MENIKMATI MADHEP MANTEP NOVI BUDIANTO

“Pameran Tunggal Novi Budianto diselenggarakan atas dasar nyengkuyung paseduluran. Walau menampilkan karya rupa dengan teknik ballpoint pen, helatan ini memampangkan aneka ragam nilai, kemendalaman, keutuhan, dan dimensi estetik dan puitik Novi Budianto”

Sesosok pria berwajah gahar dengan penutup kepala menjuntai itu menimbulkan kesan sangar. Tangan kanannya menunjuk objek berbentuk otak. Telapak tangan kirinya mekar seperti berkuda-kuda hendak mengeluarkan tenaga dalam. Di depan pria itu terdapat bulatan putih besar yang memenuhi hampir separuh badan. Saking besarnya, rambut gondrong berkuncir pria tersebut hanya kelihatan sekilas—tampak menyembul bersembunyi di balik bulatan putih.

Lukisan di atas kanvas dengan teknik arsiran bolpoin (ballpoint pen) berukuran 135 x 80 cm itu terpacak pertama di muka Ruang Pameran, Pendhapa Art Space, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Memasuki galeri seni, pengunjung akan pertama kali disambut oleh karya Novi Budianto berjudul Maulana Iradah itu. Tokoh ini tampak akrab. Sebab, namanya mengingatkan pada salah satu figur dalam pementasan WaliRaja RajaWali.

Maulana Iradah adalah persona yang disepuhkan. Pakaiannya serba putih. Dalam pementasan, sesaat memasuki panggung, dia melangkah dengan lenggak-lenggok tarian bak malaikat. Salah satu petuah yang Maulana Iradah sampaikan: “Jangan pernah goyahkan imanmu kepada mutlaknya cinta Tuhan. Matahari bukan tidak terbit. Ia hanya belum terbit.” Persis pada kata “matahari” itulah kemungkinan besar imaji bulatan putih dalam karya Pak Nevi divisualisasikan.

Puluhan karya Pak Nevi yang dipamerkan pada 19-30 November di Pendhapa Art Space itu banyak melanggamkan figur-figur di telatah Nusantara. Dari sosok Ki Ageng Pengging (130 x 35 cm), Paduka Petruk (135 x 265 cm), Ronggeng (80 x 120 cm), hingga Kanjeng Sunan (135 x 80 cm) terpampang di setiap lekuk ruang galeri. Tidak hanya itu. Karya-karya berpretensi kritik sosial tidak luput disuguhkan Pak Nevi.

Ambil contoh karya bertajuk Bedaya Medsos (255 x 140 cm). Figur perempuan berpakaian Jawa gaya Ngayogyakartan alih-alih bersolek di depan cermin. Dia malahan menggenggam smartphone untuk swafoto. Mimik wajah mengekspresikan tanda kecantikan untuk kemudian “dipadatkan” dalam sekali potret. Entah diunggah ke media sosial atau sekadar arsip pribadi, visualitas itu tidak diceritakan lebih lanjut.

Tema serupa mengemuka dalam karya Pak Nevi berjudul Mendem HP (130 x 75 cm). Pada lukisan itu tampak lima orang tengah menyorot mata di depan layar telepon pintar. Empat orang pertama, sebetulnya seusia bocah sekolahan, kelihatan fokus melihat rimba internet. Satu orang bertugas berselancar di ruang digital. Lainnya sekadar makmum.

Tidak ada ekspresi menandakan adanya peristiwa perbincangan. Tidak ada interaksi padahal mereka saling bersandingan. Kekosongan ini terinterupsi oleh hiruk-pikuk media sosial. Pikiran mereka yang selimuti layar itu menguar ke udara. Pak Nevi menarik garis-garis membentuk kepulan asap itu membentuk “awan” antah-berantah.

Melihat Pak Nevi Seutuhnya 

Pameran Tunggal Karya Novi Budianto yang dibuka pada Sabtu wage (19/11) mengambil tema utama Madhep Mantep. Dalam pembukaan pameran, Mbah Nun menuturkan pameran tunggal ini hendaknya dilihat dengan kacamata keutuhan Pak Nevi. Kendati pameran tersebut menampilkan karya-karya Pak Nevi, Mbah Nun mengharapkan supaya ada penggalian sisi serta level “penampakan” salah satu pendiri KiaiKanjeng itu.

“Kita nggak bisa memahaminya hanya dari sisi seni rupa atau seni lukis saja. Kita harus lihat secara utuh. Memang [dalam seni rupa] ada alirannya. Tapi itu administrasinya. Walaupun perlu, tentu saja. Tapi hidup itu sesuatu yang lebih utuh, mendalam, dan kualitatif. Maka kita maknai karya Pak Nevi dari dimensi kesenian dan kebudayaannya,” ucap Mbah Nun.

Mbah Nun juga memaparkan, bila Islam punya dimensi Rahmatan lil ‘Alamin, maka khusus Yogyakarta Tuhan memberikan rahmat kepada tiga orang: W. S. Rendra, Jemek Supardi, dan Novi Budianto. Pada Pak Nevi, lanjutnya, Allah memberikan berbagai kelengkapan “makhluk antik” ini dengan keragaman makna, nilai, ragam, dan supra-dimensional. 

“Di dalam seni ada salah satunya seni rupa. Berarti ada juga seni sastra, teater, seni tari, dan lain sebagainya. Berarti itu ada urusan e dewe. Saya datang ke sini untuk mensyukuri bahwa Allah kasih Nevi. Ada jagat besar yang ngangslupi Nevi dan akhirnya Nevi melukis. Sesungguhnya, yang melukis itu Tuhan yang berpuisi itu Tuhan. Tidak berarti Tuhan perupa atau penyair,” papar Mbah Nun mengimbuhkan.

Daya kreatif Pak Nevi sehingga menghasilkan karya rupa, hemat Mbah Nun, merupakan kondisi penerimaan karomah dari Tuhan. Mbah Nun mengambil terminologi Jawa sebagai suatu kondisi pangejawantahan dan Islam sebagai tajalli. “Ini yang saya maksud sebagai kemauan Tuhan melalui tangan Nevi. Nevi bisa menangkap kualitas keindahan yang hanya dia yang bisa. Nevi ini dahsyat. Ini manungso yang berbeda dengan lainnya,” ujarnya.

Mbah Nun berpesan kepada audiens agar menikmati guratan-guratan Novi Budianto secara otentik. Dalam katalog pameran, Mbah Nun menulis, “Tuluskan hatimu, merdekakan isi pikiranmu dari berbagai macam intervensi dan penjajahan dari kiri kanan dan seputarmu, yang dekat maupun jauh, lokal maupun global. Nevi ‘ngiguh’ karya-karyanya sampai ke Pameran di Pendhapa Art Space ini dengan madhep mantep sepenuh-penuhnya,” ungkapnya.

Proses Kreatif

Kiai Tohar, panggilan akrab Toto Rahardjo, menceritakan di balik dapur pameran. Sejumlah karya besutan Pak Nevi ini sebagian besar dihasilkan selama dua tahun pandemi. “Setelah ditinggal istrinya, melewati masa pandemi serta pensiun sebagai guru, dan ditinggal kedua anaknya karena sudah berumah tangga, Pak Nevi di rumah sendiri. Masa thilang-thileng. Akhirnya produktif nggambar pakai bolpoin,” sambutnya mewakili keluarga Progress dan KiaiKanjeng Kadipiro.

Menurut Kiai Tohar, sejak belia Pak Nevi memang punya talenta menggambar, baik sejak periode menggambar vinyet, karikatur, maupun ballpoint pen seperti sekarang. Guru seni rupa dengan pendidikan setaraf diploma ini pernah mengabdi sebagai pendidik di pelosok Gunungkidul dan SMP Negeri 6 Yogyakarta. Masa pensiunnya terakhir di SMP yang dahulu bekas bangunan HIS (Hollandsche Indlandsche School) di Jalan RW Monginsidi No 1 itu.

Pak Nevi merupakan tipe orang tandang gawe. Hemat Kiai Tohar, “Novi itu bukan tipe orang yang tidak bisa diam, terus bergerak, obah: tangannya, kakinya bahkan mulutnya, maka dengan menggambar bisa menjadi media untuk berdialog dengan pikirannya, hatinya dan dirinya.” Di balik kreativitasnya itulah ribuan bolpoin telah Pak Nevi habiskan.

“Acara ini nyengkuyung masa-masa usia senjanya Pak Nevi. Di usia senja kita semua mengucapkan semoga terus madhep mantep. Matur nuwun atas waktunya sudah nyengkuyung perhelatannya Pak Nevi yang di usia senjanya masih bisa berkarya,” kata Kiai Tohar menyambut pameran.

Langkah Lebih Lanjut

Setelah pengunjung berkeliling galeri untuk menikmati karya Pak Nevi, pengunjung dipersilakan menyantap semangkuk soto. Hidangan soto kudus langganan Rumah Maiyah Kadipiro ini berkuah kental dan gurih. Ada pula tambahan sate usus, mendoan, dan kerupuk. Perpaduan paripurna yang memanjakan lidah sekaligus kehangatan selama menikmati karya-karya Pak Nevi. Terlebih selama menyeruput kuah soto, pengunjung disuguhkan nomor-nomor unggulan Keroncong KiaiKanjeng. Nuansanya membikin bukan hanya maknyus, melainkan juga kesyahduan menjelang surup.

Kurang-lebih selama seperempat jam menyantap, Mbah Nun mengajak pengunjung pameran kembali ke ruang utama. Perupa Nasirun, Dunadi pemilik Pendhapa Art Space, Fajar Suharno, Sitoresmi Prabuningrat, Kiai Tohar, dan Vincensius Dwimawan merapat di depan panggung utama. “Kita perlu merembuk beberapa hal yang perlu kita lakukan berikutnya,” ajak Mbah Nun.

Nasirun, maestro seni lukis, berpendapat kalau pameran Novi Budianto ini bukan sekadar pameran. Dia menyebut sebagai sebuah peristiwa kebudayaan. “Jadi, saya agak minder lihat karya sampean. Mas Novi ini sudah dibaiat di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) dulu. Garis-garis sketsanya luar biasa,” nilai Nasirun. Dia juga menceritakan bagaimana mahasiswa dahulu digembleng oleh Fadjar Sidik—dosen sekaligus pelukis gaya “abstrak-ekspresif”—dengan meminta membikin 500 sketsa.

“Di masa Pak Fadjar itu ketika isme berkembang, hari ini seni kita tidak perlu menunjukkan identitas sebuah bangsa. Namun, masing-masing tangan setiap orang bisa menunjukkan hal berbeda. Dulu bahkan ada pelajaran Nirmana. Sebuah desain elementer yang dahulu diajarkan oleh Pak Fadjar,” ucap Nasirun. Nasirun mengimbuhkan, sebidang medium kertas atau kanvas kosong kalau diberi sesuatu, meminjam Mbah Nun ihwal karamah, maka akan menjadikan sesuatu. “Kalau dalam rupa ya jadi bahasa seni rupa.”

Nasirun menjelaskan teknik kreatif Novi Budianto sudah maksimal. Kemaksimalannya bukan semacam ornamen dekoratif, melainkan ornamen kolaboratif. Kecenderungan ini mengingatkan Nasirun pada karya mengenai wayang-wayang tradisi di Bali. 

“Saya seneng sekali karena tidak mengadopsi modern mentah-mentah. Kalau habis maka habis masa lampau kita. Barangkali saya kepingin [Novi Budianto] tidak berhenti di sini. Kalau setelah pameran selesai ya hilang. Pameran ini semoga tidak berhenti di Pendhapa Art Space. Bisa di Bentara Budaya, bisa di Jogja National Museum, dan lain sebagainya,” harap Nasirun.

Dunadi, pematung serta pemilik Pendhapa Art Space, merasa terkesima melihat karya Novi Budianto. “Sebenarnya saya terenyuh dan bergetar melihat karya Mas Novi ini. Di situ ada istilah e di kitab-kitab suci. Alam pikirannya luar biasa. Saya bergetar melihat itu. Saya melihatnya karya begini ini laku opo ora. Tapi berkarya ya kayak gitu. Kalau dionceki itu luar biasa. Harusnya pemerintah lihat ini sebagai aset negara,” terangnya.

Kekaguman serupa juga diucapkan Sitoresmi Prabuningrat. “Alhamdulillah wa syukurillah. Saya tidak tahu jenis apa yang saya lihat. Tapi saya lihat dengan rasa. Begitu saya masuk saya nggak menduga. Ada kemampuan dari seorang Novi, padahal sehari-hari kita mengenalnya. Saya tidak mengerti ada potensi sedahsyat ini. Jadi, surprise sekali buat saya. Saya mensyukuri nikmat Allah yang diberikan dari Mas Novi. Kita pokoknya ikut sengkuyung. Agar tersosialisasi. Minimal di seluruh DIY. Pantas nyengkuyung sehingga jadi bernilai ibadah,” tuturnya.

Bagi sebagian hadirin, Fajar Suharno dianggap sebagai “guru spiritual” Novi Budianto. Namun, anggapan itu dia tampik. “Saya bukan guru saudara Novi. Saya teman berproses,” jawabnya. Proses berkesenian Mbah Fajar dan Pak Nevi ini telah berlangsung hampir empat dasawarsa. Dimulai sejak Teater Dinasti.

“Begitu saya masuk,” ungkap Mbah Fajar merujuk galeri seni, “saya merasa ini dahsyat. Begitu impresif sekali saat menonton pameran lukisan ini. Saya mendukung apa yang bisa kita kerjakan. Kita membutuhkan karya-karya dari banyak sistem dan metode. Semoga Allah memberkahi dan meridhai setiap proses yang kita kerjakan. Semoga kita menjaga kreativitas kita.”

Memungkasi acara, Mbah Nun menginginkan agar selama pameran dan target berikutnya terdapat tiga langkah. Pertama, pemaksimalan diskusi karya. Kedua, peliputan acara pameran. Ketiga, pemaknaan lebih luas atas karya Pak Nevi. “Iki iso dadi buku, Nev. Ada esainya. Ada puisinya. Ada pemaknaannya. Itu apik banget,” tutup Mbah Nun.

Lihat juga

Back to top button