MEGATRUH, LUKISAN TERAKHIR MBAH HADI

Banyumas kembali kehilangan putra terbaiknya. Bapak Hadiwijaya, S.Pd atau yang kerap disapa Mbah Hadi, telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya, pada Sabtu 29 Oktober 2022.

Karya lukis terakhir Beliau berjudul “Megatruh”. Megat dari kata pegat atau berpisah, meyiratkan fase hidup di mana ruh bersiap berpisah dengan raganya. Megatruh adalah juga urutan ke-10 di dalam tembang Macapat yang jumlahnya ada 11. Fase megatruh menurut faslafah Jawa bermakna “mbucalke sing sarwa ala” (membuang apa yang sifatnya jelek).

Setelah menyelesaikan lukisan terakhir tersebut, beliau sedianya ingin lebih menyempurnakan lagi. Namun, karena kondisi kesehatan yang memburuk, keinginan tersebut urung terlaksana. Beliau harus dirawat di ICU. Pihak keluarga menyampaikan, selama 11 hari lamanya Mbah Hadi dirawat di ICU.

Di antara yang menjenguk pertama kali, tidak lain dan tidak bukan adalah sahabat beliau, Abah Titut. Dua orang karib yang kebersamaannya banyak terabadikan di rekaman Maiyahan Juguran Syafaat. Bahkan sejak edisi awal-awal Simpul Maiyah Banyumas Raya ini berdiri dahulu. Mbah Hadi dan Abah Titut juga kerap bersama-sama di dalam berbagai pentas kesenian. Saat dijenguk di ruang ICU tersebut, komunikasi sebatas saling melambaikan tangan dan mengacungkan ibu jari.

Kemudian, di hari terakhir, beliau sempat keluar dari ICU. Salah satu yang menjenguk di kesempatan terakhir tersebut adalah seniman pelukis paling sepuh di Banyumas, eyang putrinya pelukis-pelukis Banyumas, yakni Eyang Jati. Itu menjadi kesempatan terakhir berbincang dari dua pelukis senior Banyumas.

Hingga kondisi kemudian menurun, dan beliau menghembuskan nafas terakhir di waktu maghrib dengan ditemani putri kesayangannya. Almarhum berpulang dengan meninggalkan seorang istri, tiga anak, dan enam cucu. Pemakamannya dihadiri oleh warga masyarakat sekitar, pejabat Pemkab Banyumas, sivitas akademika SMA 4 Purwokerto, Ikatan Pelukis Banyumas (IPB), Jamaah Maiyah Juguran Syafaat dan para petakziah dari lintas komunitas seni dan budaya di Kabupaten Banyumas.

Mbah Hadi adalah juga salah seorang pinisepuh di Komunitas Sanggar Bambu, Yogyakarta. Mengenang tutur nasihat beliau di forum Maiyahan, Mbah Hadi kerap bercerita bagaimana beliau menjadi saksi bahwa Maiyah adalah bentuk konsistensi Mbah Nun sejak era Malioboro. Persentuhan awal dengan Mbah Nun Muda sudah diawali sejak era Malioboro. Kalau Mbah Nun di komunitas sastra, Mbah Hadi di komunitas pelukis yakni Komunitas Sanggar Bambu.

Ajang apresiasi karya Beliau yang terbesar di antaranya adalah pada tahun 2013 digelar Pemeran Lukis “Blencong mBanyumas” di Taman Budaya Tembi, Yogyakarta. Yakni pameran lukis dua orang perupa, Mbah Hadi dari Banyumas dan Daryono Yunani dari Cilacap.

Beliau yang lahir di desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas ini kerap menuturkan bagaimana transformasi lukis dari masa ke masa. Sejak era Belanda di mana lukisan sebagai solusi penyajian citra visual ketika kamera masih mahal dan begitu niche. Hingga hari ini peran, fungsi, dan apresiasi terhadap lukisan sudah demikian beragam. Sungguh masih begitu banyak ilmu, pengalaman dan filosofi kehidupan yang belum sempat ditimba dari beliau. 

Hingga menjelang penghujung usia, beliau memberikan keteladanan tentang semangat yang tak pernah kendur. Pameran terakhir yang diikuti beliau adalah pemeran lukis di GOR IT Telkom Purwokerto di akhir September lalu. Beliau membawa karya lukis bertemakan penghijauan. Mbah Hadi dikenal sebagai pelukis aliran ekspresionis. Sealiran yang sama dengan Affandi yang termahsyur itu. Kini tantangan bagi pelukis-pelukis muda Banyumas Raya untuk mengestafeti kiprah dan produktivitas beliau.

Sugeng Tindak Mbah Hadi. Memparipurnakan hidup pada fase Mocopat yang pamungkas, yakni Pocung, setelah tuntas bebersih dan bersiap diri menuntaskan Megatruh. Amal Jariyah terus mengalir untuk Mbah Hadi dari istiqomahnya Maiyahan Juguran Syafaat hingga nanti kelak.

Aamiin, aamiin, Insyaallah.

Lihat juga

Back to top button