URIP SENG TATAK

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Maiyah Dualapanan Lampung Edisi Juli 2023) 

Pada tiap permulaan selalu diakhiri dengan titik tertentu yang menandakan akhir dari sebuah penghujung, bahkan dari sebuah permulaan sebagian besar dapat dipastikan bagaimana akhir perwujudan suatu entitas. Misalnya ketika melihat pohon mangga yang rimbun tanpa penelitian yang komperhensif di laboratorium, tanpa melalui uji ini dan itu, telah menjadi kesepakatan bersama bahwa buah mangga yang ranum dan sedap berasal dari pohon mangga yang rimbun, tumbuh dari sebuah biji mangga di tanah yang subur dan melalui perawatan yang prima.

Demikianlah gambaran dari sebuah fase kehidupan, “pada tiap-tiap yang bernyawa pasti akan menemui ajalnya”. Apakah nyawa di sini hanya soal makhluk hidup? Dalam kacamata Maiyah pandangan tersebut diluaskan dengan “pada tiap-tiap eksistensi baik itu benda hidup maupun mati memiliki kadarnya hingga menemui waktu kadar dari sebuah eksistensi tidak dapat berlaku sebagaimana kadarnya, dari hal tersebut fungsi perawatan (maintenance) dalam suatu proses dan ekstensi berlaku bukan untuk meniadakan akhir melainkan memastikan fungsi sebuah entitas sebagaimana kadar berlakunya.

Contoh sebuah pemancar dari sebuah studio radio, suara merdu dari penyiar yang didengarkan oleh pendengar melalui sebuah frekeunsi tertentu, dari kesamaan frekeunsi itulah baik pendengar satu dengan yang lain menangkap suara yang sama dari si penyiar. Kalau boleh dijadikan contoh anak cucu Maiyah di berbagai penjuru seperti halnya pendengar radio tadi yang menangkap getaran suara dari para marja’ yang diantarkan melalui frekuensi yang sama, jika ada sesuatu yang kurang optimal satu saja dari rentetan panjang sistem yang berjalan tentu akan dirasakan oleh berbagai bagian yang lain, seperti halnya beberapa waktu terakhir keadaan batiniah anak cucu Maiyah diliputi duka yang sama saat dikabarkan marja’ Maiyah, simbah, orang tua, inspirasi hidup, guru dalam keadaan yang kurang prima dan diharuskan untuk beristirahat total, harus mendapatkan perawatan intensif. Ibarat pemancar radio diatas, simbah yang sudah bertahun-tahun ngelilingi jagad membersamai anak cucu maiyah, berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lain, negara, bahkan masuk menembus bagian terdalam dari anak cucu maiyah yang sama-sama larut dan dimensi maiyah, dimensi kecintaan, persaudaraan tanpa memandang latarbelakang apapun semua dipersaudarakan dalam frekuensi yang sama yaitu almutahabbina fillah.

Kesedihan, ketakutan, kekurangan dan kesempitan merupakan fitrah bagi tiap yang bernyawa. Sebuah penempaan agar tiap pribadi semakin mandiri, kuat, dan mulai bertumbuh menjadi pribadi baru yang mampu mengambil peran yang sama untuk melanjutkan hal baik yang telah dimulai, sebagaimana Maiyah sebagai critical mass, sebagai kanalisasi ide, sebagai mitra pembangunan manusia akan terus konsisten melanjutkan persemaian benih Maiyah yang telah dimulai oleh para marja’ dan generasi pendahulu yang kemudian diolah oleh anak cucu Maiyah sebagai pegangan hidup dan nilai kebaikan yang akan terus disemaikan pada ruang-ruang baru yang belum terjamah oleh nilai-nilai Maiyah.

Dalam sebuah kesempatan pada sebuah sinau bareng Ust. Nursofa mengutip sebuah dialog dengan gurunya soal hadits Nabi yang berbunyi:

Lihat juga

عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ [رواه مسلم]

 

Dari Abu Sa’id Al Khudri Ra. berkata : Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim)

Setelah mengutip hadits tersebut sang guru bertanya bagaimana konsekuensi terbalik dari hadits tersebut, jika sebagai pribadi melihat di depan matanya ada suatu keburukan maka ia harus mengambil sikap untuk mengubah, untuk mencegah dan minimal dari diri terdapat penolakan akan keburukan tersebut. Begitu pula apabila hal tersebut adalah kebaikan, maka konsekuensinya pada tiap pribadi akan mengambil bagian untuk mengkapitalisasi agar lebih besar, menyebarkan agar lebih luas atau mininal jika tidak memungkinkan ia menghanyutkan dirinya pada getaran kebaikan dan cinta yang sama. 

Hal tersebut sudah sepatutnya juga berlaku bagi para pejalan Maiyah, anak cucu Maiyah atau siapa saja yang pernah meneguk kesegaran dari mata air Maiyah atas dorongan batin dan rasionlitas pemikirannya secara sadar akan menjadikan dirinya sebagai perpanjangan dari proyek panjang perbaikan bangsa, negara dan umat manusia yang sudah dimulai oleh simbah dari tahun 80-an yang terus konsisten menebarkan segitiga cinta kasih antara Allah, Nabi Muhammad dan Manusia melalui gerakan shalawat dan secara konsisten melalui forum sinau bareng sejak tahun 90-an yang terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Seperti sebuah ungkapan yang disampaikan oleh Umar Ibn Khattab:

            Jika ada seribu pembela kebenaran, aku berada diantaranya.

            Jika ada seratus pembela kebenaran, aku berada diantaranya.

            Jika ada sepuluh pembela kebenaran, aku tetap berada diantaranya.

            Dan jika hanya ada satu pembela kebenaran, maka akulah orangnya.

Kesadaran yang demikian merupakan kesadaran yang sangat bernilai, kesadaran yang heroik bahkan, namun bagi masyarakat Nusantara sikap yang demikian bukan sesuatu yang asing bahkan dalam istilah Jawa Timur ada ungkapan “Ijen Tatak” yang berasal dari dua kata Ijen yang berarti Sendiri, dan Tatak yang berani “Bertekad atau Berani”, mirip dengan prinsil hidup yang dimiliki oleh masyarakat Lampung yang teguh menggenggam falsafah “Piil Pesenggiri”, mau bagaimanapun keadaanya jika ia benar dan harkat martabat hidupnya diganggu oleh orang lain maka akan dihadapi.

Begitulah Maiyah sebagai nilai yang diajarkan oleh simbah dalam suatu kesempatan beliau mengatakan :

            “ati kui kudu tatak, pikiran kui kudu liar dan awak kui kudu obah”

Sebagai bekal dalam menghadapi berbagai problematika hidup beliau menyarankan bahwa setiap pribadi harus sambung seluruh instrumen dalam dirinya, hatinya harus tenang dan teguh, pikirannya harus imajinatif dan ekploratif dalam mencari solusi, dan badannya harus bergerak berusaha sebisa-bisanya untuk menyelesaikan masalah. Walaupun pada akhirnya berakhir gagal menurut dirinya, ya tidak apa-apa. Toh banyak contohnya Nabi Nuh saja yang sudah dakwah ratusan tahun yang mengikuti ajarannya hanya sekitar 90 orang, Nabi Yahya bahkan bernaas hidupnya dibunuh oleh umatnya sendiri.

Bertepatan dengan tahun baru Islam 1 Muharram 1445 H yang konon pada proses awal penetapan, para Sahabat berbeda pandangan dalam metode penentuannya. Sebagian Sahabat berpendapat bahwa penetapan tahun baru islam di mulai dari masa awal kenabian itu mulai, saat dakwah secara diam-diam, ada juga yang berpendapat mencontohkan dengan ajaran agama yang lain penentuannya berdasarkan tanggal kelahiran dari nabi mereka, namun pada akhirnya diputuskan berdasarkan waktu hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah sebagai sebuah pertanda perubahan yang semakin baik.

Bertepatan dengan nuansa tahun baru Islam dengan semangat yang senantiasa teguh untuk menghadapi hidup hari ini, dan juga pembacaan tawashshul bersama dikhususkan untuk mendoakan guru, simbah, orang tua kita yaitu Maulana Akbar Muhammad Ainun Nadjib Penggiat Maiyah Dualapanan mengajak para sedulur, anak cucu Maiyah dan anak bangsa generasi penerus untuk mentadabburi nilai-nilai ini dalam forum sinau bareng Maiyah Dualapanan yang akan dilaksanakan pada tanggal 28 juli 2023 pukul 20.00 WIB, Panggung terbuka halaman SMP SMA Al Husna Kompleks Pondok pesantren Al-Muttaqien Pancasila sakti, Kemiling, Bandar Lampung.

(Redaksi Maiyah Dualapanan) 

Lihat juga

Back to top button