BELAJAR BERAT HATI KITA KEPADA INDONESIA
(Liputan Gambang Syafaat edisi Februari 2024 dengan tema “Berat Hatiku Kepada Indonesia”, Semarang, Jumat 23 Februari 2024)
Majelis Masyarakat Maiyah Gambang Syafaat edisi Februari 2024 menjadi momen khusus dengan kehadiran Mas Helmi Mustofa dari Progress Yogyakarta. Mas Helmi sudah berada di lokasi acara, Aula Perpustakaan Lantai 1 di Masjid Agung Jawa Tengah, sebelum acara dimulai. Mas Helmi sengaja datang lebih awal agar mempunyai waktu lebih banyak untuk berdiskusi dengan para penggiat Gambang Syafaat sebelum dilangsungkannya rutinan.
Para penggiat Gambang Syafaat telah menyiapkan berbagai keperluan acara. Pemasangan backdrop proyektor, level, dan sound system telah dilakukan sejak sore hari. Berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya yang menggunakan backdrop cetak, kali ini Gambang Syafaat mencoba memanfaatkan proyektor dan layar putih untuk menampilkan format slide agar lebih variatif.
Sebelum acara dimulai, ditampilkan slide yang berisi dokumentasi rutin Gambang Syafaat dari tahun 2023 hingga awal tahun 2024. Selama acara berlangsung, backdrop akan menampilkan tema yang diangkat. Selain itu, juga ditampilkan profil singkat narasumber agar jamaah bisa lebih mengenal narasumber.
Forum ini dimulai pada pukul 20.00 WIB dengan munajat yang dilantunkan secara bersama-sama oleh beberapa perwakilan penggiat Gambang Syafaat, termasuk Kang Jion, Mas Ihfan, Mas Gunawan, Mas Mardiansyah, Mas Aqil, Mbak Anjani, dan Mbak Diyah. Para jamaah mulai memasuki aula dan segera bergabung untuk melantunkan munajat bersama-sama.
Setelah munajat, acara berlanjut dengan sesi mukaddimah oleh para pegiat Gambang Syafaat, Mas Gunawan dan Mas Duwi. Sesi ini dimoderatori oleh Mas Ihfan dan Mbak Diyah, yang memantik tema diskusi “Berat Hatiku Kepada Indonesia”.
Rakyat Indonesia memang perlu terus berusaha untuk memperbaiki cara berpikir terhadap segala fenomena, baik itu dalam hal pribadi, sosial, maupun kenegaraan. Masyarakat perlu meneropong persoalan secara lebih jernih dan dengan semangat mencari solusi baru atas masalah yang ada, tanpa hanya mengikuti kesimpulan konvensional tanpa pertimbangan. “Berat Hatiku Kepada Indonesia” tidak berarti putus asa terhadap keadaan Indonesia, tetap memiliki harapan dan keyakinan demi perubahan dan perbaikan. Berat hati tidak berarti menyerah, tetapi lebih kepada keperihatinan yang menjadi dorongan untuk terus berusaha, berjuang, dan berdoa untuk keadaan yang lebih baik. Gambaran lebih lanjut mengenai tema kemudian dijabarkan oleh dua penggiat Gambang Syafaat yaitu Mas Duwi dan Mas Gunawan.
Penggiat Gambang Syafaat, Mas Duwi dan Mas Gunawan, mengawali diskusi tentang tema “Berat Hatiku Kepada Indonesia”. Mereka menjelaskan bahwa berat hati tidak berarti putus asa. Sebaliknya, ini adalah ungkapan kepedulian yang mendorong masyarakat Indonesia untuk terus berusaha, berjuang, dan berdoa demi perbaikan dan perubahan keadaan negara.
Mas Duwi memulai sesi pertama dengan menyampaikan kalimat, “Dalam dunia politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan”. Kalimat ini mencerminkan kegelisahan Mas Duwi sebagai seseorang yang melihat kondisi politik yang sering dipertontonkan di televisi, di mana citra politik digambarkan penuh persaingan dan framing. Sebaliknya, bisa jadi di belakang kamera, tokoh-tokoh tersebut malah asyik makan bersama di satu meja. Mas Duwi berharap masyarakat Indonesia, terutama kalangan bawah, tidak mudah terprovokasi oleh apa yang disajikan di media. Dia juga menginginkan agar mereka selalu menjunjung tinggi persatuan dan kerukunan.
Mas Gunawan turut memberikan contoh mengenai berat hatinya dalam keseharian sebagai seorang yang banyak berinteraksi dengan restoran. Dalam pengamatan, menemui banyak makanan sisa yang setiap hari terbuang percuma. Ini menjadi anomali ketika banyak rakyat Indonesia kesulitan menikmati sesuap nasi, sementara di sisi lain, misalnya di restoran, banyak makanan sisa yang dibuang. Dengan mengamati kebiasaan konsumsi makanan orang, Mas Gunawan menemukan bahwa banyak orang belum memiliki kesadaran untuk mengolah sisa makanan agar tidak terbuang sia-sia. Ini bisa menjadi pengingat bagi semua orang untuk memiliki kedaulatan dan etika dalam hal makanan. Setelah seseorang berhasil memenuhi kebutuhan konsumsi makanan harian, yang diperlukan selanjutnya adalah kemampuan beranjak untuk lebih fokus dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang lebih besar.
Selain belajar bersama dari tema, edisi Februari 2024 dari Gambang Syafaat dihadiri oleh Mas Wakijo dan Mas Sadam, yang ikut serta dengan menampilkan beberapa nomor lagu. Dalam forum ini, mereka hadir dengan membawakan beberapa lagu yang dimainkan dengan instrumen gitar dan harmonika. Keunikan dan kekhasan yang dihadirkan oleh kedua instrumen tersebut memberikan nuansa yang berbeda. Melalui pembawaan lagu yang jenaka dan penuh keceriaan yang memberikan warna sentuhan hiburan tersendiri. Begitulah forum ini dengan menghadirkan berbagai nuansa yang dinamis, dengan nuansa serius dalam diskusi dan nuansa jenaka melalui hiburan musik.
Acara berlanjut dengan sesi kedua, di mana para narasumber—Mas Helmi Mustofa, Pak Saratri, dan Pak Ilyas—diundang ke atas panggung . Mereka didampingi oleh Mas Wisnu dan Mas Ihfan sebagai moderator. Mas Helmi mengawali di sesi kedua ini dengan mencoba untuk merespons tema “Berat Hatiku Kepada Indonesia”.
Mas Helmi yang merupakan salah satu staf Progress dan banyak menemani Mbah Nun sehari-hari merespons tema Berat Hatiku Kepada Indonesia, pertama, dengan menuturkan cerita sehari-hari Bersama Mbah Nun yang mencerminkan bagaimana Indonesia merupakan bagian tak terpisah dari kesadaran sehari-hari Mbah Nun. Menurut Mas Helmi, Mbah Nun memiliki kesadaran keindonesiaan yang diperoleh dari pendidikan keluarga atau kedua orangtuanya sejak dini.
Menariknya, dari berbagai contoh yang dipaparkan Mas Helmi tentang Indonesia sebagai bagian tak terpisah dari kesadaran sehari-hari Mbah Nun, Mas Helmi menyampaikan bahwa tulisan-tulisan atau karya Mbah Nun yang di baliknya terdapat dinamika perasaan Mbah Nun kepada Indonesia yang menjadi latar belakang atau pemantik lahirnya tulisan-tulisan beliau di antarany ayang berupa pesan-pesan Mbah Nun kepada anak-cucu jamaah Maiyah. Di sini, Mas Helmi memberi contoh dari dinamika yang dimaksud, yaitu misalnya Mbah Nun sedang misalnya gregetan dengan Indonesia, maka Mbah Nun tidak berhenti di situ. Mbah Nun menjadikannya sebagai pemantik bagi lahirnya tulisan atau kreativitas lainnya.
Kedua, Mas Helmi mengajak teman-teman jamaah Gambang Syafaat untuk mengingat bahwa spirit “Berat Hatiku kepada Indonesia” salah satu muatannya adalah keberpihakan kepada rakyat dan wong cilik. Inilah yang ditunjukkan Mbah Nun sejak dulu. Bahkan hingga beliau dan Mbah Fuad di masa awal pengajian Padhangmbulan menyusun wirid yang berjudul “Wirid Ketertindasan” yang diaransemen oleh KiaiKanjeng dan dilantunkan Bersama-sama jamaah. Karena itu, menurut Mas Helmi keberpihakan dan empati kepada rakyat dan wong cilik merupakan karakter utama Pengajian Padhangmbulan dan Maiyah. Tidak lupa Mas Helmi menceritakan album musik Perahu Retak karya kolaborasi Mbah Nun dan Franky Sahilatua juga sarat menyuarakan nasib wong cilik. Merespons paparan Mas Helmi ini, kontan Mas Wakijo kemudian membawakan lagu Perahu Retak ini dengan apik.
Ketiga, Mas Helmi menyampaikan bahwa tema yang diusung Gambang Syafaat malam itu dengan segera mengantarkan kepada ayat Al-Quran Surat At-Taubah ayat 128 yang berbunyi:
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
Dalam ayat ini, Allah menggambarkan dan memuji akhlak dan karakter utama Nabi Muhammad yakni hati beliau yang selalu memikirkan dan tidak tega kepada nasib umat Islam dan nasib wong cilik. Mas Helmi menyitir pendapat Syaikh Nursamad Kamba, jika kita melihat perjalanan dan praktik peradaban umat Islam banyak mundur, maka jalan yang utama adalah kembali saat ini kepada ajaran Islam yang otentik sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad.
Di antara arti embali kepada ajaran Islam yang otentik itu, menurut Syaikh Kamba, adalah kita perlu kembali kepada keharusan menginternalisasi sifat-sifat Nabi Muhammad. Dengan memiliki hati yang berat kepada Indonesia sebagaimana telah dipaparkan di atas, Mbah Nun telah memberikan contoh kepada anak-cucu Maiyah tentang bagaimana menginternalisasikan sifat-sifat Nabi Muhammad. Hal ini juga mengingatkan kita salah satu konsep Maiyah, yaitu Segitiga Cinta antara Allah SWT, Nabi Muhammad, dan umat manusia.
Pak Saratri turut membagikan pengalamannya dalam mengoleksi dan membaca karya-karya Mbah Nun sejak berusia 20 tahun. Bahkan tulisan Mbah Nun, yang saat itu masih berusia 30 tahun, membuat Pak Saratri kagum. Sebab, pemahamannya tentang berbagai konsep menawarkan sudut pandang yang berbeda dan komprehensif. Menurut Pak Saratri, Mbah Nun secara mendalam memahami kondisi Indonesia karena ia menganalisis data empiris dengan metode unik yang jarang digunakan oleh orang lain.
Sifat-sifat yang harus kita teladani dari Mbah Nun adalah konsistensi dalam berpikir, menulis, dan berbicara, tidak memiliki kepentingan politis, memiliki kebiasaan berpikir keras, bertindak dengan konsistensi, dan selalu ingin belajar. Mbah Nun adalah sosok yang layak untuk diidolakan. Ketika kita memposisikan Mbah Nun sebagai guru atau mursyid, kita bisa memacu diri kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik dengan berbagai macam kualitas, dan berada dalam kondisi yang terus berkembang dan bertransformasi. Mbah Nun selalu mengajarkan kepada kita untuk menikmati berbuat baik dan selalu mengingat Allah SWT. Dzikrullah adalah tanda cinta kita kepada Allah SWT, karena jika kita selalu mengingat Allah SWT, maka Allah SWT juga akan selalu mengingat kita. Kita harus mengekspresikan ketergantungan kita pada Allah SWT untuk selalu berada dalam pemeliharaan-Nya.
Pak Ilyas menambahkan bahwa kita semua selalu merasa lelah melakukan aktivitas sehari-hari dan akhirnya mencari tempat yang nyaman bernama Maiyah, yang merupakan cerminan dari kehidupan Indonesia yang sesungguhnya. Pak Ilyas juga menekankan bahwa kita semua harus bertanggung jawab atas setiap keputusan yang kita ambil.
Diskusi menjadi lebih lengkap dan mendalam ketika para jamaah mulai mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka. Mereka membagikan rasa kegelisahan dalam diri mereka sebagai bentuk komunikasi dan ekspresi personal. Ini menjadi cara untuk mereka menyampaikan apa yang sedang mereka rasakan dan berbagi pengalaman mereka dengan yang lain.
Mas Fajar dari UIN Walisongo Dia merasa pesimis dan hampir putus asa saat memikirkan cita-cita Indonesia Emas tahun 2045. Padahal, dia sebenarnya ingin peduli dan bahkan ikut ambil peran untuk mewujudkannya. Mas Fadkhan, juga dari UIN Walisongo, merasa cemas terhadap dinamika politik saat ini. Mbak Diana, seorang jemaah, mengungkapkan kebingungannya terhadap konsep syukur yang seharusnya diterapkan. Dia juga bertanya apakah kekuasaan, baik itu baik atau buruk, benar-benar merupakan kehendak Allah SWT.
Mas Helmi, Pak Saratri dan Pak Ilyas kemudian memberikan pandangan mereka atas berbagai kegelisahan, terutama yang disampaikan oleh ketiga jamaah tersebut. Dalam merespons berbagai peristiwa, penting untuk menggunakan akal dan hati nurani sesuai dengan ajaran Islam. Kita tidak boleh pasif, tetapi harus berserah diri kepada Allah SWT, menerima ketentuan-Nya, dan berfokus pada peran kita sesuai dengan tanggung jawab kita dalam kehidupan. Misalnya, saat memilih pemimpin, pemilih yang baik harus menggunakan nalarnya, memiliki informasi, membuat pilihan berdasarkan hati nurani, dan menghormati pilihan orang lain.
Mas Helmi juga menyitir ayat Al-Quran Surat Al-Ankabut ayat 2 di mana ayat ini dalam sejumlah Sinau Bareng kerap diulas oleh Mbah Nun.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan untuk mengatakan, ‘kami telah beriman’ tanpa diuji.”
Dengan ayat ini, Mas Helmi merespons pertanyaan Mas Fajar yang tidak hanya cemas tetapi juga nyaris putus asa terhadap keadaan Indonesia akhir-akhir ini, bahwa boleh jadi apa yang terjadi di sekitar kita adalah ujian, dan ujian adalah hal yang mesti dialami setiap orang yang beriman dan tidak selayaknya mereka berputus asa. Kemudian tentang perasaan Mas Fajar terhadap Indonesia, Mas Helmi menyarankan agar Mas Fajar “mendefinsisikan” kembali Indonesia di mana Indonesia yang didefinisikan kembali itu sesuai dengan batas kemampuan dia sehingga dengan begitu Mas Fajar tetap bisa berkontribusi bagi masyarakat dan Indonesia.
Majelis ditutup menjelang pukul 1 pagi dengan shohibu baiti serta doa bersama yang dipimpin oleh Mas Helmi. Dari diskusi yang berlangsung di Majelis Masyarakat Maiyah Gambang Syafaat Edisi Februari 2024 ini, dapat kita tarik beberapa poin.
Pertama, sangat penting untuk memandang Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan (integral) dari diri kita sendiri. Hal ini dapat mendorong kita untuk peduli dan berperan aktif dalam menciptakan kondisi bangsa yang lebih baik.
Kedua, Mbah Nun sebagai sumber inspirasi dalam menginternalisasi nilai-nilai kebijaksanaan dan keberpihakan kepada rakyat kecil dalam meniti kehidupan bermasyarakat.
Ketiga, merespons setiap peristiwa dengan akal sehat, hati nurani, dan tindakan bijaksana sesuai dengan ajaran agama merupakan kunci dalam membentuk masyarakat yang lebih baik.
Karenanya, forum ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat berdiskusi, tetapi juga sebagai ruang untuk meningkatkan kesadaran dan kontribusi kita terhadap perbaikan dan kemajuan bangsa. Semoga setiap individu dapat memanfaatkan setiap pembahasan dan refleksi yang dilakukan di forum ini sebagai ikhtiar kita bersama untuk berkontribusi dalam menciptakan masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.
(Redaksi Gambang Syafaat)