MENAKAR ULANG REFORMASI PASCA PEMILU 2024 (MEMBEDAKAN NEGARA DAN PEMERINTAH)
Reformasi telah bergulir memasuki usia ke 27 tahun semenjak Presiden Soeharto menyatakan lengser pada 21 Mei 1998 dan menyerahkan kepemimpinannya kepada wakil presiden B.J Habibie saat itu. Artinya Bangsa Indonesia memasuki usia dewasa dan seharusnya benar-benar matang dalam menghadapi isu-isu nasional dan karut-marut keberadaan pemerintah saat ini.
Namun demikian, cita-cita Reformasi menghapus otoritarianisme kepemimpinan, kebobrokan birokrasi, korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjadi tonggak perjuangan aktivis dan reformis gagal total. Indonesia mengalami penyakit yang sangat berat, komplikasi, dan sistemik.
Permukaan kulit sekujur tubuh NKRI kudisen dan korengen dengan penggiringan opini, pembangunan isu media-media mainstream dan hoak-hoak yang bertebaran. Pembuluh darahnya kotor oleh trombosit-trombosit kepentingan politik. Persendiannya retak di segala sisi dan osteoarthritis kebijakan. Tulang-tulang hukum mengalami fraktur dan osteoporosis, banyak badan-badan hukum tanpa penegakan hukum dan pengadilan tanpa melahirkan keadilan tajam kebawah dan tumpul keatas.
Gagal ginjal aparatur keberpihakan dan tidak dapat memfilterisasi dengan baik dari hulu sampai hilir.
Sirosis hati kronis wakil rakyat (DPR dan DPRD) yang seharusnya menjadi pusat metabolisme dan penyerapan suara rakyat dan kepentingan rakyat justru realitasnya mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan.
Paru-parunya TBC dan mengidap paru-paru basah (pneumonia) yang penting ada pelicin dan agak cair semua menjadi lancar dari tender-tender dan proyek pembangunan dimana hanya dinikmati para oligarki (naga-naga raksasa) yang telah mendominasi tiap-tiap simpul kekuasaan. Transplantasi jantung berkali-kali melalui amandemen UUD yang menjadi trigger manipulasi atas nama Undang-undang melanggar Undang-undang. Dan yang paling mengerikan penyakit reproduksi, Monas simbol kejantanan Republik Indonesia dan titisan sejarah kemerdekaan seakan-akan lemah syahwat karena isu IKN yang masih kontroversi.
Ibu Pertiwi diperkosa berkali-kali dikeruk emas, perak, tembaga, besi, timah, intan, aluminium, nikel, batubara dan minyak buminya oleh asing dan oligar hanya diam saja. Ini NKRI harga mati atau NKRI sudah mati harga. Tanah-tanah jutaan hektare dan pulau dijual ke tangan asing dan oligar/konglomerat. Belum lagi program food estate yang banyak gagal sementara akses pupuk ke petani susah atas nama kedaulatan pangan yang pada akhirnya impor dan melibatkan mafia impor.
Bahkan keberadaan saat ini semakin membuncah dan memprihatinkan dengan tragedi-tragedi yang terjadi menjelang pemilu dan fenomena pasca pemilu. Mulai dari keputusan MK meloloskan salah satu paslon di mana disinyalir melanggar undang-undang dan menyalahi kode etik (code of conduct), pembentukan Provinsi-provinsi baru di Papua dan di daerah lain terkait sebaran wilayah, penyalahgunaan bansos, kenaikan gaji ASN menjelang pemilu serta isu-isu intimidasi sampai pada tiap kepala desa, prosesi kecurangan pemilu, hasil quick count, hoaks rekapitulasi sirekap dan seterusnya. Dimana setiap Ikhwal itu mencerminkan pelemahan sejumlah institusi seperti MK, KPU, Bawaslu, KPK dan Lembaga pemerintah lainnya. Realitas bergolak seperti proton dan elektron praktek pemerintah secara substantif jauh dari cita-cita reformasi.
Namun, Semangat reformasi masih tumbuh subur di tengah mbluset-nya dinamika masalah kebangsaan, hiruk-pikuk isu dan praktik monopoli birokrasi, carut-marut kebijakan, harut-marut kekuasaan. Sang aktivis dan reformis sejati, Mbah Nun terbilang nyeleneh dan nyentrik. Beliau memilih jalan yang berbeda dari para aktivis 98 di mana beberapa sekarang masih menjadi aktor-aktor politik di Senayan.
Setelah Reformasi 98, Mbah Nun bersama Gamelan Kiai Kanjeng memfokuskan kegiatan diskusi bersama masyarakat dan rakyat kecil di pelosok-pelosok Indonesia. Melalui puluhan simpul masyarakat Maiyah di Nusantara memberi pencerahan, bersedekah ilmu, pengetahuan, mengijtihadkan dan menginisiasi bagaimana mestinya reformasi. Mengajarkan bagaimana menata hati dan menjernihkan pikiran, Menjunjung tinggi ta’dib, berakhlakul karimah sebagaimana dalam ta’limul muta’allim. Mengajak berfikir kritis terhadap kondisi kekinian dalam berbangsa dan bernegara.
Menurut Mbah Nun “Sekarang Negara tidak ada, yang ada adalah Pemerintah. Pemerintah sesungguhnya adalah buruh rakyat, harus mengabdi pada rakyat dan tiap lima tahun boleh diganti”. Tentu, prosesi pergantian kekuasaan harus sesuai dengan asas-asas demokrasi, melalui pemilu yang jujur dan adil. Namun, jika ada penguasa yang mati-matian ingin mempertahankan hierarkhi kekuasaan dengan berbagai cara serta tidak peduli menabrak undang-undang dan menerobos nilai-nilai etika. Kompleksitas kebusukan rezim ini mencerminkan eksistensi sisa-sisa orde baru.
Dalam kesempatan yang lain Mbah Nun juga menuturkan bagaimana berfikir jernih dan kritis. “Apa bedanya Negara dan Pemerintah. Seharusnya ada Kepala Negara dan Kepala Pemerintah. Berbeda antara Kepala keluarga dan kepala rumah tangga, Berbeda antara Ketua Ta’mir Masjid dan ketua Ketua Tadarus Masjid atau Ketua Penggalangan dana Masjid. Berbeda antara Pengasuh sebuah Pesantren dan Kepala Madrasah di Pesantren”
Dari itulah, Kepala madrasah tidak boleh berlaku seolah-olah sebagai Pengasuh. Bahkan cakupan dan lintas kekuasaan berbeda antara Ketua Yayasan dan Pengasuh. Memang tidak mungkin pemimpin berkepala dua, yakni sebagai kepala Negara dan kepala Pemerintah karena hutang dibebankan kepada negara (hutang negara) yang berlaku seumur hidup sebuah negara bukan hutang pemerintah dimana tiap periode boleh berganti atau harus ada istilah baru yakni hutang pemerintah dimana jika periode kepemimpinan berakhir hutang tidak lunas ditolak laporan pertanggungjawabannya dan dilanjutkan ke prosesi peradilan.
Lembaga-lembaga Negara seperti KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi), MK (Mahkamah Konstitusi) , MA (Mahkamah Agung),_BPK _(Badan Pemeriksaan Keuangan), MPR ( Majelis Permusyawaratan Rakyat ), DPD ( Dewan Perwakilan Daerah), DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat), KPU (Komisi Pemilihan Umum), BAWASLU ( Badan Pengawas Pemilihan Umum), TNI, POLRI, KOMNASHAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) seharusnya independen dan tidak boleh terintervensi oleh Pemerintah (Presiden), apalagi diangkat dan dilantik oleh presiden.
Pemerintah sebatas pelaksana setiap kebijakan melalui lembaga-lembaga Pemerintah baik melalui Kementerian, Non Kementerian, Gubernur, Kepala Daerah (Bupati/Walikota) dan subordinat-subordinat teknis lainnya. Andaikan tidak merangkap sebagai kepala Negara.
Entahlah, Negeri ini memang lucu dari awal. Dalam penggalan Proklamasi 45 termaktub ” Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja”. Sampai detik ini, hampir satu abad Republik Indonesia merdeka tidak ada kejelasan penyerahan kekuasaan antara penjajah Kolonial Belanda dengan Negara Republik Indonesia. Barangkali leres dawuh Mbah Nun “Kehancuran sebuah bangsa jika tidak jelas titik koordinatnya”. “Kita harus banyak belajar tentang sejarah dan peradaban sebuah bangsa agar jelas kita berada dimana dan mau kemana. Seperti Busur dan anak panah semakin jauh kebelakang kita menarik anak panah maka akan semakin melesat cepat mencapai tujuan sebuah bangsa dan negara”. Sekarang kita berada pada titik terendah dalam demokrasi dan Ikhwal ini memenggal cita-cita para proklamator (Founding Father) dan cita-cita luhur reformasi.
Para negarawan, ilmuwan, cerdik cendekia, budayawan, seniman, petisi dari ratusan kampus, para profesor, doktor dan guru besar, sampai persatuan BEM mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat cerdas telah mengingatkan demokrasi sedang sekarat dan lumpuh, dari berbagai polemik kebangsaan sampai pada politik dinasti. Namun pemerintah masih ingkar, abai dan tidak mendengarkan, justru ada oknum yang menuduh partisan. Seberapa para Fir’aun, Qorun dan Haman ingin mempertahankan kekuasaan dan kejayaannya, mereka akan tenggelam ke dalam laut kesabaran, kekuatan, dan kedewasaan rakyat.
وَمَكَرُوْا وَمَكَرَ اللّٰهُ ۗوَاللّٰهُ خَيْرُ الْمٰكِرِيْنَ ࣖ
Wa makaru wa makarallaah, wallaahu khairul-maakiriin
Artinya: Mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya dan Allah pun membalas tipu daya (mereka). Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS. Ali Imran: 54)
Menjadi bangsa yang dewasa tentu tidaklah mudah. Dewasa dalam berbangsa dan bernegara, dewasa dalam beragama, dewasa berpolitik, dewasa menyikapi kebijakan-kebijakan yang tidak mendewasakan, dewasa menyikapi kemajemukan dan perbedaan (primordialisme). Barangkali bangsa ini perlu banyak belajar jauh ke belakang (flashback) pada kejayaan Nusantara, kejayaan Majapahit (Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada), Kerajaan Sriwijaya, Mataram, Kerajaan Demak, Kerajaan Kutai, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Mataram, Singosari, Kediri, Kahuripan, Kerajaan Pajang, Kerajaan Soengenep, dst. Ke depan agar lebih sungguh-sungguh dan serius me-reset, menata ulang, memformulasikan peradaban berbangsa dan bernegara dalam menyongsong kelahiran baru dan tatanan baru (new order) untuk kejayaan Nusantara.
Jamaah Maiyah.