AING

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Lingkar Daulat Malaya, Tasikmalaya, 24 Februari 2023)

Siapakah yang mau jadi bayang-bayang orang lain? Meskipun “orang lain” itu adalah bapaknya sendiri? Pelajaran mahfudhat atau kata-kata mutiara di Madrasah menyebut: “Bukanlah lelaki orang yang berkata, ‘Ini Bapakku’. Lelaki adalah orang yang berkata, ‘Ini dadaku!’. Tulisan dalam buku “Sedang Tuhan Pun Cemburu” dengan judul “Ini Dadaku versus Ini Bapakku” mengantarkan pada kata “Aing” di masyarakat Sunda.

Aing bagi orang Sunda adalah ungkapkan ketegasan, ke-aku-an yang selalu berkaitan dengan kekuatan yang ada di luar dirinya. “Kumaha aing, ceuk aing, halik ku aing” menunjukkan keberadaan diri di luar dirinya yang berdasar kepada kebenaran yang sejati, bukan berdasar atas sandaran orang lain atau kekuatan manusia lain. Haji Hasan Musthofa mengungkapkannya dalam ungkapan aing daitu, disebutitu da aing.

Kemerdekaan komunikasi dan keliaran interaksi membuat kata Aing menjadi sesuatu yang berkonotasi negatif, tidak sopan, dan tidak tepat untuk diungkapkan. Aing sebagai bahasa yang bebas nilai menjadi kata yang mendapatkan penghakiman dari manusia sebagai kata jelek, bahkan haram untuk diungkapkan.

Aing mampu merepresentasikan dirinya yang sejati, tidak berdasar atas kemampuan manusia lain, ‘bapaknya, kakaknya, saudaranya, temannya, dan masih banyak lagi’. Adalah sebuah penderitaan dan gedoran harga diri yang serius bagi mereka untuk disebut-sebut orang “O, itu adiknya si anu, anaknya si anu.…” Adalah sebuah ketidakbahagiaan bagi setiap manusia yang berkepribadian mandiri untuk dirasani orang.

Karenanya, Ia memerlukan perjuangan ekstra untuk membuktikan bahwa segala yang ia hasilkan adalah miliknya sendiri yang autentik, serta bahwa segala prestasinya bukanlah karena ia anaknya ini atau keponakannya si itu.

Lihat juga

Seorang anak muda bekerja menjadi karyawan di perusahaan bapaknya itu akan cenderung tidak dilihat sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai bayang-bayang bapaknya. Ia menjadi karyawan di situ dianggap karena ia adalah anak bapaknya. Segala kerja dan kreativitas yang dihasilkannya tidak dianggap sebagai hasil usahanya sendiri, tetapi karena privilege atau kemudahan-kemudahan sebagai “anak-bapak”.

Kalau seorang koleganya dalam perusahaan memperoleh perlakuan tertentu dari sang bapak, apalagi perlakuan yang dirasa negatif, maka anak muda itu juga harus ikut menanggungnya. Ini lebih dari soal psikologis atau kultural. Anak muda itu bisa jadi akan selamanya tak akan sanggup mengurangi bayang-bayang itu agar orang menyaksikan dirinya sendiri yang sejati.

Akan tetapi, “melepaskan diri dari bayang-bayang” atau “mempertahankan orisinalitas kepribadian” hanyalah sebuah pilihan. Ada pilihan lain, yang mungkin sebaliknya, yang justru diambil orang tanpa beban apapun.

Yang menjadi perhatian tema kita ini adalah bagaimana sebuah pribadi membebaskan diri dari segala pengaruh yang bisa melunturkan orisinalitas eksistensi kepribadian. 

Di tengah-tengah kondisi yang semua orang berebut untuk memperkenalkan dirinya lewat eksistensi orang lain. Sebenarnya kasus ini tidak sebatas pada contoh-contoh seperti yang diuraikan di awal tulisan ini. “Bapak” itu juga bisa berarti “senior”, “generasi tua”, atau para “pendahulu” lain dalam proses sejarah.

(Redaksi LD Malaya)

Lihat juga

Back to top button