RESESI EKONOMI DAN JANJI ALLAH TAK AKAN BIARKAN MAKHLUK-NYA KELAPARAN

(Liputan Majelis Ilmu Kenduri Cinta Jakarta edisi Oktober 2022)

Jakarta, 21 Oktober 2022. Kenduri Cinta edisi Oktober dihelat di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Seperti biasanya, sejak sore hari penggiat Kenduri Cinta sudah berada di lokasi Maiyahan untuk mempersiapkan keperluan teknis Maiyahan rutin di Jakarta ini. Setelah tenda dan panggung yang mungil itu tertata rapi, dilanjutkan dengan penataan sound system, kemudian pemasangan backdrop hingga karpet-karpet digelar sebagai alas duduk jamaah. Menjelang maghrib, seluruh persiapan teknis sudah selesai. Tampak beberapa jamaah sudah datang sejak sore di lokasi. Setelah Maghrib, mereka mulai menempati alas duduk yang sudah digelar, memilih posisi duduk terbaik menurut mereka.

Selepas Isya’, beberapa penggiat Kenduri Cinta naik ke panggung untuk membaca Surat Yasin dan beberapa sholawat dan munajat. Setelah itu, sesi diskusi awal Mukadimah pun dibuka. Adi Pudjo, salah satu penggiat Kenduri Cinta yang sangat awet, karena memang ia satu-satunya penggiat yang sejak awal berdirinya Kenduri Cinta masih konsisten untuk terus menemani penggiat Kenduri Cinta yang muda. Malam itu Adi Pudjo membuka diskusi Mukadimah dengan sebuah pantikan; “Renjana Nasionalisme, atau Ghirroh Nasionalisme ini untuk kejayaan bangsa ataukah hanya untuk syahwat semata? Mengingat kita sudah memasuki tahun-tahun politik untuk mempersiapkan pesta politik 2024.”

Memang bukan hal yang aneh lagi, suasana politik di Indonesia ini sejak tahun 2012 sampai hari ini tidak pernah surut. Gejolak demi gejolak yang muncul semakin terasa membuat kita sebagai masyarakat terpolarisasi. Seharusnya, kita sebagai masyarakat semakin peka dan semakin kuat pula filter informasinya, sehingga tidak terjadi lagi polarisasi yang sudah terbukti telah memecah belah bangsa ini.

Amien Subhan lalu menambahkan bahwa dulu sebelum merdeka, seluruh elemen bangsa ini bersatu karena ada musuh bersama. Yang terjadi sekarang, setelah 70 tahun lebih kita merdeka, justru kita berperang melawan bangsa kita sendiri. “Karena saat ini kita sudah tidak punya lagi musuh bersama,” lanjut Amien.

Dulu, kita terjajah oleh bangsa lain. Setelah merdeka, kita justru melawan penjajah yang berasal dari bangsa kita sendiri. Orde Baru yang dilengserkan tahun 1998 dengan tujuan merobohkan tradisi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, nyatanya sampai hari ini praktek KKN itu tidak benar-benar bersih, justru semakin liar dan semakin berani. Adanya lembaga anti rasuah bernama KPK pun nyatanya tidak membuat para pelaku korupsi jera, selalu saja mereka menemukan celah untuk melakukan praktik korupsi.

Mengisi jeda sesi pertama, anak-anak dari seniman teater pesisir menampilkan sebuah naskah mini teater yang mengangkat tema-tema tentang keadaan sosial budaya masyarakat. Anak-anak kecil yang dibina oleh Presiden Trotoar itu menyampaikan pesan yang jelas tentang ketidakberpihakannya penguasa kepada rakyat kecil di negara ini. Sejalan tema Kenduri Cinta, mereka mempertanyakan seberapa besar komitmen penguasa untuk berjuang demi kesejahteraan rakyat melalui naskah teater yang ditampilkan.

Di tengah penampilan anak-anak itu, Mbah Nun tiba di Taman Ismail Marzuki. Sejenak duduk di belakang panggung menikmati teh panas. Mbah Nun memilih untuk tidak buru-buru naik ke panggung, ingin menikmati forum terlebih dahulu, duduk di sayap panggung, bersama jamaah. Sementara itu, Fahmi dan Tri Mulyana melanjutkan diskusi, memasuki sesi kedua.

Tri Mulyana sedikit memberikan gambaran tentang ancaman resesi ekonomi yang akan dihadapi dunia secara global di tahun 2023. “Problem utamanya adalah supply chain yang akan terhambat karena beberapa hal”, kata Tri. Ia menjelaskan bahwa serangkaian peristiwa yang terjadi di dunia belakangan ini, seperti perang Rusia-Ukraina, memberi dampak sangat signifikan terhadap kondisi ekonomi global. Terbaru, mundurnya Perdana Menteri Inggris yang baru menjabat selama 45 hari karena kebijakan ekonominya tidak berhasil membuat keadaan menjadi lebih baik di Inggris. Sayangnya, budaya mengundurkan diri itu tidak kita temui di Indonesia.

Secara global, disruption supply chain akan berdampak secara global. Terutama untuk persoalan minyak bumi, jika suplainya terkendala, maka akan sangat berdampak ke semua bidang. Seperti biasa, jika harga minyak bumi bergejolak, maka akan berdampak pada barang-barang kebutuhan lainnya yang memang diperlukan oleh masyarakat.

“Yang paling penting kita persiapkan adalah pondasi yang ada dalam diri kita masing-masing,” Fahmi menyambung penjelasan Tri Mulyana. Pada masa pandemi kemarin, setidaknya kita sudah membuktikan diri mampu bertahan hidup. Itu yang harus kita syukuri. Tantangannya di tahun 2023 kaitannya dengan resesi ekonomi yang dijelaskan sebelumnya, Fahmi mengulangi apa yang dipesankan Mbah Nun bahwa yang lebih bahaya dari krisis ekonomi yang akan kita hadapi adalah situasi di mana kita memiliki uang tetapi tidak tersedia barang yang kita butuhkan untuk kita beli.

Baca juga: Lima Pesan Mbah Nun dari Wonosalam Menghadapi Krisis Ekonomi Tahun Depan

Pada akhirnya, sebagai rakyat memang kita tidak benar-benar bisa mengharapkan kehadiran Negara saat ancaman resesi datang. Normalnya, ketika Negara menyadari bahwa resesi akan datang, maka disusunlah strategi evakuasinya. Misalnya, di bidang pertanian digenjot produksi makanan pokok, lahan-lahan pertanian ditingkatkan produksinya, begitu juga di bidang peternakan, perkebunan, dan lain sebagainya. Sehingga ketika resesi benar-benar datang, Negara sudah siap melindungi rakyatnya. Nyatanya, kita tidak melihat tanda-tanda itu, justru yang kita lihat adalah hasrat pembangunan infrastruktur di Ibu Kota Nusantara yang terus berjalan. Padahal, resesi ekonomi adalah sesuatu yang bisa diprediksi kapan datang dan bagaimana proses evakuasinya.

Mbah Nun sering menyampaikan bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang tangguh, karena begitu kuat daya tahan hidupnya dan sanggup berjuang untuk terus melanjutkan hidup, tanpa sedikit pun merasa aman karena ada perlindungan dari Negara. Namun, ini juga ibarat pisau bermata dua, pada saat bersamaan Negara merasa aman juga karena memiliki rakyat yang tangguh dan merasa akan melewati kondisi apapun dengan perasaan yang baik-baik saja, karena memiliki rakyat yang tangguh.

Ada pemikiran yang seharusnya tidak wajar menjadi sesuatu yang wajar. Fahmi kemudian memberi satu contoh, bagaimana Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 juga menjadi bukti bahwa Negara tidak benar-benar memiliki pijakan logika yang berpihak kepada rakyat. Respons pertama yang muncul dari Negara saat tragedi Kanjuruhan terjadi adalah kekhawatiran soal sanksi FIFA dan dicabutnya kesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023 mendatang. Bukankah seharusnya Negara berpihak kepada rakyat dan menjadi orang tua bagi rakyatnya yang pada peristiwa di Kanjuruhan itu menjadi korban dari sebuah sistem yang tidak dikelola dengan baik.

“Manusia ini terjebak dengan pencapaiannya sendiri,” Pramono melanjutkan paparan sebelumnya. Bahwa pencapaian teknologi yang sudah berhasil dicapai manusia seperti Artificial Intteligence, big data, algoritma dan lain sebagainya itu nyatanya tidak mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia itu sendiri. Karena, pada faktanya, masalah yang datang justru lebih cepat dari kesiapan teknologi yang sudah ada.

Ali Hasbullah kemudian menambahkan, artificial intelligence saat ini memang mengungguli manusia tetapi hanya pada bidang-bidang tertentu dan spesifik saja. Yang dikhawatirkan adalah jika suatu hari nanti artificial intelligence ini sudah mampu tumbuh dengan alami, sehingga dia bisa memperbaharui dirinya sendiri. Sementara, komputer hari ini kecerdasannya akan menyesuaikan dengan hardware yang terpasang, akan ada limit di mana sebuah software tidak bisa di-install di sebuah komputer karena hardwarenya tidak memenuhi kualifikasi standarnya.

Namun demikian, Ali mengingatkan bahwa ada banyak hal yang jangkauannya terlau jauh dari apa yang mampu kita jangkau, yang terkadang justru membuat kita terlalu serius memikirkan hal itu, kemudian kita overthinking yang berujung pada situasi stres dalam diri kita. Maka, Ali mengajak untuk tidak terlalu dalam memikirkan hal-hal yang jauh dari jangkauan kita, dan lebih peka terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita.

Beberapa jamaah lalu merespons dari banyak hal yang sudah disampaikan. Mbah Nun pun kemudian turut merespons. “Sangat banyak yang sudah saya tangkap dari teman-teman semua yang tadi disampaikan”, Mbah Nun mengawali. Begitu banyak hal yang sudah dibicarakan, tetapi menurut Mbah Nun apa yang dibicarakan sebelumnya seperti lautan sampah. Bukan berarti tidak penting, tetapi Mbah Nun mengajak jamaah yang hadir malam itu untuk menemukan prioritas dari setiap hal yang kita hadapi.

RENJANA NASIONALISME DAN NASIONALISME MUHAMMAD

“Jadi kita itu seperti hidup di sebuah alun-alun yang sangat luas, yang dipenuhi oleh sampah, dan kita mengkritisi setiap lembaran sampah yang berserakan itu. Sebenarnya Anda tidak perlu mengurusi sampah di seluruh dunia, yang penting Anda membuang sampah dari dirimu sendiri,” lanjut Mbah Nun.

Mbah Nun kemudian menyampaikan bahwa kita sebagai manusia dalam menghadapi sampah-sampah peradaban ini harus berusaha memastikan dan memantaskan diri menjadi orang yang sholeh. Kembali, Mbah Nun menjelaskan bahwa sholeh itu bukan hanya baik, bukan hanya benar, bukan hanya bijaksana. Tetapi, sholeh itu adalah satu tingkatan manusia yang mencakup semua nilai-nilai kesejatian dari manusia itu sendiri. “Sholeh itu adalah orang yang punya kecenderungan naluriah atau kesadaran untuk memperbaiki hidupnya terus-menerus. Sholeh itu adalah orang yang selalu melakukan islah, perbaikan dalam hal apa saja,” Mbah Nun menambahkan.

Mbah Nun lalu melanjutkan, di Maiyah kita sudah pernah mempelajari sudut pandang, jarak pandang, sisi pandang, bulatan pandang, lingkaran pandang. “Malam ini kita menemukan dialektika pandang dan dinamika pandang, bahkan ada keseimbangan pandang. Jadi seluruhnya harus sampai pada titik yang esensial yaitu keseimbangan pandang, jadi jangan sampai kita tidak adil pada salah satu sisi pandang saja,” lanjut Mbah Nun. 

Ditambahkan oleh Mbah Nun, bahwa tidak masalah juga kalau kita overthinking memikirkan hal-hal yang jauh dari jangkauan kita, asalkan kita dapat memastikan bahwa hidup kita tenteram. Jangan sampai dengan memikirkan masalah-masalah yang di luar jangkauan kita itu kemudian membuat kita tidak tenang hidupnya. “Anda tidak mampu memperbaiki itu semua, tetapi Anda bisa menciptakan perdamaian dalam dirimu atas itu semua. Dan Anda harus menemukan keseimbangan pandang di dalam dirimu,” tegas Mbah Nun.

Ada hal yang lebih mendasar yang malam itu ditegaskan kembali oleh Mbah Nun mengenai Islam itu sendiri. Disampaikan oleh Mbah Nun, Islam itu hadir bukan untuk golongan-golongan, melainkan untuk ummat manusia. Begitu juga Rasulullah Saw., beliau diutus untuk memperbaiki akhlak manusia, bukan hanya untuk umat muslim saja. Hakikat Islam itu sejatinya memang untuk seluruh ummat manusia. Bodohnya kita hari ini yang menjadikan Islam sebagai entitas suatu golongan, sehingga kita sering menyebut diri kita sebagai golongan muslimin. Sehingga kita juga yang kemudian mengkotak-kotakkan diri kita yang secara tidak langsung kita menjadikan diri kita eksklusif, padahal sejatinya Islam itu sangat inklusif. Parahnya, pengkotakan-pengkotakan itu juga terjadi di wilayah internal Islam sendiri.

Maiyah hadir sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan Islam pada kesejatiannya. Satu contoh kecil disampaikan Mbah Nun bahwa di Maiyahan tidak ada diskriminasi misalnya antara perempuan yang berjilbab dan yang tidak berjilbab. Juga tidak ada pengkotakan antara laki-laki dan perempuan. Karena Maiyah ingin menyentuh sesuatu hal yang lebih mendasar, yaitu manusianya itu sendiri. Di Maiyah tidak ada problem tentang jenis kelamin, karena itu adalah urusan di kamar masing-masing. 

“Di Maiyah itu nomor satu Anda beriman,” Mbah Nun menegaskan. Selama ini kita mengenal Islam sebagai syariat, tanpa menyertakan hakikat dan thoriqot, maka kita tidak akan pernah sampai kepada ma’rifat. 4 hal itu seharusnya adalah satu kesatuan, bukan parsial. Tetapi faktanya kita memisah-misahkan 4 hal itu, sehingga kemudian muncul golongan-golongannya sendiri. 

“Nasionalisme itu hanyalah bahasa administratif untuk menyatakan persatuan ummat manusia. Apakah kalau Anda memiliki Renjana Nasionalisme yang kuat terhadap Indonesia, lalu Anda menemukan orang Malaysia kecelakaan di jalan tidak Anda tolong? Tentu akan tetap Anda tolong. Itu namanya Nasionalisme Muhammad,” Mbah Nun menambahkan.

Malam itu di Kenduri Cinta, Mbah Nun mbeber penjelasan bahwa Nasionalisme bukan hanya sebagai jargon saja, tetapi benar-benar hakikat dari Nasionalisme adalah munculnya kemanusiaan yang luhur dan sejati dari diri manusia itu sendiri. Nasionalisme bukan hanya sekadar simbol atau jargon saja, melainkan  perilaku yang terpancar dari diri manusia yang luhur. Bahwa manusia untuk menolomg manusia yang lainnya tidak memerlukan hukum atau undang-undang, karena sejatinya manusia adalah yang selalu peduli dengan manusia yang lainnya.

Di tengah-tengah diskusi, hujan gerimis membasahi Taman Ismail Marzuki, jamaah kemudian merapatkan shaf, mendekat ke panggung, berteduh di bawah tenda, sebagian yang lain berteduh di gedung-gedung Taman Ismail Marzuki. Mbah Nun mengajak jamaah untuk melantunkan “Hasbunallah”. Hujan di Maiyah dimaknai sebagai berkah karena hujan  merupakan rahmat dari Allah. Nyatanya, meskipun turun hujan saat Maiyahan, tidak lantas kemudian membuat jamaah memutuskan untuk meninggalkan forum, tetapi mereka memilih untuk bertahan.

Mbah Nun kemudian melanjutkan bahwa kita semua sebagai manusia tidak memiliki kewajiban untuk menyelesaikan masalah-masalah yang di luar jangkauan kita. Misalnya mengenai resesi ekonomi, kita sebagai manusia biasa sama sekali tidak memiliki kewajiban untuk mengatasinya. Laa yukallifullaha nafsan illa wus’ahaa. Mbah Nun berpesan, yang harus kita lakukan harus proporsional sesuai kadar kita masing-masing. “Yang Anda bisa lakukan, jangan tidak Anda lakukan. Yang sudah waktunya melakukan dan mampu melakukan, jangan ditunda. Pokoknya, Anda ukur dirimu, sehingga kesholehanmu akan berkembang terus-menerus, ” Mbah Nun menekankan.

Kenduri Cinta malam itu dipuncaki oleh Mbah Nun dengan sebuah pesan bahwa untuk menghadapi resesi ekonomi tahun depan, sebisa mungkin kita mulai membiasakan diri untuk iguh, sebisa mungkin mengupayakan swasembada pangan semaksimal mungkin yang bisa kita lakukan. Karena yang bahaya dari resesi ekonomi adalah krisis pangan. Di saat kita memiliki uang tetapi tidak ada bahan makanan yang bisa kita beli. Terlebih Allah sendiri sudah berjanji bahwa tidak akan ada satu pun makhluk-Nya yang akan dibiarkan kelaparan. Maka, kita juga harus melandasinya dengan terus berkomunikasi dengan Allah.

“Kalau Anda berdoa, jangan ngarang sendiri. Temukanlah masalahmu di dalam Al-Qur`an. Sering-seringlah Anda membuka Al-Qur`an, bisa jadi di setiap lembar Al-Qur`an yang Anda buka ada solusi dari masalahmu,” Mbah Nun memungkasi.

Lihat juga

Back to top button