MERTI DESA, FARDHU KIFAYAH FUNGSIONAL SECARA NASIONAL
(Liputan Sinau Bareng Merti Desa Desa Depokrejo Ngombol Purworejo Jateng, 15 Desember 2022)

“Indonesia akan mengalami situasi yang sulit dan belum pernah terjadi sebelumnya. Nah, saya memohon kepada Allah Swt. supaya Anda semua tidak tertimpa keadaan itu.” Demikian doa Mbah Nun memulai Sinau Bareng di Lapangan Desa Depokrejo Ngombol Purworejo Jawa Tengah.
Sinau Bareng ini digelar dalam rangka Merti Desa Desa Depokrejo. Anak-anak muda yang sebagian besarnya tergabung dalam lingkar Jamaah Maiyah Wolulasan Purworejo menjadi penggerak dan motor bagi terselenggaranya Sinau Bareng ini. Mereka berharap dengan Sinau Bareng ini masyarakat khususnya generasi muda mendapatkan sentuhan rohani dari Mbah Nun dan KiaiKanjeng.
Desa Depokrejo terletak di kawasan Selatan pulau Jawa tepatnya di daerah jalur jalan Daendels, dan hanya berjarak 200 meter masuk ke dalam dari jalan tersebut. Suasananya seperti layaknya desa di kawasan pantai Selatan. Banyak pohon-pohon tinggi tampak sejauh mata memandang. Jarak antar rumah terbilang cukup lebar karena rata-rata di antara rumah-rumah terdapat pekarangan. Halaman depan rumah pun rata-rata masih luas.
Suasana keguyuban tentu saja kental terasa. Salah satunya terlihat dari pemandangan dalam Sinau Bareng ini. Setiap jamaah yang datang, begitu tiba di gapura menuju lapangan, akan disambut oleh ibu-ibu yang siap memberikan satu kotak ukuran sedang berisi empat jenis snack/jajanan dan air mineral. Padahal jamaah yang datang sangat banyak. Menyambut dan memberikan snack seperti ini tentu merupakan salah satu kekhasan keguyuban desa yang biasa kita jumpai dalam pengajian-pengajian di Desa.
“Merti Desa itu fardhu kifayah. Karena Indonesia tidak mengenal merti desa dan tidak mengenal merti kota atau merti negara, maka merti desa ini berfungsi nasional.” Demikian kurang lebih Mbah Nun memaparkan hakikat merti desa di mana hal yang sama seharusnya dilakukan pula oleh negara. Tetapi, karena belum ada, semoga merti desa ini dapat menggugurkan kewajiban negara untuk ber-merti negara.
Dengan atmosfer kedekatan dalam hati, Mbah Nun menyapa semua hadirin, yang terutama banyak adalah ibu-ibu dari desa Depokrejo, dan sekitarnya, yang menempati area depan panggung. Mereka senang dengan kehadiran Mbah Nun dan KiaiKanjeng yang mampu berbicara dengan bahasa keseharian dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Malahan tak sedikit perangkat desa di sini yang mengatakan, “Untuk tema atau keperluan seperti ini ya hanya Mbah Nun yang bisa.” Itu disampaikan kepada penggiat muda dalam mempersiapkan Sinau Bareng ini.
Ketika Mbah Nun menyampaikan bahwa merti desa adalah kegiatan yang bernilai fardhu kifayah dan secara fungsional bermanfaat secara nasional, dapatlah kita menarik suatu kesimpulan bahwa keguyuban desa ini penting adanya. Ia adalah satu bentuk pengalaman kolektif. Pengalaman yang dialami bersama oleh satu komunitas yang ditandai oleh adanya kerja bareng, saling memberi dan menerima ide, dan tindakan-tindakan bersama lainnya.
Demikian pula dengan Sinau Bareng. Ia pun merupakan pengalaman kolektif. Ia diselenggarakan dengan melibatkan berbagai pihak. Ambil contoh pada Sinau Bareng di Depokrejo ini. Anak-anak muda yang prihatin akan kondisi sosial masyarakat, para perangkat desa yang mendukung mereka, sahabat-sahabat Banser, ibu-ibu, bapak-bapak warga desa. Termasuk empat bapak-bapak yang malam itu membacakan dramatic reading. Semua pihak itu bersatu dalam merealisasi Sinau Bareng ini.
Selama berlangsung Sinau Bareng, semua interaksi yang dibangun Mbah Nun menjadi pengalaman kolektif juga dengan muatan yang lebih mendalam karena berlangsungnya proses serap-terima ilmu dan informasi. Contoh paling kentara, Mbah Nun meminta tiga orang maju. Mbah Nun berdialog dengan mereka tentang misalnya apa yang disebut sebagai syariat Allah dan Syariat Islam, dan ini merupakan salah satu landasan dalam Mbah Nun merespons Merti Desa ini. Mbah Nun mendengarkan persepsi mereka selama ini, dan kemudian beliau mengemukakan konsepsinya. Tiga orang tadi menyimak, pun semua jamaah yang hadir.
Menariknya pula, ada satu momen yang memperlihatkan bahwa suatu pengalaman kolektif pun mendapatkan ujian. Di tengah Sinau Bareng, tiba-tiba hujan mulai turun. Tidak deras, tetapi cukup membuat sebagian jamaah terutama ibu-ibu bangkit dari posisi duduknya. Naluri untuk berpindah atau mencari iyup-iyupan mendorong hal itu. Tetapi, mereka tidak lantas meninggalkan lokasi, mereka hanya berdiri, karena sebenarnya mereka tidak ingin meninggalkan pengalaman kolektif ini. Mereka kemudian mengangkat alas duduk untuk melindungi diri dari hujan.
Mbah Nun meminta ibu-ibu, khususnya yang membawa anak-anak, untuk naik panggung secukupnya. Merespons situasi sesaat hujan ini, Mbah Nun memastikan kepada mereka apakah acara akan segera diakhiri, dan serentak mereka menjawab “terus!!“. Selanjutnya Mbah Nun mengajak mereka bareng-bareng melantunkan Wakafa Billahi dan Shalawat Thibbil Qulub bersama KiaiKanjeng, dan kemudian beliau menyitir QS. Al-Ankabut ayat 2: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman” dan mereka tidak diuji?”
Hujan beberapa saat ini memang benar seperti ujian terhadap kebersamaan atau pengalaman kolektif, karena ternyata setelah mereka lulus, tidak meninggalkan acara, alhamdulillah hujan reda. Berbagai pesan Mbah Nun sejatinya mendorong agar kita semua memperkuat kebersamaan, keguyuban, dan kekolektifan. Sedari awal, contohnya, ketika hendak melantunkan shalawat Jibril, Mbah Nun mengajak jamaah ingat akan kebersamaan kita dengan para malaikat. Ibu-ibu yang masih punya anak-anak bayi disarankan oleh Mbah Nun agar ketika momong anak-anaknya sering-sering melantunkan shalawat Jibril ini.
Beberapa pesan dari Mbah Nun yang dapat kita catat di antaranya, pertama, kalau bisa hidup kita indah. Mbah Nun berharap Maiyah bisa menjadikan hidup kita indah, dan bahagia dengan Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Dalam hal ini, Mbah Nun mendorong Wakil Bupati Purworejo untuk merintis atau melestarikan tradisi dzibaan di desa-desa atau di kampung-kampung.
Kedua, Mbah Nun mengajak kita untuk titen terhadap sesuatu itu apakah ia datang dari Allah atau dari manusia. Contohnya adalah Merti Desa. Ia adalah inisiatif manusia sendiri berdasarkan ayat Allah mengenai bersyukur. Berbeda halnya dengan ibadah mahdhoh, di mana ibadah mahdhoh konsep, perintah dan tatacaranya ditentukan sepenuhnya oleh Allah Swt. Contoh lainnya, kita diajak mengenali terminologi menyangkut makhluk. Ada yang datang langsung dari Allah Swt melalui Al-Qur’an, tetapi ada nama-nama yang datang dari manusia/budaya. Misal, yang datang dari Allah: Malaikat, Jin, Manusia/Insan. Sedangkan yang dari budaya: Dhemit, Genderuwo, Kolor Ijo, Banaspati, dll.
Malam itu dramatic reading memang tidak dimainkan oleh KiaiKanjeng melainkan oleh empat orang Bapak-bapak dari Depokrejo. Naskahnya tetap yang ditulis oleh Mbah Nun pada Sinau Bareng untuk Ruwat Desa di Mojogebang Kemlagi Mojokerto 25 September 2022 berjudul Sowan Marang Buyut. Hanya saja naskah ini dialihbahasakan ke dalam bahasa Jawa halus oleh empat pembacanya yaitu Pak Parman, Pak Sarijo, Pak Suyono, dan Pak Sudiman. KiaiKanjeng mengiringi musiknya. Beliau berempat yang memiliki latar belakang ketoprak ini berhasil memberikan warna tersendiri dalam menghadirkan dramatic reading pada Sinau Bareng di Depokrejo ini.
Selain dramatic reading, masyarakat desa dan jamaah yang dihadir diajak interaktif bersama Mas Jijid Mas Doni dll untuk bermain musical game dengan pola baru dari biasanya, di mana dari permainan ini misalnya, Pak Lurah Depokrejo mampu memetik satu poin penting. Beliau mengatakan walaupun lagu dibawakan dengan sedikit perbedaan nada, tetapi sepanjang dalam irama yang sama, maka semua bisa berjalan dengan, dan begitu pula dalam menjalankan pemerintahan.
Demikianlah, dengan jalan musik yang dimainkan dalam game tersebut, Mbah Nun menegaskan bahwa musik tidak sekadar musik, tetapi kita bisa belajar hidup dari musik. Selama ini kita terjebak pada hidup yang dibidang-bidangkan. Karenanya, Maiyah tidak memandang hidup dalam cara yang demikian. Sebaliknya, Mbah Nun memberi contoh, agama bukanlah bidang yang berbeda dengan bidang-bidang lain. Yang ada adalah agama untuk sepakbola, untuk ekonomi, budaya, politik, dll.
Di penghujung acara, Mbah Nun berpesan tiga hal. Pertama, Mbah Nun mengajak kita untuk meningkatkan khusyu’ kita dalam hidup. Kedua, Mbah Nun mengajak kita untuk sadar bahwa hidup kadang ada perubahan, dan kita harus siap meresponsnya. Ketiga, kita diajak untuk harus menemukan formula-formula baru nikmat dan bahagia dalam hidup ini.
Kurang lebih pukul 24.00 WIB, Sinau Bareng Merti Desa Depokrejo ini diakhiri dengan berdoa bersama dengan penuh kekhusyukan. Setelah itu para hadirin dan jamaah kembali ke tempat masing-masing secara tertib dan lancar. Sinau Bareng malam itu kiranya memberikan satu bentuk pengalaman kolektif yang sangat kuat pada semua yang hadir, khususnya warga desa Depokrejo. Dengan pengalaman kolektif ini semoga keguyuban dan kebersamaan di dalam masyarakat bisa menang di hati setiap anggota masyarakat mengatasi individualisme dan egoisme. Sinau Bareng Merti Desa seperti malam itu adalah salah satu jalannya.