Cinta Yang Sungguh-sungguh, Seperti Cahaya Yang Nyata

(Liputan Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi November 2023)

Cinta sungguh-sungguh kalau boleh dimaknai, merupakan bagian dari cahaya yang nyata. Bagaimana peran dan fungsi cahaya, sungguh berdampak signifikan ketika berada di kegelapan. Ketika kegelapan dianalogikan sebagai keruwetan hidup, kegelisahan hidup, kegagalan, dan sebagainya. Maka, cahaya yang menyinari hadir sebagai penolong, sebagai penerang, sebagai penuntun; benar-benar memiliki andil yang cukup besar dan nyata.

Bukan sebuah kebetulan, bahwa Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik edisi ke-82 dengan tema “Cinta yang Sungguh-Sungguh” digelar di Ponpes Nurul Mubin Kubro, pada Senin 06 November 2023. Nurul Mubin yang memiliki arti terjemah Cahaya yang Nyata, jika dikaitkan dengan tema tentunya terdapat ketersambungan.

Apakah hal ini salah? Eits, bukan soal benar atau salah. Tetapi, konteksnya ialah bagaimana output dapat dirasakan manfaatnya. Minimal, bisa menjadi pegangan dan prinsip bagi dulur-dulur Damar Kedhaton Gresik.

Maka, tema “Cinta yang Sungguh-Sungguh” jika dipertemukan dengan “Cahaya yang Nyata”. Rasa-rasanya klop. Tumbu ketemu tutup, kalau mengambil unen-unen leluhur Jawa. Sehingga, ketika Sumber Daya Manusia atau dalam hal ini konteksnya ialah dulur-dulur Damar Kedhaton Gresik berkomitmen melandasi segala bentuk perbuatan, ucapan, beserta tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari di seluruh level dan tingkatan dengan “Cinta yang Sungguh-Sungguh”. Dalam lingkungan keluarga, pekerjaan, organisasi, komunitas, lembaga, instansi, desa, kecamatan, kabupaten, negara, dan lain sebagainya.

Tentunya dengan harapan minimal bisa menjadi cahaya bagi lingkungan sekitarnya; di lingkaran peduli, lingkaran pengaruh, maupun sebatas lingkaran perhatian. Maka, outputnya adalah “Cahaya yang Nyata”. Semoga, diskusi yang terjadi pada malam hari itu menjadi pertanda beserta petunjuk. Dengan keyakinan bahwa, akan selalu ada kekuatan “besar” yang menemani sebelum datangnya cahaya.

Jika boleh dikatakan, ini merupakan kebetulan-kebenaran-ketersambungan. Bahkan, hal ini juga sering dijadikan sebagai sebatas guyonan bagi dulur-dulur Damar Kedhaton Gresik. Bagaimana mereka sangat lihai dan cerdas untuk mengutak-atik gathukan kata, kalimat, makna, tempat, dan lain sebagainya.

“Cinta yang Sungguh-Sungguh” sebuah tema yang diangkat pada edisi bulan November tahun 2023 ini. Awalnya, tema ini muncul ketika ada pembahasan yang pernah ramai di jagad Maya yang berkaitan dengan Mbah Nun. Tidak perlu dijelaskan panjang lebar di sini. Intinya, bagaimana salah satu kalimat Mbah Nun yant mengarah pada satu sosok penting di Indonesia.

Dari situ, Mas Sabrang memberikan respon dan tanggapannya. Kurang lebih ringkasnya sebagai berikut, “Semua yang simbah katakan itu demi Indonesia dari sudut pandang beliau. Saya tidak mengatakan beliau pasti benar, yang benar adalah Tuhan. Tapi semua pandangan beliau pasti berharga. Saya gak ngomong pasti benar, tetapi pasti berharga. Tidak mungkin beliau mengatakan sesuatu tanpa dasar. Pasti ada dasarnya. Dan, mungkin anda disuruh berpikir kenapa beliau ngomong kalimat seperti itu?,” jelasnya.

Persiapan jelang diskusi
Sekitar pukul 21.00 WIB, dua dulur Damar Kedhaton yakni Cak Arief dan Cak Kisworo mondar-mandir menyiapkan beberapa hal. Mulai dari membawa kopi, gorengan, kacang rebus, air minum botolan, banner Damar Kedhaton menuju ke lokasi Telulikuran. Tepatnya di Aula Ponpes Nurul Mubin Kubro Desa Balongpanggang, Kecamatan Balongpanggang.

Setelah semuanya sudah siap, Cak Kisworo mengawalinya dengan mendaras juz 22 hingga tuntas. Sebagai tradisi yang memang wajib untuk dilaksanakan setiap kali Majelis Ilmu Telulikuran digelar. 45 menit waktu yang dibutuhkan oleh Cak Kisworo untuk menyelesaikan satu juz tersebut.

Usai menuntaskan satu juz, kegiatan belum dimulai. Sebab, sebagian besar dulur-dulur Damar Kedhaton masih sedang dalam perjalanan menuju ke lokasi Telulikuran. Maka, Cak Arief dan Cak Kisworo menunggu kedatangan mereka dengan ngopi, ngudud, nyemil, dan ngobrol ngalor-ngidul bersama beberapa warga setempat termasuk juga Shohibul Bait, yakni Gus Mohammad Nasih Alhashas. Gus Alhas, demikian sapaan akrabnya, usianya terbilang cukup muda, yakni berusia 24 tahun. Namun, kapasitas keilmuannya, kedalaman pengetahuannya, hingga pengalaman hidupnya sangat berbobot.

Lambat laun, satu per satu dulur Damar Kedhaton Gresik mulai berdatangan. Ada yang bersepeda motor; sendirian maupun boncengan. Ada pula yang rombongan membawa mobil, dari dulur Gresik Selatan dan dulur Gresik Kota. Halaman Ponpes Nurul Mubin Kubro pun cukup luas untuk dijadikan parkiran bagi kendaraan.

Kembali pada pelataran teras Aula yang menjadi tempat asyik untuk dijadikan tempat ngobrol oleh dulur-dulur Damar Kedhaton. Mulai dari sekadar menyapa antar jamaah, menanyai kondisi dulur-dulur jamaah selama ini, membahas seputar pekerjaan, guyonan kehidupan sehari-hari, bab perpolitikan, hingga isu internasional yang kini menjadi tren hangat diperbincangkan dalam dunia media massa.

Tak terasa jarum jam menunjukkan pukul 22.30 WIB. Dulur-dulur Damar Kedhaton mulai mempersiapkan untuk memasuki sesi Wirid, Tawashshulan, beserta Sholawatan. Keseluruhan jamaah yang hadir masing-masing mengambil air wudhu. Lalu, membuat barisan dengan pola duduk semelingkar mungkin tanpa celah.

Kamituwa Wak Syuaib dan Cak Fauzi secara bergantian memandu jalannya sesi ini. Diikuti oleh seluruh jamaah yang hadir, berjalan dengan khusyu’ dan dalam suasana yang intim. Saat pembacaan beberapa lafal Sholawat beserta Mahalul Qiyam, tim penerbang dari pemuda desa setempat dengan inisiatif turut mengiringi tabuhan banjari tanpa komando.

Sekira pukul 00.00 WIB, seluruh rangkaian sesi pembacaan Wirid, Tawashshulan, beserta Sholawatan tuntas ditunaikan. Beberapa air minum botol yang dengan sengaja tutupnya dibuka, ditiuplah oleh jamaah. Dengan harapan menjadi air keberkahan yang jika diminum memberikan kesehatan beserta kesegaran bagi tubuh dan jiwa.

Sesi Elaborasi Tema
Cak Fauzi yang berisiatif mengambil peran sebagai moderator mengawali sesi elaborasi tema dengan mempersilakan Shohibul Bait, Gus Alhash untuk memberikan sambutannya.

“Kita malam ini berkumpul dalam rangka bermuwajahah. Semoga mendapat berkah dari Allah. Matur nuwun sanget, silaturahmi wonten griya kula. Bahwa, tempat ini juga sangat terbuka bagi komunitas apapun. Ada latihan pencak silat Pagar Nusa, ada latihan pencak silat SH Terate, kegiatan IPNU-IPPNU, Ansor, dan lain sebagainya,” jelasnya dengan nada yang gembira.

Selanjutnya, uraian singkat mengenai latar belakang munculnya tema tersebut disampaikan oleh Cak Kisworo melalui tulisan prolog. Bahwa, tema ‘Cinta yang Sungguh-Sungguh’ merupakan cermin yang ada pada diri Mbah Nun dalam perjuangannya selama ini.

Bagaimana kesungguhan cinta beliau dalam mencintai segenap masyarakat Indonesia tanpa tebang pilih. Selain itu, Simbah juga berpegangan kuat pada prinsip yang diyakini selama ini. Memberi tanpa harap kembali. Berjuang tanpa pamrih. Demi keutuhan, kesatuan, serta membesarkan jiwa-jiwa wong cilik.

Selanjutnya, sebagian dulur yang hadir dalam diskusi, mengulas tema melalui perspektif pada pengalaman pribadi dan pengalaman orang-orang di sekitar mereka.
Mulai dari cerita tentang pengorbanan dulur Maiyah Tong il Qoryah dalam berjuang di luar negeri, yang disampaikan oleh Cak Fauzi saat bertugas di Korea Selatan. Hingga perilaku sederhana dan penuh keikhlasan dari Marja’ Maiyah kita, dalam hal ini tidak lain adalah sosok Mbah Nun itu tersendiri.

Selama 2 Minggu bertugas di Korea Selatan, Cak Fauzi bertemu dengan Mas Argo, arek asli Bojonegoro. Diceritakan bahwa, Mas Argo selama 9 tahun terakhir menjadi pekerja imigran di sana. 4 tahun terakhir kayaknya bisa disebut sebagai fi Sabilillah. “Visanya mati. Tapi masih bisa bekerja dan berkarya,” ujarnya.

Cak Fauzi menambahkan, bagaimana sosok Mbah Nun di balik ketokohan dan “kebesaran nama” yang dimiliki beliau.

“Di balik nama besar beliau, ketokohan beliau. Bisa membuat kita terenyuh. Koyok gak onok apa-apane awak dewe iki. Sangat sederhana dan biasa. Selalu memilih yang biasa-biasa. Tidak menunjukkan, aku iki wong,” jelasnya.

“Mas Argo juga pernah bercerita, ngancani Mbah Nun saat istirahat. Di restoran hotel, meneng diluk ndek pintu. Balik gak jadi ke resto. Milih naik tangga. Rokokan dan hanya minum teh. Beliau menjaga betul (Bagaimana status makanan yang masih samar dan sebagainya-red),” beber Cak Fauzi.

“Nggolek kamar pun, minta kepada arek-arek. Sing isok digawe rokokan. Lain cerita, di Korea juga sering ngundang kiai dari Indonesia. Bila ngundang Mbah Nun, paling ringan. Tidak ada standar tertentu. Bahkan, panitia yang pakewuh. Sangat ringan kerjanya panitia. Tidak ada standar khusus yang harus disiapkan,” imbuh Cak Fauzi.

Lantas, Cak Fauzi pun teringat cerita masa lalunya. Ketika masih bekerja di pabrik rokok Wismilak, Surabaya. Bahwa, Mbah Nun tidak berkenan untuk duduk di kursi VIP yang bersanding dengan jajaran direksi hingga Owner perusahaan. Beliau lebih memilih duduk di ruangan makan, hingga mendekati rundown acara berlangsung.

Sementara itu, Kamituwa Damar Kedhaton Wak Syuaib berterima kasih tak terhingga kepada dulur-dulur Damar Kedhaton yang istiqomah menjalankan perannya di dalam Damar Kedhaton. Perihal tema, Wak Syuaib berpendapat, tidak ada orang sakit paling berat kecuali karena cinta. “Wong duwe roso cinta iku, rumangsaku paling parah (Barangsiapa memiliki rasa cinta, menurutku itu paling parah-red),” ungkap beliau.

Gus Alhash juga menyampaikan pandangannya mengenai Mbah Nun. Menurutnya, Mbah Nun merupakan sosok yang revolusioner. Bagaimana beliau mampu membangkitkan pikiran kita yang seolah-olah terlelap tidur panjang. Hal ini diperkuat oleh pendapat Cak Fauzi. Merujuk dari ingatannya akan pesan Ibunda Mbah Nun, yakni Ibu Halimah.

“Revolusioner adalah kata yang digemblengkan Ibu Halimah kepada Mbah Nun sejak muda,” tambahnya.

Cak Ateng menimpali, menurutnya, gerakan revolusioner yang dilakukan oleh Mbah Nun yakni dengan melakukan turun ke bawah. Hadir secara langsung di tengah-tengah masyarakat pedesaan. Hal ini dilakukan juga penuh dengan pertimbangan yang matang.

“Menyikapi Gus Alhash soal revolusi. Ta’ sambungkan ke yang pernah disampaikan oleh Mbah Nun, bahwa semisal awakmu pengen revolusi isok paten-patenan ambek dulurmu dewe,” ucapnya.

Cak Ateng menambahkan, dengan daya presisinya prediksi yang dilakukan oleh Mbah Nun, sambung dia, Mbah Nun telah menyiapkan langkah antisipasi untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah.

“Berarti sing wis memprediksi kejadian koyok ngunu iku, berarti mengantisipasi. Kemungkinan besar, turun ke bawah. Ngemong rakyat Indonesia, bahkan itu pun implementasi gerakan dari revolusi. Soal e apa, soal e ngerti efek samping terkait revolusi tersebut. Sehingga, setiap langkah itu harus tertata rapi agar tidak timbul gesekan. Tahun 1998 itu potensi ajang merebut kekuasaan. Waktu itu sempat tidak percaya. Ke mana beliaunya waktu itu? Kok moro-moro menarik diri. Ini ibarat e, ya tindakan, ya ucapan. Ini konsisten,” paparnya.

Sedangkan, Cak Mad membeberkan pendapatnya mengenai tema ‘Cinta yang Sungguh-Sungguh’. Bahwa, cinta yang sungguh-sungguh saat ini seringkali kehilangan fokusnya karena terlalu cepatnya kehidupan, teknologi, dan sebagainya. Fokus pada keikhlasan serta pentingnya berada pada waktu dan situasi yang sekarang, menjadi barang mahal yang harus bisa dimaknai. Menurutnya, kunci dari cinta yang sungguh-sungguh adalah terdapat pada keikhlasan dan menjaga fokus, serta berjuang memberikan yang terbaik pada apa-apa yang dilakukan.

Gus Alhash menutup diskusi dengan menyampaikan bahwa salah satu pondasi dasar cinta adalah keikhlasan. Setiap individu memiliki tingkat keikhlasan yang berbeda-beda dan butuh proses untuk mencapainya. Gus Alhash juga menegaskan bahwa orientasi tertinggi dalam keikhlasan adalah kepada Tuhan yang sangat sulit untuk dicapai dan membutuhkan proses yang panjang.

“Kalau secara teoritis, terkait keihklasan kepada Tuhan ada tiga. Pertama, melakukan perintah ibadah. Kedua, tingkatan menengah, yakni melakukan semua itu, mengharap akhirat, surga neraka dan sebagainya. Kemudian tingkat tertinggi, bahwa apapun yang kita lakukan orientasinya Tuhan, itu sangat sulit dan butuh proses panjang,” pungkasnya.

Diskusi dipungkasi tepat sekitar pukul 03.00 WIB dengan lantunan beberapa Sholawat yang dipimpin oleh Wak Syuaib. Setelahnya, jamaah secara rapi membentuk dua barisan segera merapatkan diri di depan banner; menjalankan tradisi yang telah lama hilang tak pernah dijalani, yaitu sesi foto bareng.

*Pesan dan Kesan Shohibul Bait Ponpes Nurul Mubin Kubro, Gus Mohammad Nasih Alhashas, mengenai Majelis Ilmu Telulikuran Damar Kedhaton Gresik*

Melihat perkumpulan yang bagi saya sangat menarik dan unik, dengan berbagai latar belakang kesibukan dan profesi namun sangat akur lagi akrab dalam sebuah forum, saya teringat salah satu hadits Rasulullah SAW dalam Shahih Muslim, Rasul dawuh:

الأرواح جنود مجنّدة، فما تعارف منها ائتلف، وما تناكر منها اختلف

_”Ruh-ruh/jiwa-jiwa itu seperti prajurit yang berkelompok, jika saling mengenal mereka akan menjadi akrab, dan jika saling bermusuhan maka mereka akan saling berselisih.”_

Dari hadits ini saya meyakini, bahwa meskipun latar belakang kita berbeda-beda, namun ruh/jiwa kita memang ditakdirkan oleh Allah sudah saling mengenal, jadinya bisa akrab tanpa dinding aling-aling.

Bahkan saking akrabnya, kesibukan di pagi hari pun dikalahkan dengan keakraban tersebut, buktinya kita bisa diskusi dan ngobrol hingga mendekati waktu subuh, padahal paginya kita harus memulai kesibukan masing-masing. Ini jelas bentuk rahmat dan kasih sayang Tuhan, kita bisa dipertemukan dengan orang-orang yang sefrekuensi, dengan orang-orang yang barangkali bisa kita sebut dengan ashabiy (para sahabat).

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button