MELEPASKAN DIRI DARI INTERNALISASI RAMADHAN YANG MABNI PANCET ALIAS STAGNAN
(Menikmati Acara “Gambusan Spesial Bulan Ramadhan” Lemud Samudro)
Tulisan ini saya ketik pada dini hari menjelang sahur hari ke-22 Ramadhan 1444 H. Terasa sudah menjalani puasa selama dua puluh dua hari. Apa yang terasa? Pasti bagi para ahlul hisab seperti saya menahan tidak menghisap udud merupakan perjuangan yang mengasyikkan. Ketika waktu maghrib tiba “surga” para ahlul hisab adalah nyruput kopi panas lalu menyalakan kretek.
Surga kenikmatan itu terasa nyamleng ketika saya berbuka bersama teman-teman Lemud Samudro. Selama bulan Ramadhan Lemud Samudro hadir dalam acara “Gambusan Spesial Bulan Ramadhan”, sore pukul 16.30 sampai 17.15 WIB di halaman Pengajian Padhangmbulan Mentoro Sumobito Jombang. Acara ini dapat disimak di Youtube Official Omah Padhangmbulan.
Ini bukan acara pengajian atau kultum (kuliah tuiga menit). Beberapa pilihan shalawat dan lagu-lagu dari KiaiKanjeng ditampilkan. Tema obrolan pun dirancang, misalnya Puasa Sepanjang Hidup, Puasa: Senang atau Terpaksa, Lailatul Qodar Setiap Malam.
Sudut pandang penentuan tema sengaja dibuat ora umum. Tentu saja saya sepakat karena sejak bocah hingga rambut mulai beruban, pengajian, ceramah, kultum selama bulan Ramadhan nyaris tidak berubah. Itu-itu saja: ya bahannya, sudut pandangnya, rasionalitasnya, retorikanya, internalisasinya. Semua mabni pancet alias stagnan.
Stagnasi pemaknaan, internalisasi, rasionalisasi mengenai puasa bulan Ramadhan terjadi di tengah arus dahsyat laju teknologi dan informasi. Kita sudah melibatkan artificial intelligence untuk mengetahui resep nasi goreng spesial. Dan sebagian umat Islam masih membahas apakah menggosok gigi dapat membatalkan puasa.
Itu semua memang memprihatinkan terutama bagi kita yang terbiasa pencolotan sudut pandang, jarak pandang, lingkar pandang saat menyikapi fenomena tertentu. Namun, keprihatinan itu tidak lantas mendorong kita berbuat “makar”. Api yang akan dipadamkan sungguh terlalu besar. Jadi kita urun siram-siram untuk memadamkannya kendati hanya dengan secangkir dua cangkir air.
Apa yang dikerjakan teman-teman Lemud Samudro memaknai puasa Ramadhan tidak lebih dari urunan secangkir dua cangkir air itu. Tidak terkenal pun pasti. Tidak viral juga sangat mungkin. Meski demikian ada kenikmatan di sana, ada kekhusyukan yang menjalari lubuk perasaan paling dalam.
Nikmat dan khusyuk karena kita bersungguh-sungguh saat mengerjakannya, sesuai kesadaran dasar bahwa Allah pasti yaroh: Allah pasti melihat dan menilai-Nya.
Jombang, 12 April 2023