BERSYUKUR DAN BELAJAR LITERASI DI PERAYAAN 70 TAHUN MBAH NUN

Hari pertama “Pameran Arsip 70 Tahun Mbah Nun” sudah dimulai Sabtu 27 Mei 2023. Seperti dikabarkan sebelumya, kegiatan ini dalam rangka ucap syukur anak cucu masyarakat Maiyah CIrrebes (Cirebon-Brebes) atas 70 tahun Mbah Nun dan sebagai media literasi belajar kepada tulisan yang sudah beliau toreh dalam bentuk buku sejak tahun 1975 dan media cetak lainnya.

Pameran berlangsung selama empat hari dengan berbagai kegiatan di dalamya, termasuk melibatkan generasi Z dan kawan-kawan pelajar setingkat Sekolah Menengah untuk mengenal tulisan Mbah Nun lebih luas lagi mengenai berbagai issue kesenian, sosial kehidupan, politik sampai dengan keagamaan. 

Beberapa karya tulisan dalam bentuk buku dan majalah disajikan dalam beberapa kategori untuk memudahkan pengunjung mengenali. Buku yang ditulis Mbah Nun penuh, buku yang ditulis kompilasi dengan penulis lain, Mbah Nun yang menulis pengantar atau prolog untuk penulis lain serta buku yang menuliskan sosok, cerita Mbah Nun yang dituliskan penulis lain. Begitupun dengan 60-an majalah yang berisi tulisan Mbah Nun sendiri dari tahun 1978 di majalah sastra Horison dan lainnya, wawancara dan ulasan penulis lain tentang sosok dan sepak terjang Mbah Nun muda.

Mengenai karya lainnya, dihadirkan juga buah fikir seni kreatif berupa rilisan fisik Mbah Nun dan Kiaikanjeng untuk menambah daya dorong kreativitas anak muda agar lebih semangat berproses kreatif dan produktif dalam berkarya.

Lihat juga

Setelah ruang pamer di B Coffee (MADIA House) Pabuaran Cirebon sudah bisa dikunjungi sejak pukul 13.00 WIB, pada sore harinya selepas ashar, Mas Khoirul Fahmi dari Tegal membersamai kawan-kawan yang hadir dengan diskusi buku berjudul Tuhan Pun Berpuasa karya Mbah Nun.

Acara dimulai pukul 15.30 WIB dengan catatan Mas Fahmi hanya membahas lima judul dari kumpulan esai yang berjumlah 43 judul. Beberapa di antaranya adalah ‘Hukuman bagi para kekasih’ tentang kisah menarik dari nabi Ya’qub As. yang salah satu anaknya bernama Yusuf. Dalam perjalanannya kelak akan dicelakai oleh saudara-saudaranya, di akhir cerita sampai difitnah dan dipenjara hingga menjadi raja. Dari penderitaan Nabi Ya’qub sampai kembali sembuh sedia kala. Dari cerita umum tersebut Mbah Nun mampu mendekontruksi cerita popular, menyentuhnya dari sisi pemicu kejadian tersebut. 

Jadi dalam kisah tersebut ada semacam pemeran cameo yang bernama Zabial. Diceritakan Zabial adalah seorang pengembara. Dia tidak memilik apa-apa tetapi sangat dekat dengan Tuhan. Pada suatu waktu Zabial sedang melakukan puasa, dan pada saat menjelang maghrib mendatangi nabi Ya’qub As. untuk meminta makanan berbuka. Tetapi Nabi Ya’qub tidak memberikannya, sehingga Zabial mengadu kepada Allah Swt. atas kejadian itu  dan dikabulkan doanya  sehingga cerita nabi Ya’qub dan Yusuf yang menderita dimulai ceritanya.

Yang menarik di akhir adalah tulisan Mbah Nun menyatakan, “hukuman pada akhirnya bisa bermakna bukan hukuman  sesudah ia melampaui relativitas waktu serta setelah pihak yang terhukum mengerti bagaimana bersikap dan menikmatinya“.

Berikutnya mengenai tulisan Mbah Nun berjudul “Ideologi, Distribusi dan Realitas Puasa”. Biasanya kita selalu berpikiran ingin mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, dan setelah terkumpul akan sedekah sebanyak-banyaknya. Tetapi Mbah Nun memaparkan bahwa semestinya puasa membikin pelakunya tidak mengumpulan anugerah kesejahteraan Allah di pundak pribadi atau kelompoknya sendiri melainkan mendistribusikan ke semua orang. Metodenya bukan dengan mengambil sebanyak-banyaknya lantas sebagian disumbangkan melainkan dengan menciptakan tatanan agar perolehan kesejahtraan sesama manusia bisa berimbang. Tata kelola menjadi faktor kunci.

Setelah puasa kemarin, Mas fahmi menemukan cerita menarik tentang pejabat yang halal bihalal maaf-memaafkan yang ada juga dalam penyampaian Mbah Nun dalam buku Tuhan Pun Berpuasa. “Selembar surat keputusan sebubuhan tanda tangan atau seucapan kalimat seorang penggede jika dalam praktik struktural ternyata berakibat menciptakan ketimpangan perolehan kesejahtraan antara lapisan masyarakat dengan lapisan masyarakat lain, akan membuat panggede yang bersangkutan menjumpai kesulitan teknis untuk mendapatkan maaf dari jutaan orang terkena akibat  oleh ulahya”. 

Jadi, ketika pejabat bikin aturan yang salah dalam membuat keputusannya, maka pejabat harus meminta maaf personal kepada siapa? Dalam hal ini Mbah Nun mempunyai suatu kuncinya pada judul esai berikutnya  pada judul “Penghalalan dan Pemuliaan Hubungan Sosial”.

Bahasan keempat tentang esai berjudul “Allah dan Selang-Delang AC”. Simbah menceritakan pengalamannya yang sering berpindah-pindah tempat dalam perjalanan ke berbagai daerah ketika menginap suatu saat di sebuah hotel dan hendak shalat. 

Untuk kemudian mencari mushola yang dijumpai disebuah pojokan hotel.

Menjadi sebuah kritik di dunia yang sekuler ini, membuat bangunan yang besar dan megah tetapi Tuhan tidak disertakan karena ditempatkan di pojok-pojok yang atasnya berisi selang-selang. Menjadi pembelajaran kita semua agar bertanya pada diri masingb-masing ketika ‘menempatkan’ Tuhan dalam diri kita ada di mana, atau justru memang sudah tidak ada.

Selanjutnya Mas Fahmi menceritakan esai berjudul “Puasa Kaum Ghuroba”. Dalam esai ini, Mbah Nun menulis “orang-orang yang berpuasa sebagaimana orang-orang yang mendirikan shalat, zakat, dan haji pada hakikatnya sedang memperjuangkan keselamatan alam semesta dan kehidupan seluruh ummat manusia. Zakat memicu distribusi kesejahtraan sosial, shalat mengembalikan kewajaran metabolisme kosmologis, sedangkan puasa  menarik kembali kondisi harkat dan martabat hidup manusia dari segala hal yang palsu dan tidak penting menuju nilai-nilai dan situasi hidup yang sejati dan berada dalam rangkuman sunatullah, tapi siapa yang mempercayai itu? Kalau kita sedang melakukan itu”.

Menjelang acara dan pertengahan hujan sempat mengguyur, namun tidak terlalu deras tetapi cukup membuat kami yang hadir menjadi semakin segar baik jasmani dan rohani, terlebih dari yang Mas Fahmi sampaikan dari uraian Mbah Nun yang tertuang dalam buku Tuhan Pun Berpuasa. Tidak terasa waktu 2 jam terasa singkat dan terasa kurang, akan tetapi karena Mas Fahmi juga seorang penggiat dari Poci MaiyahTegal yang malamnya akan menyiapkan Tawashsulan serentak seluruh simpul maka apa daya jam 17.00 WIB  acara diskusi harus diakhiri.

Setelah selesai, para pengunjung dengan antusias masuk ke ruang pamer untuk melihat beberapa koleksi karya Mbah Nun. Hadir pula perwakilan dari kawan+kawan literasi sekolah SMA, IPNU IPPNU Pabuaran.

Pada malam harinya kami mengadakan Tawashsulan yang ditayangkan secara virtual dengan seluruh simpul Maiyah hingga pukul 23.00 WIB. Di sela-sela acara virtual tersebut kami melakukan syukuran pembukaan pameran dengan memotong nasi tumpeng sebagai wujud syukur dan terima kasih kepada Mbah Nun yang senantiasa terus menemani anak cucunya di mana pun barada, dan dilanjutkan dengan diaolog santai hingga larut malam. 

(Redaksi Maiyah Cirrebes) 

Lihat juga

Back to top button