WA LAA TANSA, WAKAFA = JANGAN LUPA, CUKUPLAH ALLAH SEBAGAI SAKSI HIDUP KITA

(Liputan Majelis Ilmu Suluk Surakartan, Surakarta, Jumat 24 Maret 2023) 

Pada edisi ke-69 (Jumat, 24 Maret 2023), Majelis Maiyah Suluk Surakartan kerawuhan sekaligus dibersamai oleh Mbah Nun. Setelah 5 tahun lamanya, akhirnya Simbah berkesempatan kembali bersua dengan anak-cucunya di wilayah Surakarta dan sekitarnya. Kebetulan, usia Simbah saat ini pada rentang 69 tahun. Jadinya pas. Jodoh.

Terkait jodoh, ada secuil kisah menarik sebelum kami berangkat dari Gemolong menuju Tanjung Anom, Grogol, tempat dilangsungkannya forum Suluk Surakartan. 

Niat awal kami berangkat berenam. Tak lama kemudian, si Rozaq salah seorang kawan kami mengabari via WA kalau dirinya urung ikut ke Suluk. Ya sudah. Lucunya, saat saya mampir beli rokok di warung pojok pasar, lha kok ndilalah ketemu sama dia. Bhaaa. Alhasil, saya rayu dia lagi untuk ikut serta. Tanpa babibu, ia pun mengiyakannya. Mungkin itu yang dimaksud oleh pepatah, “kalau sudah jodoh tak akan kemana.”

Pukul. 21.30 WIB, rombongan kami tiba di pelataran markas Suluk Surakartan. Tak berselang lama, shalawat badar terdengar. Menyambut kedatangan Mbah Nun naik ke atas panggung. Beliau didampingi Pak Munir, Mas Islamiyanto, dan juga sesepuh Suluk Surakartan, Pakde Herman. Sedangkan Mas Didik Kurniawan dipercaya untuk memandu acara. 

Tak ayal, Mbah Nun adalah magnet. Jamaah yang hadir malam itu lebih banyak dari biasanya. Bahkan berkali lipat. Bertemu dan bermuwajahah langsung dengan Simbah, feel-nya memang beda. Aura teduh, ngemong, dan wibawa, sangat kental terasa. Memancar ke sekitar. Saya termasuk yang merasakannya. Alasan itulah yang mungkin menggugah krentek hati rekan Jamaah Maiyah untuk khidmat melingkar di Majelis Maiyah Suluk Surakartan. Mereka bertamu, bertemu, sekaligus sinau bareng bersama Mbah Nun. 

Pada sesi awal, Mbah Nun menyampaikan bahwa beberapa hal sudah beliau renungkan terkait tema Wa Laa Tansa. Ayat ini merupakan potongan dari surat Al Qasas ayat 77. “Wabtaghi fima atakallahud-daral-akhirata wa la tansa nasibaka minad-dun-ya. (Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia). 

Wa Laa Tansa yang selama ini diterjemahkan dengan jangan lupakan bagianmu, coba di-upgrade Mbah Nun dengan perspektif baru. “Jadi, bagianmu di dunia itu tidak semata yang bersifat materi (harta, benda). Tetapi bagian itu juga mencakup segala akhlak, perilaku, dan keputusan hdup selama di dunia harus dihitung betul untuk menuju akhiratmu,” terang Mbah Nun.

“Coba perhatikan di sekeliling kita, banyak tho manusia yang pada sibuk, ribut, rebutan ini bagianku, itu bagianku!” Sentil Mbah Nun. “Bagian kita di dunia itu ya memaksimalkan kemampuan dan kapasitas yang dianugerahkan Tuhan kepada kita, lalu memanfaatkan kemampuan itu sesuai dengan skala kita. Tidak usah jauh-jauh. Yang paling primer yakni memberi manfaat dalam skala keluarga,” Jelas Mbah Nun. 

Tema di atas (surat Al Qasas 77) mestinya menjadi bahan perenungan kita bersama. Bahwa segala keputusan hidup kita di dunia, akan dipertanggungjawabkan di sana (akhirat). “Ayuk, belajar tanggung jawab karo uripe awake dewe masing-masing.” Ajak Mbah Nun. “Sebagai contoh, antara penggiat Maiyah dan jamaah tentu memiliki peran yang berbeda dan tanggung jawab masing-masing,” imbuhnya. 

Di sela diskusi, para penggiat Suluk membagikan roti ke seluruh jamaah yang hadir. Rasanya enak, manis, dan gratis. 

Pak Munir yang duduk di samping Mbah Nun, turut urun pandangan. Terlebih dulu beliau sedikit kilas balik perjalanan Suluk Surakartan yang tidak terasa sudah melangkah selama 6 tahun menuju tujuh. “Dan di Majelis ini (SS), kami para penggiat beserta jamaah akan terus belajar berproses dan bertumbuh,” papar Pak Munir yang diikuti tepuk tangan hadirin. 

Pak Munir juga mengelaborasi tema Wa La Tansa. Setarikan napas dengan yang dipaparkan Simbah, Pak Munir menggarisbawahi bahwa yang disebut kesuksesan adalah memahami keahlian diri, bukan hasil. “Kalau kapasitas kita karyawan, ya jadilah karyawan yang baik, berkualitas, dan bertanggung jawab. Kalau kita seorang pedagang, ya jadilah pedagang yang jujur dan bertanggung jawab.” Titik tekannya ada di tanggung jawab.

Tak ketinggalan, sebagai seepuh Pakde Herman juga dimintai respons terkait tema yang diangkat. Sederhana saja yang beliau sampaikan. “Karena aku wong Jawa, aku tak nganggo basa lan ilmu Jawa. Wong Jawa kuwi modal uripe siji. Yaiku rumongso dadi kawula Gusti. Dengan begitu kita kudukumawula“. Menghamba. Manut karo kekarepane Gusti. Kumawula juga butuh ilmu ben ora nabrak-nabrak. Yen ono lelakon yo dilakoni. Yen ono penyandang yo disandang.”

Senada dengan pemikiran Mbah Nun, menurut Pakde Herman, hidup di dunia itu tidak disediakan banyak pilihan. Artinya kalau kita sudah memilih sesuatu ya tanggung jawablah dengan sesuatu yang kamu pilih itu! Ojo nggo dolanan. Ojo mencla-mencle. Ojo sak karepe dewe. Lagi-lagi, esensinya adalah tanggung jawab. 

Di akhir uraian, Pakde Herman berpesan yang kedengarannya tak biasa. Lazimnya orang-orang jajan itu ya di warung atau resto yang laris, viral, yang ramai pembeli. Karena ramai pembeli, umumnya menjadi tolok ukur sebuah warung atau resto memiliki menu dengan cita rasa lezat. Tapi itu tidak berlaku bagi Pakde Herman. Beliau justru memilih jajan di warung yang sepi pembeli. Alasannya mesakne. Kasihan. Ndak tega. “Saat kita jajan atau beli di warung makan yang sepi, diniatkan saja semoga kita mendapatkan dua ganjaran. Pertama, perut kita kenyang (meski rasanya mungkin kurang enak). Kedua, semoga kita semakin disayang Allah lantaran kita nresnani (menolong dengan cara membeli) penjual yang warungnya sepi tersebut.” Demikian pesan Pakde Herman yang agaknya perlu kita indahkan. 

Pukul sebelas lewat, dibuka sesi tanya jawab. Ada dua penanya yang naik ke panggung. Mas Dodi asal Boyolali yang bertanya tentang konsep bersyukur. Beliau mengaku, saking bersyukurnya kepada Allah, setiap kali ada masalah selalu ada saja solusinya. Namun di balik solusi tersebut malah muncul semacam ketakutan. Apakah solusi ini sebuah hidayah, atau ujian, atau yang lain? 

Yang kedua ada Mas Ragil dari Solo. Beliau tidak bertanya, tetapi ingin menghaturkan terima kasih kepada Mbah Nun. Beliau bercerita panjang lebar. Pada tahun 2019, terdapat penyakit yang bersarang di tubuh istrinya. Ketika itu, ia belum mengenal Maiyah dan Mbah Nun. Barulah pada 2021 lalu, ia datang ke forum Maiyahan. Mas Ragil pun sempat meminta Mbah Nun mendoakan untuk kesembuhan istrinya. Singkat cerita, kondisi fisik dah psikis istri Mas Ragil perlahan membaik. Dan alhamdulillah sekarang tengah mengandung 3 bulan. 

Merespons penanya pertama, apakah solusi yang datang itu hidayah, atau ujian, Mbah Nun menawarkan satu rumus logika. Kalau yang datang itu kita anggap sebuah nikmat, hidayah, rahmat, maka luapkan dengan rasa syukur. Namun jika itu ujian, jadikan itu ladang kesabaran untuk terus ingat dan percaya akan pertolongan Allah. Bahkan bila yang menimpa kita itu suatu adzab, ya segera saja kita banyak-banyak istighfar dan memohon ampun kepada Allah. 

Pada intinya, apapun saja yang menimpa diri kita, kita mesti meneliti, waspada, dan berhusnudhdhon kepada Allah, agar outputnya memberi kebaikan bagi hidup kita.

Selanjutnya menanggapi peristiwa yang dialami Mas Ragil, Mbah Nun merespons dengan dua pendekatan. Kerendahan hati dan kesucian hati. “Belum tentu kesembuhan istri Anda disebabkan oleh doa saya. Mungkin, mungkin lho ya, saat saya mendoakan istrimu, dari sekian banyak amin dari jamaah, ada satu amin yang diijabah oleh Allah. Sehingga kesembuhan istri Anda bukan semata faktor doa saya,” tutur Mbah Nun dengan segala kerendahan hati. 

“Di Maiyah ada terminologi tentang benar-baik-indah. Nah, di atas indah itu ada suci. Kesucian. Bisa jadi, doamu itu kabul lantaran kesucian hatimu (pasrah total) mengharap kasih-sayang dan pertolongan Allah. Sehingga Allah ridho atas doamu.” Jelas Mbah Nun. 

Pukul 23.40 WIB, Mas Islami mengajak jamaah untuk melantunkan nomor Wakafa yang diiringi musik Wakijo lan sedulur. 

Wakafa billahi ilaha

Wakafa billahi robba

Wakafa billahi waliyya

Wakafa billahi wakila

Simbah sedikit menceritakan proses kelahiran nomor baru Wakafa. Ide atau ilham itu “menghampiri” Mbah Nun tatkala sedang Maiyahan di Majelis Padhangmbulan beberapa bulan lalu. Tepatnya setelah “kasus” medsos yang menerpa beliau. “Tadinya ada keinginan juga untuk bersuara, menjawab, atau merespons tentang “huru-hara” yang menguak di medsos. Namun atas ilham Wakafa itulah, akhirnya saya memilih diam. Arep dikapakne wae tak jarno.” Ungkap Mbah Nun legowo

Simbah menambahkan, “Wakafa itu aslinya karya-Nya Allah. Allah yang mengabarkan (Al khabir) gagasan itu kepada saya. Dan saya sebagai manusia bertugas untuk mengolah “yang dikabarkan itu”. Ide itu lalu saya teruskan kepada KiaiKanjeng. Merekalah yang kemudian “memasak” dan meracik musik berikut aransemennya. Sehingga menjadi lagu yang bisa kita nikmati sekarang ini.”

Wakafa dapat diartikan pasrah. Berserah. Cukuplah Allah menjadi saksi. Cukuplah Allah menjadi Tuhan, menjadi pelindung, menjadi wali, dan wakil hidup kita. “Wis pokoke apa saja yang menimpa hidup kita, mau dihina, difitnah, didholimi sedemikian rupa, kiat dan jawabannya adalah Wakafa billah. Cukuplah Allah menjadi saksi dan pelindung diri kita,” pungkas Mbah Nun. 

Pukul 00.00 forum diakhiri. Suluk doa dan shalawat mengiring kepulangan Jamaah kembali ke rumah masing-masing. 

Solo – Gemolong, 24-26 Maret 2023

Lihat juga

Back to top button