MENEMUKAN KEMBALI MAKNA “TRUTH” DAN “RIGHT”
Malam itu Pengajian Padhangmbulan, Ahad, 5 Februari 2023, mengajak Sinau Bareng tentang truth dan right. Dimulai dengan diskusi ringan beberapa menit di teras ndalem kasepuhan Mentoro, Mas Sabrang menyampaikan dua istilah itu, lalu berlanjut pada dua istilah berikutnya: freedom dan liberty.
Ketika adzan maghrib dikumandangkan dan shalat maghrib selesai ditunaikan, beberapa jamaah langsung menempati barisan paling depan. Pemandangan ini menunjukkan situation awareness (kesadaran situasi) jamaah Padhangmbulan. Kesadaran situasi akan menjadi topik sekaligus pintu masuk Sinau Bareng di Pengajian Padhangmbulan.
Kita tengah didera situasi talbis dan turbulance nyaris di semua keadaan. Orang cari selamat sendiri-sendiri: selamat hartanya, selamat jabatannya, selamat kekuasaannya. Silang sengkarut perdebatan tanpa ujung di media sosial merupakan indikator egoisme yang kian menebal dan kesadaran situasi yang kian menipis.
Orang tidak lagi peduli terhadap akurasi makna truth dan right, freedom dan liberty, haq dan batil. Yang menjadi pusat perhatian adalah kepentingannya sendiri. Elemen lingkungan dan peristiwa, kepekaan terhadap ruang dan waktu, serta intensitas terhadap pemaknaan remuk dilindas egoisme.
Situation awareness terhadap kata pun abai. Truth dan right, freedom dan liberty, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “benar” dan “bebas”. Kata sabil, syari’, dan thariq juga serampangan diterjemahkan sebagai “jalan”.
Reduksi makna atas pilihan kata tak dapat dihindari. Makna denotasi yang sesuai dengan kandungan akidah dan filosofi yang sifatnya objektif pada kata itu sendiri tidak menjadi pijakan. Bahkan sebaliknya, kita dikepung konotasi atas satu biji kata yang sifatnya subjektif.
Pengajian Padhangmbulan melakukan “thaharah”, bersuci kembali, untuk menyucikan “hadast” yang menempel dalam pikiran kita. “Thaharah” dimulai dari memahami kembali makna dasar truth dan right.
Kalau selama ini kita mengenal benere dhewe, benere wong akeh, dan bener kang sejati, maka truth adalah kebenaran pada level tertinggi—bener kang sejati. Mbah Nun menyebut kebenaran sejati sebagai al-haq. Kebenaran yang tidak berubah, tidak mungkin berubah, dan tidak dapat diubah. Kebenaran ini datang dari dan milik Allah Swt.
Kendati demikian kebenaran yang hadir secara gamblang tidak serta merta diterima sebagai kebenaran. Bias efek jangkar, bias konfirmasi, barnum effect, choice-supportive bias, clustering illusion merupakan hijab yang menghalangi atau mengaburkan mata pandang saat memandang kebenaran.
Bagaimana dengan right? Ia adalah kebenaran yang bersifat subjektif dan relatif. Benere dhewe dan benere wong akeh termasuk kebenaran dalam lingkup right. Benar menurut saya belum tentu benar menurut Anda. Salah menurut saya belum tentu salah menurut Anda. Subjektivitas dan relativitas kebenaran tidak hanya berlaku pada kasus lokal individual saja; ia juga terjadi pada lingkup komunal, regional, hingga global.
Oleh karena itu, Maiyah membentangkan cara berpikir yang tidak bertumpu pada satu titik pandang. Kita mengenal sudut pandang, jarak pandang, resolusi pandang, lingkar pandang. Semua terminologi ini digunakan tidak untuk kemewahan akademik, melainkan bekal untuk memandang realitas secara utuh.
Namun, itu tidak berarti ketika terminologi tersebut diterapkan lantas hasilnya adalah keutuhan pandang. Yang dapat kita capai baru sebatas “versi pandang”. Mengapa? “Lingkar pandang” yang membentuk “bulatan pandang” sesungguhnya memiliki “view” yang tidak terbatas.
Realitas yang tumbuh dan mengalir, baik kasat mata maupun tidak kasat mata, dalam perspektif lingkar pandang dan bulatan pandang sesungguhnya menampilkan proposisi ketakterbatasan atau infinity.
Simulasi sederhana tentang hal itu adalah realitas rasa manis. Mendeskripsikan rasa manis dalam lingkup right saja kita kehilangan struktur logika bahasa; belum lagi merumuskan rasa manis pada dimensi truth; apalagi menggenggam hakikat rasa manis hingga level al-haq.
Haihaata haihaat, jauh, jauh sekali. Kita pun menyadari betapa sangat sempit dan dangkal “versi pandang” kita.
Ironisnya, alih-alih menempuh proses untuk mengembarai cakrawala al-haq, orang-orang justru bertengkar dan mempertengkarkan versi pandangnya masing-masing. “Benar” melawan “benar”. “Benar” dilawan oleh “benar”. Tidak heran Allah menyebutnya dhaluman jahula: manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.
Jombang, 9 Februrai 2023