MAKNA KAFFAH MENURUT MBAH NUN
Dalam Majelis Ilmu Mocopat Syafaat 17 Oktober 2022, Mbah Nun mengajak para jamaah menyelami semesta makna kata ’kaffah’. Kata kaffah ini termaktub di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 208.
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ کَآ فَّةً ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـکُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”
Berkaitan dengan terjemahan di atas, kita telah menyimak dalam banyak Sinau Bareng bahwa dalam menerjemahkan ayat ini, Mbah Nun memiliki penerjemahan yang berbeda pada kata silmi dalam ayat tersebut, di mana menurut Mbah Nun silmi dalam ayat ini lebih tepat diterjemahkan sebagai ‘silmi’ saja dan bukan Islam, sebab implikasi aksentuasi maknanya cukup berbeda antara silmi dengan Islam.
Baca di antaranya: Silmi Untuk Keadaan Bernegara
Terlebih dalam pelaksanaan penghayatannya tidak sedikit di antara kita, golongan atau kelompok, yang kemudian menjadikan ayat ini untuk mendorong dan menegas-negaskan orang agar mencapai kesempurnaan dalam beragama Islam, tetapi Islam yang dimaksud bersifat formal, sering kali secara “ideologis” subjektif menurut standar yang ditentukan kelompok tersebut, atau juga dalam arti politik identitas. Repotnya pula, dalam arah penafsiran yang demikian kita diam-diam punya prasangka untuk mudah menilai orang lain sepertinya belum atau kurang sempurna atau kaffah Islamnya. Kita gatal untuk menilai-nilai keberagamaan seseorang.
Sementara itu, dalam Mocopat Syafaat Oktober 2022 kemarin kita mendapatkan pemahaman yang baru di mana Arah penafsiran Mbah Nun terhadap ayat ini lebih kepada sifat mindset, cara berpikir dan cara melihat realitas secara fis silmi kaffah. Menurut Mbah Nun silmi merupakan salah satu kandungan nilai dan hakikat ajaran Islam di mana Islam mengajarkan bahwa tak ada sesuatu dalam realitas alam dan kehidupan yang tidak gathuk (terkait) satu sama lain. Itulah sebabnya tauhid bermakna mengintegrasikan atau meng-gathuk-kan segala sesuatu dalam satu cara pandang utuh.
Sejalan dengan pemaknaan yang demikian, maka menurut Mbah Nun kaffah lebih tepat diartikan sebagai ‘secara menyeluruh’. Ini sangat beliau tekankan, sebab di sisi lain, cara berpikir Barat yang mengitari kita selama ini mendorong kita menjadikan segala sesuatu dilembagakan menjadi atau berhenti sebagai ‘bagian’. Padahal realitas bersifat gathuk, silmi, tauhid, menyeluruh. Ini tidak berarti bidang tidak penting atau tidak boleh, tetapi harus bersifat dinamis.
Apa yang dimaksud dengan dinamis? Mbah Nun menjelaskan bahwa dinamis adalah “Ojo ndelok ngarep tanpa eling mburi. Ojo ndelok mburi tanpa eling ngarep. (Jangan melihat depan tanpa ingat belakang. Jangan melihat belakang tanpa ingat depan). Semua sisi yang jumlahnya tak terbatas harus diingat. Dalam keadaan apapun Anda harus thawaf (melingkar).” Itulah cara berpikir yang Mbah Nun menyebutnya sebagai dinamika pandang. Itulah arti kaffah.
Dengan kata lain, fis silmi kaffah perlu dipahami dalam satu tarikan napas. Ayat ini mengingatkan bahwa karena realitas bersifat utuh, saling terkait sisi dan bagian-bagiannya, maka cara kita melihatnya juga harus utuh, tak boleh dipecah-pecah. Realitas yang hakikatnya bersifat silmi harus dilihat secara kaffah atau melingkar, agar keseluruhan dan keutuhannya bisa tertangkap oleh kita.
Demikianlah maka dalam Mocopat Syafaat malam itu, Mbah Nun mengatakan, “Hidup itu silmun/silmi. Puncaknya adalah thawaf. Urip ombo banget (hidup itu begitu luas). Ruwet tidak karu-karuan (Kompleks sedemikian rupa). Maka kalau kita mau menyelami suatu hal saja, kita akan ketemu kelengkapan silmiyah.”