BERSIAP DIRI MELAKUKAN SINAU PERUBAHAN

Penjual warung kopi tempat saya nongkrong hapal bahwa selera saya adalah kopi pahit. Saking pahitnya teman-teman sering meledek, “Ini kopi seperti jamu.” Yang lain tidak kalah sinis: “Hidupmu masih kurang pahit apa!”

Tentu saja itu guyon yang menggunakan analogi pahitnya jamu dan pahitnya lakon hidup. Yang mengerti logika analogi akan tertawa. Penjual warung kopi juga merasa diapresiasi karena menyajikan kopi yang pahitnya seperti jamu. Hidup jadi terasa segar.

Apakah kopi adalah jamu? Tentu saja tidak. Persis dengan syair: “Anta syamsun anta badrun.” Apakah “Anta” yang dimaksud dalam syair itu adalah matahari dan bulan? Pasti tidak. Tidak beda jauh dengan kalimat: “Rudi berjalan seperti harimau lapar.” Apakah Rudi adalah harimau (yang lagi lapar)?

Chairil Anwar menulis: Aku ini binatang jalang / Dari kumpulannya terbuang. Apakah kita lantas menyimpulkan Chairil ini binatang? Pasti tidak juga.

Yang dapat dicermati dari rangkaian perumpamaan adalah komponen-komponen yang menyusunnya. Fakta bahwa jamu digunakan untuk model penyerupa, hal itu bergantung pada abstraksi orang yang menyusun perumpamaan.

Perumpamaan atau pemilihan model digunakan untuk menunjuk pada suatu kenyataan yang kompleks. Sedemikian kompleks komponen dan struktur kenyataan tersebut sehingga diperlukan permodelan untuk “menyederhanakannya.”

Kita menggunakan jamu sebagai perumpamaan atau model untuk melukiskan betapa pahit rasa kopi itu. Mengapa terjalin perumpamaan? Karena terdapat persamaan dalam kenyataan tertentu, yakni rasa pahit, yang mendukung permodelan itu.

Seseorang boleh menggunakan model yang lain untuk menjelaskan kopi yang pahit. Ia menemukan persamaan dengan, misalnya, kepahitan hidup. Kopi ini pahit seperti pahitnya hidup. Itu boleh dan sah. Mau menyamakan kopi pahit serupa buah Mengkudu, pahit seperti ditinggal mantan, pahit seperti habis digremengi istri—monggo mawon.

Jadi, tidak ada model yang pasti salah atau pasti benar, selama kita dapat menjelaskan persamaan-persamaan antara yang diserupakan (musyabbah) dengan sesuatu yang digunakan untuk menyerupakan (musyabbah bih).

Bagaimana menguji produktivitas sebuah model? Produktivitas model tidak cukup diuji melalui musyabbah bih atau model yang digunakan sebagai penyerupa. Produktivitas dapat diketahui melalui argumentasi logis yang bertumpu pada persamaan asumsi dasar antara yang diserupakan dengan musyabbah bih.

Yang semestinya terlebih dahulu dicermati sebelum meneliti musyabbah bih adalah konteks faktual mengapa permodelan itu dipilih, bukan sekadar memperkarakan konotasi subjektif tentang permodelan itu sendiri. Ketika wacana yang dibangun hanya bertumpu pada pilihan permodelan, tidak heran logical fallacy bertebaran di mana-mana.

Dialog tersebut akan berlangsung produktif ketika argumentasinya dikemukakan secara terbuka dan logis—syukur-syukur analisisnya menyentuh kesadaran dasar—dan tidak berkutat pada perkara pemilihan model.

Asumsi dasar dan kesadaran dasar tentang apa? Tentu saja asumsi dasar dan kesadaran dasar tentang kompleksitas, unsur-unsur, gejala-gejala, fenomena-fenomena yang terjadi pada konteks kenyataan yang diserupakan (musyabbah) itu.

Hal itu juga mengingat penggunaan model dalam perumpamaan (tasybih) salah satu tujuannya adalah untuk menjelaskan sesuatu yang diserupakan. Jamu digunakan untuk menjelaskan betapa pahit rasanya kopi. Pohon yang baik, akarnya yang kokoh, dan cabangnya yang menjulang ke langit menjadi perumpamaan untuk menjelaskan (kompleksitas) kalimah thayyibah (Q.S. Ibrahim: 24).

Jika kita ingin menyelami model yang digunakan seseorang untuk qulil haqqa walau kaana murran, pelajari pula secara utuh, seimbang, dan mendalam kesadaran dasar dan etos hidupnya.

Kesadaran dasar adalah akar tauhid yang menancap dalam roh terdalam kesadaran hidup seseorang. Etos hidup adalah perangkat nilai atau nilai-nilai yang mendasari perilakunya; nilai-nilai yang dikerjakan secara sungguh-sungguh, konsisten, dan istikamah—fis sarraai wadl-dlarraai, baik pada waktu lapang maupun sempit—selama rentang hidup dan perjuangannya.

Kita memerlukan peneguhan kembali: menyatakan “syahadat” atas kesadaran dasar, etos hidup, dan kesanggupan melakukan ijtihad permodelan kita masing-masing untuk melangsungkan Sinau Perubahan.

Tanda-tanda itu telah dibuka oleh Allah di depan mata kita.

Jagalan, 19 Januari 2023

Lihat juga

Back to top button