NGOPI NOUS NOUS
“Brika? Brika?”
Saya melongo, bingung apa maksud pemuda yang menghampiri saya ini. Ia mengulanginya, kali ini sambil senyum dan mengisyaratkan genggaman tangan. Jempolnya digerak-gerakkan. “Brika?”
Oh, korek api toh. Saya pun tersenyum sambil menyerahkan korek kepadanya. Dari rupa batang rokoknya, saya jamin seratus persen itu bukan kretek. Dia sumet rokok putihnya dan mengembalikan korek saya. “Syukran!”
“Marhaba!” sahut saya.
Belum genap satu menit saya duduk di warung kopi ini ketika pemuda itu datang. Saya sedang menunggu datangnya pelayan.
Kala itu langit biru cerah sekali. Matahari sangat bersemangat menyebarkan sinar pagi, memberikan harapan kehangatan. Awan-awan tertidur lelap di belahan bumi yang masih gelap. Sehingga di sini, sinar mentari langsung terjun bebas ke bumi, tanpa terhalang satupun awan.
Namun harapan akan kehangatan itu muspro. Hawa dingin masih lebih garang, membuat saya ingin nyruput yang panas-panas.
Pria paruh baya berkemeja lengan panjang putih menghampiri saya. Pangkal dasi di lehernya menyembul dari balik sweater hitam. Celemek cokelat melingkari pinggangnya. Saya menyapanya duluan, “Assalamu’alaikum, Sidi.”
“Wa’alaikumsalam,” jawabnya dengan penuh senyum.
Namanya bukan Sidi. Itu sapaan umum seperti mas atau pak. Selanjutnya kata-kata yang diucapkannya bikin saya melongo juga. Rupanya dia ngomong pakai bahasa Perancis. Alasannya jelas, wajah saya tidak berkontur Arab. Karena itu bahasa internasional lah yang digunakannya. Sialnya saya tidak mudheng.
Saya coba meresponsnya dengan memperhatikan orang-orang sekitar, lalu saya tunjuk minuman seorang bule yang duduk di depan. Sidi pun mengangguk. Saya asumsikan dia paham.
Tak lama berselang, Sidi Ahmed membawa pesanan saya. Segelas kecil minuman hangat dengan tiga lapis warna: cokelat muda, hitam, putih. Piring kecil dan sendok mungil menyertainya, ditambah dua bongkah kubus gula di atasnya, dilengkapi sebotol kecil air mineral.
Sebongkah gula saya cemplungkan ke dalam gelas, lalu saya aduk searah jarum jam. Sekarang warnanya seperti kopsus–kopi susu. Dulu, kalau mengaduk minuman ke arah berlawanan jarum jam, kata orang rasanya akan berbeda. Saya pernah mencobanya sesekali dan ah, podho wae rasane.
Minuman ini memang kopi susu. Saya sruput sedikit. Sreng! Mata jadi lumayan segar. Kopinya nendang. Tetapi sayang, Sampoerna Mild yang menemani pagi itu kurang mantap. Pada suhu sedingin puncak Bromo, seharusnya Dji Sam Soe, Djarum Super, atau GG Surya yang cocok. Hanya Mild ini stok kretek terakhir yang dimiliki para mahasiswa Indonesia di kota ini. Setidaknya alhamdulillah masih ada kretek, karena Djarum Select–rokok kretek untuk pasar Amerika–yang saya bawa dari Chicago sudah habis.
Kombinasi kretek, kopi hangat, dan udara dingin cukup mengisi waktu saya bersamaan dengan menyaksikan bangunan-bangunan di hadapan. Dari ujung ke ujung sejauh mata memandang, semuanya bercat merah muda. Karena itu kota ini dijuluki ‘Kota Merah’.
Hilir mudik kendaraan di depan semakin ramai. Anak-anak mulai berdatangan, menuju sekolah di seberang. Seragam mereka unik bagi saya, hanya jas putih. Keramaian ini menandakan sudah waktunya saya kembali ke apartemen, untuk menunaikan ibadah rutin lainnya–buang air besar.
Ngomong-ngomong, bapak pelayan di warung kopi ini namanya bukan Ahmed. Saya tidak pernah tahu namanya siapa. Kata teman saya, Sidi Nour, kalau tidak tahu nama laki-laki di Maroko ini, panggil saja dia Ahmed atau Muhammad. Maka saya ikuti saja sarannya.
Terkait kesamaan unsur nama ini, saya jadi ingat lawakan seorang pelawak tunggal muslim Amerika keturunan Arab-Kuwait, Mo Amer. Pada masa dia kecil sempat bingung waktu mendengarkan siaran langsung pertandingan sepak bola dari radio. Disangkanya yang bertanding hanya satu orang.
Penyiar radio itu dengan menggebu-gebu menggambarkan jalannya pertandingan. “Mohammed menggiring bola, Mohammed dijegal oleh Mohammed. Mohammed terjatuh tapi segera bangkit. Mohammed merebut kembali bola dari Mohammed, lalu dioper ke Mohammed. Mohammed oper lagi ke Mohammed. Mohammed umpan lambung ke depan. Mohammed menyambut, melompat tinggi, dan menyundul bola, goooolll… Allah…Allah…Allah… Mohammed mencetak gol!”
Ada 22 orang Mohammed di lapangan. Mungkin semua pemain cadangan dan official team juga bernama Mohammed.
Begitulah, hampir semua orang namanya memang ada Ahmad atau Muhammad di sini. Bapak penjaga gedung apartemen saya, namanya Ahmad. Nama saya juga ada Ahmad-nya. Mungkin kalau di Indonesia, kami bisa bikin paguyuban. Seperti paguyuban Agus Agus Bersaudara Indonesia yang sudah eksis itu. Agus Riono alias Patub Letto seharusnya termasuk jadi anggotanya.
Keesokan paginya, saya memulai hari dengan ritual ke warung kopi ini lagi. Pada hari itu saya baru tahu jika Sidi Ahmed bisa berbahasa Inggris. Kontan saya pesan kopi dengan bilang coffee with milk ke dia. Akan tetapi kali ini dia membawa kopi yang beda. Kopi susu ini dinaungi cangkir kecil bening, bukan gelas. Warnanya tidak berlapis.
Rasa kopinya tidak setegas pesanan saya sebelumnya. Saya tidak protes karena memilih untuk menikmati pengalaman berbeda ini. Sembari menyaksikan kendaraan melintas di jalan dan memperhatikan ragam tingkah laku manusia pagi kota Marrakesh. Selagi masih ada kretek, ritual pagi masih asik. Mungkin besok-besok saya akan pesan seperti kopi susu yang pertama.
***
Hari masih gelap walaupun sudah jam 8 pagi. Tiga puluh menit lagi waktu shalat subuh usai. Istri saya sudah siap-siap berangkat ke CLC (Center for Language and Culture), tempat perkuliahan mahasiswa S1 Universitas Chicago program Study Abroad diselenggarakan. Dia menjadi asisten dosen pada winter quarter ini. Saya menemaninya jalan kaki ke sana yang jaraknya dari apartemen kami tempuh dalam 15 menit. Warkop Reda tempat ngopi saya itu berada di tengah perjalanan dari apartemen kami menuju pusat bahasa tersebut.
Kami tiba di CLC sebelum waktu perkuliahan dimulai jam 9. Tugas mengantar usai, saya pun berjalan pulang. Sebelum sampai rumah, rasanya harus mampir dulu. Kali ini saya mencoba nongkrong di warkop dekat rumah–Warkop Poinsettia. Namanya sama dengan gedung apartemen saya di Chicago. Hidup saya di Chicago dan Marrakesh rupanya tidak bisa jauh-jauh dari nama bunga ini.
Itu adalah hari ketiga saya ngopi. Letak warkopnya di pojok pertigaan jalan. Bangunannya lebih kecil dari Warkop Reda. Saya memilih duduk di teras depan, tempat para penikmat tembakau bakar bercengkerama sambil menghadap jalan.
Di warkop ini saya terpaksa pesan coffee with milk juga. Bagaimana lagi, mau mencoba tunjuk kopi pesanan pengunjung lain, saya clingak-clinguk kok enggak ada orang lain pagi itu.
Pesanan saya datang tidak lama. Pelayan yang membawa kopi ini berpakaian rapi, sama seperti di Reda. Bedanya, bapak pelayan ini memakai jas hitam. Saya sangka dia yang punya warung, atau minimal manajernya. Tetapi ternyata bukan. Dandanan seperti itu memang tipikal seragam pelayan warung kopi di ‘kota baru’ Marrakesh.
Kopi susu yang datang sama dengan saat pengalaman ngopi di Reda. Kopsus yang berwadahkan cangkir, dengan rasa yang sama pula. Kali ini kopinya juga kurang strong. Saya sudah kadung jatuh cinta pada sruputan pertama kopsusnya Reda yang awal.
Ya sudah, saya nikmati kopsusnya sambil membuka hape diiringi suara pekerja bangunan di seberang. Sejak langit masih gelap, suara dentuman palu dan putaran gigi bor terdengar, diselingi percikan api las. Geliat pagi pada proses pembangunan apartemen enam lantai di belakang apartemen kami ini selalu menyambut. Dari jendela belakang kediaman, saya memperhatikan pekerja berjaket dan helm hijau muda terang sudah semangat dalam shina’ah.
Melalui ponsel pintar di tangan, saya coba ikhtiar tanya ke mbah sakti perihal perkopisusuan ini. Akhir-akhir ini ternyata mbah Google sudah tidak sakti lagi. Aji-ajinya sudah lemah. Sebelumnya, opa Yahoo! dan kakek Bing sudah kalah aji duluan. Kini yang paling sakti adalah eyang ChatGPT. Saya tanyakan ke beliau apa istilah kopi susu kalau kita hendak memesannya di warkop di seantero Maroko.
Eyang menjawab, sebutannya Nous Nous, mas Ahmad. Hmmm, bahasa apa ini. Perancis bukan, Arab apalagi. Dalam daftar menu di warkop, untuk kopi susu pasti ditulis Cafe Au Lait. Saya paham, itu istilah Perancis. Sedangkan dalam bahasa Arab, saya ingat bahwa kopi itu disebut qahwah dan susu itu laban. Kedua istilah Arab ini tidak muncul sama sekali dalam menu. Bikin pusing. Apalagi saya pernah kecelik saat beli susu di supermarket. Pada kemasan tertulis laban, pas diminum ternyata isinya yogurt. Saya baru tahu kemudian kalau di sini, susu segar itu istilahnya halib. Huh!
Lantas saya pun menduga pasti Nous Nous ini bahasa Darija. Saya konfirmasikan ke eyang ChatGPT dan dugaan saya pun benar. Artinya adalah “setengah-setengah”. Ternyata, maksudnya itu setengah kopi dan setengah susu. Ealah.
Tampaknya asal istilah ‘setengah-setengah’ dalam bahasa Darija berasal dari bahasa Arab–nishf. Mungkin dialek Amazigh membentuknya menjadi nous. Ini agak mirip prosesnya tetapi berbeda asalnya, seperti yang terjadi pada istilah korek gas yang mereka sebut brika itu. Ia berasal dari briquet dalam bahasa Perancis.
Okelah. Apapun penyebutannya dan bagaimana sejarahnya, yang penting kini saya sudah tahu setiap ke warkop manapun, saya akan pesan kopi Nous Nous.
Kopi Nous Nous tidak ada dalam daftar menu di warkop manapun. Itu hanya istilah lisan masyarakat Maroko. Ia juga tidak ada dalam menu Cafe Oualili tempat Cak Fuad dan pakde-pakde Gamelan KiaiKanjeng ngopi sepuluh tahun lalu. Mereka singgah sejenak di warkop di kota Meknes ini, untuk melepas penat dalam perjalanan dari Rabat menuju Ifrane. Dari foto-fotonya di kabar ini, mas Doni ketoke kurang puas dengan kopi hitamnya yang sak uprit di gelas kecil.
Mampir nyruput kopi dan ngudud pada sebuah perjalanan darat menuju kota tujuan Maiyahan sudah menjadi kelaziman bagi warga KiaiKanjeng. Pak Bobiet biasanya urusan terdepan dalam hal ini. Pun juga dengan almarhum Pak Is ketika itu. Seperti saat ada undangan ke Bandung, rombongan akan menyusuri pantai selatan Jawa dari Yogya. Mampir ngopi ke Warung Uncluk di Ciamis sudah menjadi “rukun wajib” yang menentukan sah tidaknya perjalanan. Apalagi warung ini sudah disambangi KiaiKanjeng sejak 1997.
Ngopi tidak hanya berlaku dalam perjalanan, hukumnya pun wajib ada saat di panggung. Tetapi panitia pengundang tidak perlu khawatir dan repot, karena mas Awik sudah siaga di belakang untuk menyuplai kopi hitam panas ke Mbah Nun dan pakde-pakde KiaiKanjeng.
Kalau sedang tidak ingin nyruput kopi, biasanya saya pesan teh ke mas Awik. Teh Nasgithel–panas, legi, kenthel di gelas plastik. Stok kopi, teh, dan gula tersedia dengan cukup dan selalu menyertai mobil kru ke pelosok-pelosok, lengkap dengan pemanas airnya. Mungkin ke depan stoknya perlu ditambah susu, supaya besok-besok juga bisa pesan kopi Nous Nous.[]
Marrakesh, 12 Februari 2023