MENATA HATI, MENJERNIHKAN AI, MEMPERKAYA PENGETAHUAN KITA
(Liputan Majelis Ilmu Maiyah Mocopat Syafaat Yogyakarta, 17 Mei 2023)
Sekira pukul delapan, saya sudah sampai di Kasihan. Memasuki area TKIT Alhamdulillah, rasanya langsung dejavu. Melihat deretan parkir motor dan mobil yang rapi. Warung makan dan lapak merchandise yang berjejer. Anak-anak yang sopan menawarkan alas. Hingga layar besar dengan background Mocopat Syafaat membentang gagah di tengah jalan. Suasana regeng dan ayem makin tercium.
Dejavu bertambah, manakala tak sengaja saya bertemu dengan Mas Jamal (salah satu tim Progress). Beliau lama stay di Chicago, dan puasa kemarin bisa mudik ke tanah air. Obrolan ringan terjalin. Terasa sempurna, saat saya berkesempatan salaman dengan Mas Sabrang. Teringat 5 tahun lalu (2018), di tempat yang sama, istri saya yang tengah hamil besar dielus perutnya oleh tangan halus beliau. Dan kini anak tersebut sudah masuk TK. Cakap dan cerdasnya ketularan Mas Sabrang sepertinya. Ah, semoga.
***
Jelang pukul sembilan, Mas Helmi memulai acara. Menyapa jamaah dengan bumbu canda mesra. Sebagai pembuka, shalawat Nariyah dilantunkan bersama, diiringi musik khas KiaiKanjeng.
Mocopat Syafaat edisi Mei 2023 mengangkat tema “Menata Hati, Menjernihkan AI (Artificial Intelligence). Tema ini atas inisiatif sang gitaris Letto, Patub. Dan sang vokalis (Sabrang MDP) didapuk sebagai “dosen” pengajar untuk membabar segala hal tentang Artificial Intelligence.
Jujur, tema ini terlalu berat buat saya. Maka seperti yang banyak rekan Jamaah katakan, “kita tidak harus langsung mudeng dengan apa-apa yang dijabarkan oleh Mas Sabrang. Biarlah materi itu menep dulu, kita filter, lalu kita urai kembali satu-satu, pelan-pelan, pahami lebih dalam, sampai ketemu pada inti/ esensi.”
Nah, saya pun demikian. Setiap paparan Mas Sabrang terkait AI, coba saya cermati berkali-kali. Diresapi, dielaborasi, dikembangkan (dengan segala keterbatasan), lalu kemudian di-interpretasi-kan ke dalam ujud tulisan.
“AI, sudah di depan mata kita. Nantinya, AI akan sekrusial seperti listrik. Kita pengen apa saja, tinggal “ngomong”. Ada yang meremehkan. Ada yang excited. Perlu kuda-kuda yang tepat untuk menerjemahkan AI.” Prolog dari Mas Sabrang menjadi rambu-rambu bagi kita dalam melangkah ke step selanjutnya.
Sebelum jauh mengurai AI, Mas Sabrang mengingatkan kita tentang entitas manusia yang paling sederhana. Menurut beliau, menyitir Sigmund Freud, manusia memiliki dua diktator. Pertama, Id. Id itu sifatnya unik. Anti kemapanan. Sedangkan yang kedua adalah Superego. Superego menuntun manusia bersikap ideal di mata masyarakat. Dengan kata lain mendorong manusia pada selazimnya. Seragam. “Nah, sebagai manusia kita mesti berdaulat dalam memposisikan antara Id dan Superego. Bahasa gampangnya, mesti presisi atau empan papan.” Imbuh Mas Sabrang.
“AI itu sebuah teknologi. Fungsinya untuk efektivitas kerja. Oleh karena itu kenali dan manfaatkan AI sebijaknya. Jangan lupa, AI itu buatan manusia. Karena buatan manusia, ada limitasi di sana. Manusia itu terbatas, dan harus sadar batas. Maka kalau ada yang mengatakan AI akan mengalahkan manusia, saya tidak setuju! Tapi manusia akan dikalahkan oleh manusia lain yang bergandengan dengan AI.” Mas Sabrang kembali memberikan warning.
Pak Eddot yang duduk di sebelah Mas Sabrang, turut urun pandangan. Beliau bercerita, ada seorang ibu yang mengadu jikalau di bagian belakang kepala anaknya ada benjolan. Sang ibu mengira itu tumor, dan harus dioperasi. Pak Eddot kemudian menenangkan sekaligus menjelaskan kepada si ibu perihal benjolan di kepala anaknya mesti dicek, dan diobservasi dulu. Baru setelahnya bisa disimpulkan apakah itu tumor atau bukan. Tidak boleh grusa-grusu atau langsung memvonis.
“Kalau kita Googling kata benjolan, pasti yang muncul di beranda google sangat kompleks. Kebanyakan informasi yang muncul menggiring opini kalau benjolan itu adalah tumor. Dan kita tidak boleh melegitimasi langsung kebenaran yang ditampilkan oleh mbah Google. Harus kita analisis dulu sesuai prosedur medis. “AI itu membantu, tapi juga menjerumuskan.” Tegas Pak Eddot.
***
Diskusi diselingi jeda sejenak. Kak Patub turut mengucapkan selamat kepada timnas U22 asuhan Coach Indra Sjafri yang berhasil menyabet medali emas di gelaran Sea Games 2023, di Kamboja kemarin (16/5). Pertandingan yang emosional, yang akhirnya membuat bangsa ini bangga luar biasa.
Selanjutnya KiaiKanjeng membawakan lagu favorit saya berjudul “Berdekatankah Kita.” Musik yang magis beriring suara lengking Mas Doni, mampu mengiris-iris hati.
Seperti mengandung mimpi
Terendam di kepala
Namun sayup tak terhingga
Hanya sunyi, mengajari kita, untuk tak mendua
Mbah Nun yang sudah berada di panggung merespons nomor tersebut. “Berdekatankah kita itu puisi yang saya tulis pada tahun 1974. Lagunya yang bikin Pak Narto Piyul. Kapan-kapan coba kita hadirkan beliau ke sini.” Ucap Mbah Nun.
Berkaitan dengan tema AI yang diwedar oleh Mas Sabrang, Mbah Nun mengibaratkan dirinya seperti dinosaurus. Kuno. Orang lawas. “Aku ki jan wis ra nyambung, bahkan kepontal-pontal untuk mengikuti cara berpikirnya Sabrang, dan generasi milenial sekarang.” Ucap Simbah, yang kemudian meminta Mas Helmi untuk membacakan surah Al Kahfi ayat 65.
Fa wajadaa ‘abdam min ‘ibaadinaaa aatainaahu rohmatam min ‘ingdinaa wa ‘allamnaahu mil ladunnaa ‘ilmaa.
““Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahfi : 65)
Simbah kemudian mengisahkan korelasi antara surah Al Kahfi 65 dengan proses kreatif penulisan puisi-puisinya tatkala “menggelandang” di Malioboro. “Aku mlaku, nggolek ilham. Terus nek nemu njuk tak tulis dadi puisi. Terus sopo subjek pemberi ilham kuwi? Allah, kan? Maka, sejak umur 18 tahun, aku wis nulis puisi, “Tuhan, aku berguru kepada-Mu.” Sebab, aku sinau nggolek ilmu langsung diajari Allah.” Kenang Simbah yang dibagikan ke anak-cucunya.
Surah Al Kahfi ayat 65 ini bisa kita jadikan pijakan berpikir. Bahwa Allah-lah subjek utama pengajar dan pembimbing kita. Wasilahnya bisa macam-macam. “Kata mil ladunnaa ‘ilmaa ini yang kemudian oleh orang Jawa disebut “ilmu laduni”. Terang Simbah.
Apakah ilmu laduni itu? Adalah ilmu yang mengalir ke dalam kalbu seseorang lewat “jalur langit”. Ia bersifat rahasia. Non materi. Ia berada di atas jangkauan akal manusia. Menurut Imam Ghazali, ilmu laduni yakni ilmu yang berasal dari Tuhan dan merasuk ke dalam jiwa tanpa melalui perantara.
Lantas, adakah cara/ akses untuk menangkap ilmu laduni? Karena laduni bersifat divine knowledge (keilahian) bukan human knowledge (pengetahuan umum manusia), maka tidak semua orang dapat mengaksesnya. Tidak ada metodologi khusus, atau pakem pengetahuan yang mampu menjlentrehkannya secara gamblang.
Seperti kata Mbah Nun, untuk menjemput ilham (ilmu laduni) dibutuhkan kesucian batin, keintiman dengan Sang Pemilik ilmu pengetahuan, dan pokoke terus nyedak-nyedak sama Allah. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin. Hanya kepada Allah, kita menyembah dan memohon pertolongan. “Maka, hari-hari ini saya sedang menulis tadabbur Al-fatihah sebanyak 114 judul. Yang InsyaAllah akan dibukukan, dan terbit sebelum akhir tahun,” Imbuh Mbah Nun.
***
Diskusi kian asik, ketika Simbah dan Mas Sabrang “adu pendapat”. Inilah yang genuine di Maiyah. Sekaligus bikin geerrr. Beda opini itu biasa. Nggak masalah. Sah-sah saja. Asal mampu mempertanggungjawabkan opini masing-masing, dan nantinya bisa saling tukar pendapat, saling mengisi, saling melengkapi.
Jika diibaratkan, Mbah Nun (bapak) itu tesis, dan Mas Sabrang (anak) antitesis. Atau sebaliknya. Kalau Mas Sabrang tesis, maka Mbah Nun antitesisnya. Contoh, ketika Mas Sabrang menjelaskan tentang dua tipe manusia. Openness dan Conscientiousness. “Saya itu tipe openness“, ucap Mas Sabrang. Lebih cenderung melihat kesempatan dulu. Risiko pikir belakangan. Pokoknya hajar sik! Sing penting ngegas.
“Sedangkan Simbah lebih ke tipe Conscientiousness. Mempertimbangkan risiko dulu matang-matang, barulah mengambil kesempatan dengan syarat angka risiko kecil. Dalam bahasa lain, hati-hati. Waspada. Sangat perhitungan. Banyak ngerem-nya ketimbang ngegas-nya. Itulah Simbah. Jadi kita berdua ini amat sangat berkebalikan.” Tutur Mas Sabrang yang diamini jamaah, diikuti tawa dan tepuk tangan meriah.
“Soal kebalikan ini, sebetulnya sudah terjadi dari dulu. Sejak TK, Sabrang ini sudah menjadi “musuh” saya. Kalau dia minta dibelikan sesuatu, saya tanya dulu alasannya apa kok harus beli barang itu. Dan dia menjawab secara empiris alasan hingga tujuan membeli barang tersebut. Jadi, kalau bisa hidupmu mesti dibekali unsur Sabrang (ngegas) sekaligus unsur Emha (ngerem) agar terukur dan seimbang.” Begitu saran Mbah Nun.
Mas Sabrang pun menawarkan perspektif berbeda. “Tidak seimbang atau ketidakseimbangan itu dalam beberapa kasus ternyata nyeni juga lho.” Misal, andheng-andheng yang ada di pipi sebelah itu tampak manis dibanding kalau andheng-andheng ada di kedua pipi. Atau gigi gingsul sebelah juga akan terlihat menawan, daripada gingsul kiri-kanan. Dan lain sebagainya.
Uraian panjang dari sudut pandang Mbah Nun dan Mas Sabrang yang tak jarang beda bahkan berkebalikan, justru semakin memperkaya cakrawala berpikir kita dalam melihat ragam hal dan kejadian.
***
Sebelum pungkasan, Mbah Nun berpesan agar kita jangan menjadi pengemis. Perjuangkan jangan sampai ada yang mengemis di sekitar kita. Tidak perlu risau dengan teknologi yang bernama AI. Cukup kita kenali, gandeng, dan pergunakan sesuai kebutuhan. Yang terpenting, pertegas rencana dan kerja kita. Beresin hidup dan nafkah keluarga.
Sebagai penutup, dr. Eddot menyitir petuah bijak. “Dengan menggunakan ilmu, hidup manusia akan mudah. Dengan seni hidup menjadi indah. Dan dengan agama hidup akan terarah.” Roodhiyatam mardhiyyah. Dengan hati yang ridha, semoga diridhai-Nya.
Pukul 00.15, forum Mocopat bulan Mei disudahi. Sudah cukup rasanya bekal kami untuk menata hati, menjernihkan AI.
Yogyakarta – Gemolong, 17-19 Mei 2023