METRUK
(Mukaddimah Maiyah Kalijagan Demak, 2 Desember 2022)
Kita posisikan sebagai apakah wayang, hasil budi leluhur kita yang adilihung itu? Ada yang menganggap bahwa wayang itu cerminan kehidupan kita. Pembuat cerita melihat pola cerita hidup manusia mulai dari konflik, perdamaian, pertikaian, asmara, dan digubah menjadi pertunjukan. Dari situ kita bisa bercermin dari wayang sebagai sebuah ilmu, pengalaman dari masa sebelumnya agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama. Dari jabaran inilah wayang kemudian disebut sebagai pitutur atau nasihat bagi manusia untuk berbuat baik.
Selain itu, ada juga yang menyebut wayang sebagai tuntunan. Tuntunan adalah sebentuk peta, sekaligus tongkat yang mengarahkan manusia menuju ke jalan yang ingin dituju. Jika orang mau menuju ke satu tempat tuntunannya adalah google map. Jika orang ingin menuju ke arah jalan yang baik, jalannya Tuhan maka bisa pada wayanglah manusia bisa mendapatkan jalan. Kok posisi wayang tinggi sekali seperti Al-Quran? Oleh Wali Sembilan beberapa naskah wayang memang digubah sehingga isinya Qurani.
Lalu ada pernyataan wayang itu tuntunan sekaligus tontonan. Pernyataan tersebut perlu dipertanyakan ulang karena seolah kadar atau bobot antara tuntunan dan tontonan itu sama. Efeknya pada sebuah pementasan itu terkadang tuntunan terkubur oleh tontonan. Tontonan mensyaratkan menghibur. Padahal seharusnya tontonan adalah salah satu media bagi tuntunan, posisinya tidak sejajar tetapi menunjang, prasyarat, pelengkap.
Petruk ada dalam posisi ini. Petruk adalah sosok cerdas karena ia sebenarnya adalah jelmaan seorang raja yang memiliki banyak senjata. Petruk juga dikenal sebagai Kantongbolong sebagai perwujudan dermawan dan suka bersedekah. Dunia wayang oleh beberapa dalang memandang dunia dari sudut pandang tokoh petruk ini karena beberapa dalang merepresentasikan dirinya melalui tokoh petruk ini. Dari sinilah muncul istilah metruk. Dari dalang membawakan petruk inilah nanti terlihat sebuah pementasan akan mengarah pada tuntunan atau tontonan?
Petruk memiliki karakter kritis, ia berani mengingatkan bendoronya, tentu saja dengan cara yang tidak menyakiti. Petruk hadir membawa suara kaum bawah, ia menunjukkan realitas yang terjadi di bawah yang luput dari penglihatan yang berkuasa. Dari pertunjukan ini maka kita dapat melihat bahwa sesungguhnya tugas raja adalah untuk mensejahterakan rakyatnya, peran petruk dan juga punakawan yang lain adalah mengingatkan kalau aturan main itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun pada masa Orde Baru dulu ada satu tayangan punakawan yang kehadirannya tidak menyurakan suara rakyat bawah kepada rajanya dan justru terbalik menyuarakan suara pemerintah kepada rakyatnya.
Ada yang mengatakan bawa Petruk berasal dari kata fatruk berasal dari makna tasawuf ‘Fat-rukkulla maa siwallahi’, artinya, tinggalkan semuanya kecuali Allah. Mungkin tepatnya, hanya melakukan yang diperintah oleh Allah dan meninggalkan kehendak-kehendak pribadi, kehendak kita sama dengan kehendak Allah. “Maiyah sekali kamu, Truk!” (Redaksi Maiyah Kalijagan)