TAWASHSHULAN JM MALANG RAYA & MEMBEDAH JALAN PEMIKIRAN CAK NUN

(Mukaddimah Tawashshsulan Jamaah Maiyah Malang Raya Edisi ke 23, Jumat 29 Desember 2023 di Rumah Maiyah Al-Manhal Malang))

Di penghujung tahun 2023, Tawashshulan JM Malang Raya menapak edisi yang ke 23. Meski awal pelaksanaan tidak ada arahan secara resmi dari Mbah Nun untuk setiap simpul dan lingkar melaksanakan, para JM Malang Raya langsung merespon dengan turut melaksanakan setelah Rumah Maiyah di Kadipiro melaksanakan Tawashshulan untuk pertama kalinya. 29 Maret 2022, bertempat di Pendopo Nusantara Kab. Malang, rekan-rekan JM Malang Raya melingkar pertama kalinya membaca teks Tawashshulan yang dipimpin oleh Cak Majid. Pada edisi selanjutnya, para penggiat menyepakati pelaksanaan Tawashshulan diadakan H+2 setelah Padhang Bulan di Menturo.

Tawashshulan sendiri adalah sikap Mengemis (Nyuwun Paring-paring) Kepada Allah. “Ketika Anda melantunkan shalawat “tawassalna bibismillah, wabilhadi Rosulillah” dst, itu pakai “sin”. Tawassalna, berarti memohon atau mengemis. Bukan tawashshalna, menyampaikan atau mengkomunikasikan melalui. Meskipun demikian sebenarnya “tawassalna” maupun “tawashshala” berada di lingkup makna dan nuansa yang sama. Di dalam khasanah umum tradisional selama ini “tawassul” dipahami sebagai “memohon kepada Allah melalui Nabi atau siapapun dan apapun lainnya”. Lebih tepatnya: tawashshul (pakai “shad”). Adapun “Tawassalna bibismillah” di dalam teks Shalawat Badar itu lebih mendekati makna “mengemis kepada Allah, dengan landasan asma-Nya sendiri”, atau “dengan mengatasnamakan Rasulullah”, tulis Mbah Nun di buku Mukadimah Tawahshsulan.

Upaya Tawashshulan Maiyah ranahnya adalah ijtihad, bukan syariat Islam. Tidak ada perintah langsung dari Allah atau Rasulullah. Yang selama ini dilakukan merupakan upaya hati, jiwa dan akal manusia mendekatkan diri pada Allah dan Rasulullah. Termasuk ibadah ghoiru mahdhah atau muamalah, bukan kewajiban syar’i. Hanya ungkapan kerinduan makhluk pada Sang Khaliq seperti tradisi “Tahlilan” yang sudah dilakukan umat Islam. Sebagai Jamaah Maiyah, kita merasa ijtihad yang selama ini dilakukan tidak memberikan manfaat, bahkan mungkin tidak berarti apa-apa. Hal ini senada dengan yang ditulis Mbah Nun di pembuka buku Tawashshulan. “Kami semua di Maiyah yang bersama saya mengijtihadi “Tawassulan” ini mungkin sekali adalah “Khalifatullah yang gagal”. Tidak berhasil secara maksimal atau optimal menyebarkan manfaat dan kemashlahatan. Bahkan bisa jadi bagi ummat manusia di dunia dan para warga di Negeri, kami, dan utamanya saya: faktanya “tidak pernah benar-benar ada”. Kita ummat Maiyah bisa jadi merupakan golongan mubadzir, yang “wujudina ka’adamina”. Adanya kami sama saja dengan tidak adanya kami.”

Masih mengusung tema “Membedah Jalan Pemikiran Cak Nun” yang edisi ke 22 dibersamai oleh Ahmad Yulianto, S.Pd.I., M.Pd dari UIN Malang yang reportasenya bisa dibaca di sini. Di edisi ke 23, Jum’at 29 Desember 2023, para penggiat mengundang Khalid Rahman,M.Pd.I, seorang pengajar di FILKOM Universitas Brawijaya untuk berbagi pandanganya pada sosok Ayah, Marja’ dan Guru kita, Emha Ainun Nadjib.

Bagi dulur-dulur di Malang Raya dan sekitarnya, dengan bahagia dan cinta. Kami mengundang untuk turut hadir dan membersamai.

Lihat juga

Dengan “Tawassulan” ini Maiyah tidak menuntut apa-apa kepada Allah, karena karena sangat meyakini Maha Adil dan Maha Dermawannya Allah Swt. Juga tidak menagih atau mengharapkan apapun saja kepada sesama manusia, Negara dan dunia. “Wakafa billahi Ilaha, wakafa billahi Robba, wakafa billahi ‘Alima, wakafa billahi Syahida, wakafa billahi Waliyya, wakafa billahi Wakila, wakafa billahi Nashiro”. Karena sungguh-sungguh “Wakafa billahi Hayya, wakafa billahi Qoyyuma”.

(Redaksi Rumah Maiyah Al-Manhal Malang)

Lihat juga

Back to top button