KEBENARAN RELATIF, KEBENARAN SPEKULATIF

Allah Swt. memberikan macam-macam hidayah kepada manusia. Pertama: hidayah naluri (al-garizah), kedua: hidayah panca indera (al-hawas), ketiga: hidayah akal (al-‘aql). Sekuat-kuatnya naluri, dia tidak bisa menentukan baik buruk atau salah benar. Naluri untuk mempertahankan hidup bisa melahirkan keuletan, ketekunan dan kerja keras, tapi juga bisa mendorong tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Sekuat-kuatnya indera, dia masih gampang tertipu oleh fenomena alam dan rekayasa-rekayasa manusia. Sehebat-hebatnya akal, dia hanya bisa melahirkan ilmu pengetahuan yang bersifat relatif dan kebenaran filsafat yang bersifat spekulatif. Akal manusia tidak bisa menjangkau hal-hal yang sifatnya gaib.

Oleh karena itu, diperlukan hidayah keempat, yaitu agama. Allah mengutus para rasul untuk membawa satu agama, yaitu Islam sebagai pedoman hidup bagi manusia. Nabi Muhammad Saw. menjadi nabi terakhir yang membawa agama Islam yang telah disempurnakan.”

– Tadabbur maiyah Padhangmbulan, Al-Fatihah : 6  “Tunjukilah kami jalan yang lurus” – Ahmad Fuad Effendi –

* * *

Lihat juga

Benar ada kesadaran untuk melakukan perbaikan, benar ada usaha menuju perbaikan, benar sudah ada pelaku perbaikan, berbagai informasi sudah bisa kita jadikan bukti adanya perbaikan-perbaikan itu. Fenomena ini bisa ditarik untuk berlaku pada apa saja di lini mana saja secara keseluruhan.

Kasus demi kasus terjadi di negeri ini. Satu sedang diproses, lainnya menyeruak. Sebagai penerima suguhan, kasus dan penanganannya oleh pihak-pihak yang terkait menjadikan kita bisa memiliki berbagai sudut pandang tentang kebenaran penanganannya. Ironis, ada suguhan mengaretnya penanganan, cuci tangan, mencari kambing hitam, bahkan menghindari dengan cara-cara tidak patut hanya untuk menjaga citra baik di tengah masyarakat. Sepertinya sudah hilang etos ksatria dalam proses pertanggungjawaban.

Agaknya menjadi benar di era sekarang sangat sulit sekali. Ada jalan bercabang dan berbelit yang mesti dilalui untuk mencapai kebenaran sejati. Tidak salah, di dalam Islam kita dibimbing untuk meminta dengan kesopanan dan kepatutan kepada Allah Swt. ditunjukkan ke jalan yang benar (lurus) “Ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm”.

Keironisan lainnya yang juga tak kalah penting, kita mendengar bagaimana gaung kampanye tegakkan kebenaran, tapi praktiknya malah semakin menjauhi kebenaran sejati. Kebenaran sejati milik Allah Swt. Lihat saja bagaimana pihak yang semestinya paling berwenang memaparkan hulu-hilir suatu kejadian malah menghindari poin utamanya menuju pandangan yang bersifat relatif. Paparannya bersifat spekulatif, imbasnya pasti berlarut dan panjang. Publik seolah disengaja dibuat lupa.

Dalam mukadimah Maiyah ini tidaklah kita lepas dari idiom merawat nalar. Ini adalah upaya menjaga hidayah, agar Allah tetap berkenan mempersemayamkan di dalam diri. Seperti yang telah disampaikan Mbah Fuad di atas ada konsekuensi logis yang mesti dipertahankan dalam penjagaannya (hidayah), yaitu mengikuti jejak kenabian Muhammad Saw.. Menjadikan pedoman Islam dalam setiap urusan, dari yang terkecil hingga terbesar, dari yang paling sepele hingga terpenting. Pada Maiyahan edisi Oktober 2022 ini mari kita kembali mengisi daya kebenaran sejati. Terus berproses menuju jalan kebenaran, tetap konsisten (istiqamah) di jalan kebenaran.

Dalam kehidupan masyarakat bumi berlaku pengertian as-sirathal mustaqim maupun sirathal mustaqim. Orang-orang yang berjalan menegakkan kebenaran Allah tidak populer. Jalan penegakan atas kebenaran Allah itu sendiri juga tidak dicari, apalagi dijalani.”

– Tadabbur Maiyah Padhangmbulan, Fir’aunisme Global – Muhammad Ainun Nadjib – (Redaksi Ma’syar Mahamanikam) 

Lihat juga

Back to top button