MATURITAS MARKESOT

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Bangbang Wetan Surabaya edisi Juni 2025)

Tanggal 27 Mei 2025 adalah hari ulang tahun Mbah Nun ke-72. Pada momen tersebut berlangsung peluncuran buku 72 tahun Cak Nun. Buku yang berisi kumpulan tulisan dari sahabat tentang persinggungannya dengan Mbah Nun. Majelis Pengajian Padhangmbulan menjadi tempat peringatan ulang tahun Mbah Nun tersebut. KiaiKanjeng, keluarga besar Mbah Nun, dan beberapa sahabat Mbah Nun hadir dalam acara ini.

Salah satunya adalah Abah Kirun, legenda pelawak Indonesia asal Madiun. Abah Kirun malam itu mengaku bahwa buah karya dan sikap hidupnya selama ini banyak dipengaruhi oleh Mbah Nun. Mbah Nun bersikap selayaknya sahabat kepada Abah Kirun. Manfaatnya, Abah Kirun merasa nyaman ketika bertukar pendapat dengan Mbah Nun ketika bertemu.

Mbah Nun kepada Abah Kirun banyak memakai bahasa sehari-hari ketika bertukar pendapat, menjadikan pesannya mudah dipahami dan dipegang teguh sampai sekarang. Pesan Mbah Nun kepada Abah Kirun yang dipegang teguh adalah jika ingin menjadi pelawak yang otentik, karyanya harus lahir dari hati terdalam dengan niat untuk menggembirakan banyak orang. Pesan itu dibuktikan sendiri oleh Abah Kirun  yang membuat beliau digemari banyak orang dan menjadikannya tetap eksis sampai hari inu. Abah Kirun sampai saat ini mengaku masih banyak mendapat undangan untuk mengisi berbagai acara untuk menghibur dan menggembirakan orang.

Kami memandang, pendekatan yang dilakukan Mbah Nun ke Abah Kirun itu merupakan buah dari maturitas (kematangan) diri Mbah Nun. Melalui pendekatan kontinum maturitas, kami memandang, Mbah Nun berada pada tahap kematangan yang tidak hanya mementingkan diri sendiri yang sudah bisa mandiri, tetapi mengajak sebanyak mungkin orang untuk bekerja sama saling membenahi kekurangan dan kesalahan satu sama lain dalam banyak hal.

Kita diajak oleh Mbah Nun untuk berbenah dari urusan mental untuk memiliki sikap pantang penyerah. Dalam hubungan sosial kita diajak untuk ringan tangan menolong siapa saja yang membutuhkan. Dalam segi kesejahteraan ekonomi, kita diajak senantiasa siap mengerjakan apa saja asal bermanfaat. Bahkan, kematangan Mbah Nun dapat kita lihat dari kepeduliannya untuk membimbing kita merajut hubungan dengan Allah dengan memegang teguh prinsip radliatan mardhiyah. Yaitu, Mbah Nun mengajak kita ridla dulu dengan Allah, nanti Allah akan segera dengan mudah ridla dengan kita. Kita terbuka dulu kepada Allah, nanti Allah akan menurunkan hal-hal baru, hal-hal di luar dugaan, yang mungkin sangat menjawab kebutuhan atau cita-cita.

Lihat juga

Pada salah satu seri Daur yang ditulis oleh Mbah Nun berjudul Tarian Tali-Tali Cahaya, kami memandang Mbah Nun sedang menggambarkan suasana Maiyahan. Di setiap Maiyahan kita senantiasa diajak Mbah Nun menjalin hubungan dengan Allah melalui wirid dan shalawat serta Sinau Bareng. Maka masing-masing jamaah Maiyah (dalam tulisan tersebut) digambarkan seperti menerima pancaran cahaya dari langit. Cahaya itu bisa kita artikan hidayah terbukanya pemahaman dan pengertian baru, semacam hati kita merasa tenang karena mendapat pencerahan hidup untuk menghadapi masa depan.

Pada ujung kekhusyukan kita bermunajat kepada Allah melalui wirid dan shalawat, Mbah Nun mengajak jamaah Maiyah untuk kembali berpijak ke bumi kesadaran menjadi bangsa Indonesia yang Sinau Bareng untuk “…mengurusi persoalan-persoalan nyata manusia, problem sosial, konstelasi dusta politik, kebohongan kekuasaan dan penyamaran penguasaan, mengkritisi kepengurusan Negara, memberi tenaga kepada mesin anti korupsi, menganalisis lapisan-lapisan ketertindasan rakyat, dan semua yang sejenis-jenis itu…”

Maturitas (kematangan) diri Mbah Nun digambarkan pada tulisan tersebut sebagai tokoh Markesot yang memiliki tanggung jawab untuk menunaikan tugasnya untuk “…memberi pencerahan kepada rakyat, menyelenggarakan pendidikan politik di sana-sini, menyebarkan penyadaran sejarah…” Meski Mbah Nun secara hukum tidak berkewajiban melaksanakan itu semua, beliau tetap melakukannya karena merasa mempunyai hutang kebudayaan.

Pada tulisan beliau berjudul Hutang-Hutang Kebudayaan: Sari Masalah Idealisme dan Orientasi Kaum Muda, Mbah Nun menyampaikan bahwa hutang kebudayaan lebih bersifat perjanjian dengan diri sendiri (berasal dari sikap atau prinsip perkembangan dan kemajuan). Apa yang semestinya dikerjakan (:diberikan) tetapi tidak dikerjakan, berarti menciptakan hutang. Mbah Nun menggambarkan hutang kebudayaan pada seorang pengukir kayu yang pada jam itu semestinya bisa mengerjakan sebuah ukiran, namun ia tak mengerjakannya, tanpa manfaat lain yang dihasilkan, bermakna ia telah berhutang kepada dirinya sendiri.

Selama ini pernahkah terlintas di benak kita untuk menelusuri jejak perjalanan hidup Mbah Nun? Pernahkah kita cari tahu bagaimana caranya? Mungkin salah satu pintu yang bisa kita masuki untuk belajar kepada Mbah Nun adalah segi maturitas diri Mbah Nun. Apa saja yang dibutuhkan untuk menuju maturitas diri Mbah Nun dan bagaimana caranya? Mari kita bahas dan tuntaskan tema “Maturitas Markesot” di Majelis Ilmu Bangbang Wetan edisi Juni 2025, Kamis 12 Juni 2025, bertempat di STIKOSA-AWS.

(Redaksi Bangbang Wetan)

Lihat juga

Back to top button