CARA FAUZI DAMAR KEDHATON GRESIK NGURI-URI BUDAYA JAWA

Melestarikan kebudayaan adalah kebutuhan masyarakat berkaitan dengan khasanah dan identitas yang dimilikinya agar tidak hilang atau punah, dan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam hal budaya Jawa, sahabat kita Mas Fauzi, salah seorang perintis dan penggiat Simpul Maiyah Damar Kedhaton Gresik Jawa Timur punya caranya sendiri. Sudah satu tahun lebih ini dia menggeluti aktivitas sebagai MC atau pembawa acara berbahasa Jawa untuk acara mantenan.

Tetapi, Mas Fauzi, yang bernama lengkap Ahmad Irham Fauzi, bukan sedang alih profesi misal karena dampak pandemi Covid-19. Sehari-hari Ia bekerja sebagai PNS di Pemprov Jatim. Karena itu, permintaan untuk ngemsi ini hanya dia terima bila acaranya berlangsung di akhir pekan alias weekend

Satu-satunya tugas menjadi MC yang dia terima di hari kerja adalah saat Bu Sofi Pojok Ilmu/Bangbang Wetan menikahkan putrinya, Mbak Aisyah, dengan Mas Alay Wahyu Nugroho Progress Kadipiro. Waktu itu Ia memberanikan diri minta izin kepada pimpinannya, terlebih sang pimpinan, yang ternyata masih famili dengan salah satu senior BBW, juga mengerti kalau Mas Fauzi adalah Jamaah Maiyah. ”Niki ibarate Mbah Nun yang sedang punya hajat, Pak,” begitu Mas Fauzi menyampaikan dan izin pun segera diberikan. 

Menjadi MC bahasa Jawa inilah yang oleh Mas Fauzi diniati secara mulia sebagai cara dia ndherek uri-uri budaya Jawa, apalagi dia memang menyukai bahasa Jawa. “Efek sampingnya adalah dapat fee untuk beli rokok hehe,” katanya. 

Awal mulanya, pada Februari 2021 Ia ikut Pawiyatan atau kursus MC Manten Adat Jawa selama 6 bulan. Melalui kursus inilah, Ia mendalami ilmu MC bahasa Jawa. Perbedaan utama antara MC Manten Adat Jawa (Pranatacara) dengan MC manten modern atau MC lainnya adalah Pranatacara wajib menguasai skill “nyandra”, yakni menarasikan prosesi adat dengan bahasa Jawa Kawi, bahasa yang biasa dipakai dalang wayang kulit. 

Ketika tahap awal mempelajari teks nyandra, Ia merasa perlu menerjemahkan kata-kata Bahasa Kawi agar bisa memahami dan menghayati makna, tidak sekadar menghapal. Proses penerjemahan dia tempuh dengan mengakses internet. Karena minimnya literatur kamus Jawa Kawi – Jawa, apalagi Jawa Kawi – Indonesia, maka sempat dia mencari terjemahan kata-kata Bahasa Kawi itu ke Bahasa Inggris/Belanda dulu, baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.

Begitulah, sejak belajar MC bahasa Jawa, dia segera sering mendapat undangan untuk menjadi MC acara mantenan adat Jawa. Bahkan baru sebulan kursus, dia sudah mendapat tantangan untuk terjun ke lapangan oleh Dwija (pengajar). Terus bergulir hingga saat ini. Pernah suatu ketika ada Wedding Organizer memintanya untuk nge-MC di Dawarblandong (Mojokerto utara). Si tuan rumah menerima tamu dengan memakai peci Maiyah. 

Mas Fauzi menggoda, “Pecine apik Pak, seneng Maiyahan ta (Pecinya bagus, Pak, sering Maiyahan ya)?”

“Kadang-kadang mawon, Mas,” jawabnya merendah.

Kemudian Mas Fauzi mengajaknya ngobrol dan akhirnya ketahuan bahwa beliau tuan rumah adalah Jamaah Maiyah lama, dan termasuk penggiat Paseban Mojopahit juga. Mas Fauzi bersyukur, karena dapat nyambung dulur sesama Jamaah Maiyah. 

Mas Fauzi bercerita saat pertama kali masuk kelas Pawiyatan, sesi briefing awal dan mengisi biodata, dia menangis, baru tersadar karena teringat bahwa almarhumah ibunya dulu pernah menjalani profesi sebagai perias manten (saat Mas Fauzi masih SMP), dan pernah menyampaikan harapannya, “Gak kepingin dadi kaya’ wong iku ta (Apa nggak ingin jadi seperti orang itu?,” kata Ibunya sambil menunjuk Pranatacara kenamaan di Mojokerto pada waktu itu. 

Dari ingatan itu, serta dari niat mulia untuk ikut melestarikan budaya Jawa inilah, Mas Fauzi sadar akan fadhilah dan panggilan hidup yang telah dikatakan sang Ibu di atas yang diyakininya sebagai amanat sejarah. “Sejauh-jauhnya kakiku melanglang buana, tidak bisa berlepas dari mandat sejarah: sekitar terop, Mas,” katanya. 

Berkaitan dengan makin lancarnya Mas Fauzi dalam nge-MC bahasa Jawa, dia mengatakan, “Nah yang acara pernikahan Mas Alay waktu itu, tidak ada sesi acara adat Panggih Manten. Sehingga saya tidak berkesempatan memamerkan kemampuan saya dalam “nyandra” acara panggih dengan berbahasa Jawa Kawi di hadapan para tamu agung dari Jogja…hehe…”

Sudah, sudah. 

Semoga makin lancar dan laris permintaan nge-MC-nya…, dan budaya berbahasa Jawa di masyarakat Jawa makin banyak yang ikut menjaganya. []

Lihat juga

Back to top button