SEDULUR MAIYAH KUDUS SOWAN HABIB ANIS SHOLEH BA’ASYIN

Kata “sowan” tidak persis sama dengan bertamu. Juga tidak bisa secara mentah-mentah disandingkan dengan berkunjung. Kita bisa bertamu dan berkunjung kepada siapa saja, tapi tidak dengan sowan. Ada semacam syarat khusus untuk seseorang menjadi pantas disowani dan tidak sekadar dikunjungi. Syarat itu bisa menyangkut kedudukan seseorang di masyarakat, kehormatan, dan pengabdiannya pada kehidupan.

Dalam tradisi Islam di Jawa, sowan menjadi begitu identik dengan kiai atau ulama dan banyak dilakukan dengan mengharap keberkahannya. Orang-orang sowan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui mereka yang entah dengan kualifikasi apa terasa lebih dekat dengan-Nya. Aktivitas utama dalam sowan biasanya adalah percakapan tentang nilai-nilai kebijaksanaan terkait banyak hal. 

Sedulur Maiyah Kudus, di antaranya; Iwan, Ali, Huda, Pringkuning, Dilla, dan Tiyo, menyusuri jalan Pantura, menyaksikan lampu-lampu dari tradisi Bulusan berpendar. Masih dalam suasana lebaran, persis semalam sebelum Bada Kupat yang dirayakan masyarakat Kudus sepekan setelah Idul Fitri. Sedulur Maiyah Kudus menuju ke Pati, menuju kediaman Habib Anis Sholeh Baasyin untuk sowan pada 28 April 2023.

Ada dua kehangatan dalam peristiwa sowan itu. Yang pertama, terletak pada secangkir kopi. Yang kedua, pada pertemuan sekaligus percakapannya. Seperti anak-anak yang sowan kepada orang tuanya, seperti itulah gambaran yang terjadi. Habib Anis menyambut dulur-dulur seraya melimpahkan ilmunya untuk menjawab rasa penasaran, salah satunya, tentang fenomena penentuan hari raya yang tak sama.

Lihat juga

“Secara awam, masyarakat pasti suka lebaran bareng daripada beda-beda. Kalau bareng kegembiraannya lebih sempurna. Sebenarnya yang kita butuhkan cuma kesadaran bahwa lebaran ini momen kegembiraan bersama. Memang sejak dulu, perbedaan penentuan hari raya itu sudah ada. Jangankan organisasi yang berbeda. Beda kiai bisa beda juga lebarannya. Soalnya adalah pada ukuran standar untuk pergantian bulan dan metodenya.”

“Apa mungkin karena ada unsur politik, Bib?” seseorang bertanya. 

“Yang jelas, kebenaran…” Habib Anis menjawab dengan suara merendah, “tidak bisa disentuh oleh orang yang punya kepentingan.”

Percakapan pun mengalir, merintik, kadang menderas. Seperti hujan turun malam itu. Suhu memang dingin, tapi suasana masih hangat. Ketika waktu mengisyaratkan bahwa hari berganti, perjumpaan sowan berakhir dengan mushafahah dan donga-dinunga: bentuk muamalah “ngalap” berkah kepada guru-guru berikut para kasepuhan.

(Tim Redaksi Semak Kudus)

Lihat juga

Back to top button