul, 17 – 18 Februari 2023.