NELAYAN TASIKAGUNG KEMBALI MELAUT DENGAN BEKAL ILMU DAN DOA DARI MBAH NUN 

(Liputan Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng, Sedekah Laut Nelayan Tasikagung Rembang Jawa Tengah, Jumat 5 Mei 2023)

Di penghujung acara Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng dalam rangka Sedekah Laut Nelayan Tasikagung Rembang tadi malam, Pak Lurah Tasikagung Muhammad Riyanto menyampaikan sambutan dan testimoni. Dengan akurat, beliau mengungkapkan inti manfaat yang beliau terima dari Sinau Bareng tadi malam yang sangat relate dengan kebutuhan aktual para nelayan.

Beliau bersyukur dan berterima kasih karena di malam puncak rangkaian Tasyakuran Nelayan Tasikagung ini beliau dan masyarakat nelayan mendapatkan pencerahan dari Mbah Nun tentang berbagai hal dan ini menjadi obat agar dalam berkehidupan para warga dan nelayan selalu ingat Yang Di Atas yaitu Allah Swt. 

Pak Riyanto mengatakan momentum Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng ini baru pertama kalinya dan berharap dapat berkesinambungan. Apa yang disampaikan Mbah Nun merupakan obat bagi nelayan Tasikagung, karena minggu depan mereka akan melaut kembali. Selain bekal ilmu yang menjadi obat tadi, Pak Riyanto juga berterima kasih atas doa-doa Mbah Nun sehingga dengan doa tersebut para nelayan yang akan kembali melaut bisa memperoleh hasil melimpah, mendapatkan keselamatan selama mencari nafkah di laut, dapat pulang dengan selamat karena ditunggu keluarganya di rumah, dan tahun depan dapat kembali berkumpul bersama seperti malam ini. 

Berikut sejumlah butiran ilmu yang dapat kita catat dari Sinau Bareng tadi malam, di mana kesemuanya saling berkaitan satu sama lain: antara ilmu, doa, musik, kegembiraan dan kebahagiaan, kekhusyukan, kebersamaan, dan lain sebagainya. 

  1. Mbah Nun mengemukakan suatu pendekatan atau cara melihat. Jika para nelayan menghadapi masalah, masalah itu datang dari diri mereka, dari alam, atau dari pemerintah. Ketika ditanyakan, mereka menjawab “dari pemerintah.” Mbah Nun mengatakan pertanyaan tersebut harus ada jawaban yang spesifik. Jika masalah datang dari pemerintah, Mbah Nun mengajak untuk tidak usah melawan pemerintah, melainkan meminta kepada Allah Swt. 
  2. Mbah Nun membawa semua hadirin khususnya para nelayan untuk menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa yang mendapatkan fadhilah dari Allah, merupakan bangsa paling religius di dunia, dan di-sangoni Allah dengan kekayaan alam terbesar. 
  3. Mbah Nun meminta para nelayan untuk semuanya wa’tashimuu (berpegang teguh kepada Iman kepada Allah) dan tidak tafarraquu (berpecah belah dengan membuat kelompok-kelompok). Setiap perbedaan pendapat hendaknya dimoderasi dan dirembug atau didiskusikan terutama dengan para sesepuh masyarakat Rembang. 
  4. Jamaah yang hadir dan berbaur dengan masyarakat nelayan memenuhi area lapangan pelabuhan Tasikagung ini. Semua memadati area depan panggung hingga ke area dekat anjungan yang menjorok ke laut. Sebagian lain duduk enjoy mengikuti acara dari pinggir pantai. Semuanya jenak, nikmat, asyik, dan bahagia hingga selesai acara. Tidak ada satu pun meninggalkan acara sebelum acara selesai. Di atas panggung, Mbah Nun ditemani KH. Nawawi Kholil (Salah seorang sesepuh Tasikagung dan pengasuh simpul Maiyah Sendhon Waton yang dipandegani oleh Dalang Ki Sigit Arianto) dan Habib Anies Sholeh Ba’asyin, serta Pak Lurah, Pak Camat, Polisi darat maupun laut, para sesepuh dan panitia. Semuanya menikmati Sinau Bareng yang merupakan pengajian yang berbeda dengan pengajian pada umumnya.
  5. Dibantu qari acara dan para vokalis KiaiKanjeng, para jamaah diajak melantunkan takbiran tetapi dilandasi cara baru memahami takbiran yakni dengan mengimani kebenaran yang dikandung dalam kalimat-kalimat Takbiran terutama pada kalimat: shadaqa wa’dah, wa nashoro ‘abdah, wa a’azza jundah, wa hazamal ahzaba wahdah. Allah bersungguh-sungguh dengan janji-Nya (menepatinya), Allah menolong hamba-Nya (manakala mengalami masalah), Allah meninggikan atau memuliakan pasukan/tentara-Nya, dan Allah memberangus/memprorak-porandakan musuh-musuh-Nya sendirian. 
  6. Setiap kali takbiran, Mbah Nun meminta agar benar-benar dirasakan yakni dirasakan janji Allah dalam kalimat-kalimat takbiran itu. “Mudah-mudahan tahun depan situasi nelayan Tasikagung lebih baik karena ditolong Allah Swt. Siapakah tentara atau pasukan Allah? Menurut Mbah Nun, tentara Allah adalah siapapun saja yang menjalankan irodah dan amr Allah, dan karena itu akan dimuliakan oleh Allah. 
  7. Sesudah menguraikan pentingnya meyakini janji Allah dalam takbiran, Mbah Nun menegaskan, “Ternyata kandungan takbiran itu adalah nasib Anda sendiri. Dengan mengerti kandungan tersebut, ketika melantunkan takbiran akan menjadi lebih mantap, nggak sekadar mangap-mangap thok.” Hal yang sama, menurut Mbah Nun, juga kita temukan misalnya saat kita tahiyat shalat di mana kita membaca shalawat dan di situlah pula terletak nasib kita. “Mudah-mudahan Allah menuntaskan perubahan-perubahan buat Anda,” doa Mbah Nun. 
  8. Dengan dua uraian mengenai takbiran dan tahiyat ini, Mbah Nun memberi contoh agar dalam mengucapkan kalimat-kalimat dalam beribadah kita berupaya memahami maknanya, karena di situ terdapat logika kehidupan, terdapat informasi dan janji dari Allah, terdapat posisi keadaan/nasib yang dijanjikan Allah kepada kita. 
  9. Memperdasar pengertian Sedekah Laut yang disampaikan Pak Asnuri mewakili panitia, Mbah Nun mengungkapkan bahwa Sedekah Laut ini sejatinya sedekah untuk Indonesia. Sedekah Laut, seperti sedekah bumi dan sedekah desa, tidak menjadi kesadaran regional apalagi nasional. Seperti hukum fardhu kifayah, manakala seseorang telah menjalankan ibadah yang fardhu kifayah tersebut, maka semua orang di situ terbebas dari kewajiban tersebut. Artinya, seseorang tadi telah memberikan manfaat bagi banyak orang. Sedekah Laut meski dilakukan oleh desa, doa Mbah Nun, tetapi berkahnya bisa lumeber diberlakukan kepada seluruh bangsa Indonesia sehingga Allah berkenan menyelamatkan Indonesia. Itulah kandungan sedekah pada Sedekah Laut yaitu sedekah kepada Indonesia.
  10. Sedemikian banyak hadirin yang datang dari luar desa Tasikagung, terpantau parkir motor sangat panjang dari jalan besar hingga jalan masuk menuju lokasi acara. Para pemuda desa Tasikagung dengan sigap dan cekatan meng-handle setiap jamaah yang datang. Tak hanya dari Rembang, tetapi dari kota-kota sekitar seperti Lasem, Pati, Blora, dan Jepara. 
  11. Pak Yai Nawawi Kholil yang sangat menikmati kebersamaan Sinau Bareng ini diminta Mbah Nun menjadi marja’. Salah satu yang disampaikan adalah tentang Lailatul Qadar. Bahwa di bulan Ramadhan terdapat Lailatul Qadar dan itu sangat sahih berdasarkan Al-Qur’an dan Sabda Kanjeng Nabi Muhammad. Namun, berdasarkan uraian tafsir-tafsir klasik, lailatul qadar tidak hanya terjadi di bulan Ramadhan, tetapi pada setiap hari/malam di mana malaikat Allah turun ke bumi. Pak Yai Nawawi merasakan dari Sinau Bareng ini semua nelayan dan semua hadirin saling menghormati dan saling mencintai. Ini menurut beliau adalah barokah dari Mbah Nun. Salah satunya pula penjual-penjual dapat ikut mendapatkan rezeki. Dan afdholul rizqi (rezeki yang utama) pada malam ini adalah ilmu-ilmu yang disampaikan Mbah Nun. 
  12. Saling menghormati dan mencintai tentu berlangsung antara Mbah Nun dan Pak Yai Nawawi Kholil. Salah satu ujud penghormatan kepada Pak Yai Nawawi adalah ketika Mbah Nun memberikan “resep” kepada para nelayan Tasikagung. Manakala mereka di laut mengalami gelombang pasang yang mengkhawatirkan, mereka bisa meneriakkan nama Pak Yai Nawawi. ”Mbah Wi, Mbah Wi!,” begitu Mbah Nun mencontohkan. Mbah Nun mengambil ilmu tentang komposisi rohaniah lokal dari pengalaman pelaut dan nelayan Mandar. Seorang waliyullah di bumi Mandar yang sering diceritakan Mbah Nun bernama Imam Lapeo. Setiap kali ombak besar menghadang, para pelaut Mandar selalu memanggil-manggil nama Imam Lapeo dan atas izin Allah ombak kemudian menjadi pelan kembali. Hal yang sama sangat mungkin berlaku nelayan Tasikagung. Sebab, menurut Mbah Nun, Pak Yai Nawawi betul-betul melakukan tirakat untuk para nelayan Tasikagung. 
  13. Dalam Sinau Bareng tadi malam para jamaah juga diajak memahami fadhilah. Hendaknya setiap orang menemukan fadhilah (skill, kemampuan, bakat, kecenderungan) masing-masing yang merupakan kehendak Allah atas diri mereka. Fadhilah ini berkaitan dengan peran kekhalifahan yang diemban setiap orang. Dalam konteks menemukan fadhilah ini, Mbah Nun meminta agar setiap anak dibangun dan ”disirami” terus-menerus bakatnya. Kesadaran fadhilah ini adalah implementasi dari pesan Allah dalam QS. Surat Al-Hasyr ayat 18 agar setiap diri melihat ke masa depannya. Cara melihat ke masa depan anak adalah dengan sejak dini menemukan, merawat, mengembangkan fadhilah yang dimilikinya agar di masa depan dia siap menjalankan hidup dengan baik.
  14. Habib Anies Sholeh Ba’asyin juga diminta menjadi marja’. Seperti Yai Nawawi, Habib Anies berbicara tentang Lailatul Qadar. Tekanannya ada pada ‘malam’. Malam adalah lambang kegelapan, lambang dari kehidupan yang salah satu sifatnya adalah penuh ketidakpastian, juga lambang dari ketidaktahuan. Lailatul Qadar adalah kesadaran bahwa ”Saya tidak tahu apa-apa dan tidak mungkin bilang saya sudah tahu… ”, sehingga dibutuhkan cahaya atau nur dari Allah yang dilambangkan dengan fajar (mathla’il fajr). Menurut Habib Anies, qadar juga berarti potensi dalam diri manusia, dan potensi itu harus diungkapkan dalam wujud tindakan, karena setiap manusia adalah khalifah Allah yang bertugas mengelola bumi. Karena itu, Habib Anies sependapat dengan Mbah Nun ihwal menemukan fadhilah dari Allah atas tiap diri manusia. 
  15. Mbah Nun merespons Habib Anies dengan mengajak para hadirin mentadabburi ayat pertama Surat Al-Isra’. Ayat ini diawali dengan subhana (Maha Suci) yang dengan mudah dipahami mengisyaratkan bahwa ilmu itu dimulai dengan kesucian Allah dan hendaknya kita mengasah diri agar kompatibel dengan kesucian Allah. Kemudian dalam ayat ini terdapat kata lailan (malam hari). Seperti kerap Mbah Nun uraikan, lailan di situ adalah gambaran bahwa hidup kita itu adalah malam hari, serba gelap, sehingga dibutuhkan nur yang harus kita cari terus-menerus. Nur adalah ketika belum tahu menjadi tahu, hidup belum berkah menjadi penuh berkah, dlsb. “Itulah Nur, ” kata Mbah Nun. Dalam ayat itu pula Allah menegaskan diri-Nya memberikan barokah di sekitar Masjidil Aqsha. Dalam pemahaman Mbah Nun, Wilayah sekitar Masjidil Aqsha adalah lambang terjadinya ketegangan, konflik, dan peperangan. Jika kita mengalami hidup yang penuh konflik dan ketegangan itu adalah saat untuk kembali ke ”Masjidil Haram” untuk mendapatkan ketenteraman. “Sampai ke Masjidil Aqsha harus kembali ke Masjidil Haram,” kata Mbah Nun. 
  16. Cari malaikat dirimu sendiri. Ini adalah salah satu pesan selanjutnya dari Mbah Nun. Beliau memaparkan bahwa Allah menyiapkan malaikat pada setiap diri manusia, dan malaikat itu adalah yang cocok dengan diri individual seseorang. ”Anda cocok dengan malaikat tertentu. Setiap Anda punya kecocokan dengan malaikat tertentu yang cocok dengan fadhilah Anda, ” Mbah Nun menguraikan. Kemudian Mbah Nun menjelaskan bahwa malaikat bukanlah sosok padatan materiil, melainkan energi atau frekuensi. Karena itu sebenarnya manusia bisa memancarkan aura kemalaikatan. Hanya saja selama ini manusia tidak mengetahui hal itu. “Semoga Anda menjadi pemancar malaikat. Kalau malaikat datang, boleh jadi itu Anda sendiri,” papar Mbah Nun. Hal yang sama juga berlaku pada setan di mana setan juga merupakan energi dan frekuensi. Pada kondisi yang berkebalikan, manusia pun bisa berlaku memancarkan setan.
  17. Indonesia mustahil miskin, sebab cocoknya adalah baldatun thayyibatun wa robbun ghofur. Jika tidak, menurut Mbah Nun, berarti ada yang korupsi. Di Indonesia ini kita cukup menjadi orang baik, sebab Indonesia ini dengan semua anugerah yang diberikan Allah adalah dummy-nya Surga. Ditambah lagi setiap orang di sini punya rasa ketuhanan dan dibekali dengan inti agama, sehingga punya ”dasar” sebagai orang baik. Di sinilah, Mbah Nun menjelaskan bahwa Sedekah Laut di momentum syawalan atau Idul Fitri, bisa dimaknai sebagai Idul Fithroti (kembali ke dasar yang suci) karena para nelayan Tasikagung sedang mewujudkan fitrah dasar manusia Indonesia. Karena itu, Mbah Nun sangat sungguh-sungguh memohon kepada Allah agar Sedekah Laut Tasikagung ini diberlakukan untuk Indonesia. ”Yang dicatat Allah bersyukur adalah semua bangsa Indonesia dan itu sedekah teman-teman nelayan di sini, ” doa Mbah Nun. 
  18. Tidak hanya wedaran ilmu didapat para nelayan dan semua jamaah, melainkan juga keindahan dan kekhusyukan bersama KiaiKanjeng melalui Tawashshulan dengan porsi yang sangat pas di mana semua jamaah khusyuk mengikuti. Kegembiraan dan kebahagiaan juga terbit dari nomor-nomor yang dibawakan bersama Bapak-bapak di panggung melalui Medley Era di penghujung acara. Mereka juga belajar tentang genre-genre musik dan bagaimana memahaminya dalam kaitannya dengan melihat musik dalam pandangan agama ketika KiaiKanjeng menghadirkan shalawat Badar yang dibawakan dalam berbagai genre musik. Nomor shalawat Tibbil Qulub dan Lihusulil Marom juga menjadi nomor keindahan tersendiri. 

***

Demikianlah sejumlah butir ilmu yang dapat kita catat dari Sinau Bareng tadi malam, dan tentunya masih banyak lagi yang belum tercatat. Oh ya, sebelum menuju panggung Pakde-Pakde KiaiKanjeng dijamu makan malam di rumah warga tak jauh dari panggung. Menu utamanya, tentu saja, adalah masakan ikan-ikan laut yang uenaak. Saya makan ikan cumi yang dimasak sedemikian rupa dan saya gabung dengan kuah di tempat ikan satunya dan rasanya: pedas-pedas panas gitu… hehe…

Usai acara, Mbah Nun dan KiaiKanjeng kembali sejenak ke hotel untuk bersiap-siap pulang ke Jogja. Di Lobby hotel Mbah Nun bercengkerama dengan para panitia dan sejumlah jamaah. Ketika KiaiKanjeng pamit, Mas Romi panitia dkk. sangat berterima kasih atas rawuhnya Mbah Nun dan KiaiKanjeng untuk teman-teman nelayan Tasikagung Rembang. Selamat melaut kembali, Mas-Mas dan Bapak-Bapak. []

Lihat juga

Back to top button