MAIYAH ITU…
Karena beberapa linimasa saya kerap menyuguhkan aktivitas Maiyahan, beberapa teman memberikan kesan bahwa saya ini pintar ngaji, hapal dan ngerti ayat dan hadist, serta nuansa-nuansa ibadah mahdhoh yang lebih daripada mereka. Ini justru tidak menimbulkan beban buat saya, justru guyonan. Di tengah kerak-kerak kenegatifan tatkala labelisasi privat dan publik yang kini makin terpolarisasi, saya menampung kesan-kesan itu dengan min haitsu la yahtasib. Ya, kesan-kesan itu sudah saya anggap seperti orientasi yang baik, semacam doa. Saya tinggal amini saja.
Bahwa setiap jamaah Maiyah pun sepertinya memiliki daya eksplanasi yang berbeda-beda mengenai label aktivitas Maiyah. Ada yang menganggap itu pengajian, sinau bareng, dll. Bahkan Mbah Nun sendiri sudah kerap kali bertutur bahwa Maiyah itu bukan pengajian. Dengan dibarengi memberikan pernyataan beliau bahwa beliau itu bukan Kyai, Ulama, atau Cendekiawan Muslim. Bahkan Mbah Nun dengan rendah hati memberikan gambaran kalau Maiyah itu hanya “arek-arek nglumpuk, pengin nggolek barang sing bener, urip sing seimbang”.
Maiyah itu menurut saya seperti air yang menghapus jelaga dalam hati saya. Tapi bukan berarti Maiyah itu air. Eksistensi Maiyah tidak bisa dimaterialisasikan ‘menurut saya’. Sebab siapa yang tahan duduk manis lima hingga tujuh jam? Tanpa jeda bahkan untuk pergi kencing atau sekadar meludahkan dahak. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi jikalau tanpa sinar yang menahan dan menenggelamkan dalam kenikmatan cinta selama bermaiyah?
Maiyah menurut saya adalah energi penghapus gundah, pembersih jelaga, penambah daya, sapuan yang mampu membuat saya untuk kembali ingat dan bermuhasabah Hasbunallah wa ni’mal Wakil, ni’mal Maula wa ni’man Nashir. Wa kafa billahi Wakila, wa kafa billahi Nashira. Dengan Maiyahan, saya pribadi lebih enjoy dan lebih gampang mengenal Allah, lebih blater dengan Allah ketika sedang bercakap-cakap.