KADUNGSANG‑DUNGSANG
(Mukadimah Majelis Ilmu Maiyah Panglawungan Rasa Kota Banjar Edisi ke-22, 29 Juni 2025)

Sebuah getar sunyi yang menembus relung hati–bukan semata ratap, tetapi panggilan kosong yang merindu pijakan makna. Dlm basa Sunda, kadungsang‑dungsang meramu kegersangan jiwa, mengoyak rasa yang terombang, terserak, tanpa pegang pada akar nilai. Jika kita menyaksikannya dlm kancah sosial‑politika, inilah nyanyian hati kolektif yang kehilangan napas: kebijakan bagai bayang‑bayang, pelayanan tanpa keramahan, dan nurani yang menyusut.
Coba berimajinasi: kembali rindangnya Kota Banjar, pohon besar berakar dalam tanah subur gotong‑royong dan kearifan lokal. Kini akar itu mulai terkelupas–warga terjebak dlm ritme subsisten, suara mereka nyaris padam, ruang dialog menipis. Literasi politik meredup, kontrol sosial melemah. Organisasi massa tenggelam dlm ritus, media lokal sibuk memuja seremoni. Di sisi lain, aparatur lahir dari arus patronase, bukan panggilan kapasitas; birokrasi kaku, hati layanan kering kerontang.
Dari akar rapuh tumbuh batang kebijakan yang retak: program lahir tanpa renjana, perizinan menjerat, tata kota amburadul, anggaran selalu tertatih reaktif. Batang itu gagal menyedot getah aspirasi rakyat, lalu retakan menjalar ke dahan partisipasi: DPRD lunglai, forum warga mangkrak, mahasiswa kehilangan dentuman suara, media asyik pada gemerlap headline.
Daun‑daun layanan publik pun menguning: jalan semrawut, taman terabaikan, izin usaha tertunda, sampah menumpuk tanpa ampun. Bukan semata masalah teknis–ini simbol hilangnya empati, menjauh dari denyut nadi warga.
Akhirnya, buahnya pun pahit: kolektif Kota Banjar terombang, kosong arah, kelaparan makna. Kota tak lagi terasa rumah–hanya lorong panjang tanpa lentera. Kadungsang-dungsang…
Namun, di celah sunyi itulah kita menemukan panggilan nurani. Mari kita bangun kembali “pohon” ini dari pangkalnya:
Menabur Benih Kemandirian Ekonomi
Seperti petani yang menanam benih di ladang, kita tanam keterampilan dan keberanian berusaha: pelatihan yang menggetarkan semangat, pendampingan UMKM yang menyemai asa, dan pendidikan nilai lokal yang merangkul hati. Ketika benih tumbuh, akar ekonomi warga kian kuat, dan tanah sosial kita menjadi subur kembali.
Sinau Politik Kebangsaan
Mari buka ruang rembug di setiap sudut kehidupan—dari meja makan keluarga hingga panglawungan kampus. Dengan dialog yang jujur dan empatik, kita pupuk kebersamaan, menggarap kesadaran kolektif agar setiap suara mendapat tempat, setiap aspirasi menemukan jalan.
Merangkai Simfoni Pelayanan Publik
Coba berimajinasi: birokrasi sebagai orkestra–setiap alat (unit kerja) punya nada dan irama tugas. Kita latih konduktor (pemimpin) yang peka, memilih personel berdasar keahlian, bukan patronase, dan menghadirkan harmoni pelayanan: cepat, sederhana, penuh hormat, mengalun merdu menyapa setiap warga.
Mari kita hadiri panggilan itu di Sinau Bareng Panglawungan Rasa, Majelis Masyarakat Maiyah Kota Banjar, Minggu 29 Juni 2025 di Desa Binangun. Bukan semata menonton pohon yang rapuh, melainkan merawatnya bersama–dari benih kemandirian, lewat nada sinau kebangsaan, hingga simfoni pelayanan. Agar buah yang kita tuai kelak bukan lagi kadungsang‑dungsang, tapi harapan yang merona, makna yang mempersatukan, dan kebahagiaan bersama.
(Redaksi Panglawungan Rasa/Abah Asmul)






