UNGGAH-UNGGAHAN

(Mukaddimah Majelis Ilmu Maiyah Cirrebes, Sabtu, 18 Maret 2023)

Pada dasarnya manusia tidak bisa lepas dari apa yang namanya simbol dan tanda, apalagi  Masyarakat Nusantara yang dalam kesehariannya selalu diawali dan diakhiri dengan smbol dan juga tanda. Contohnya, ketika prosesi tebus weteng atau tujuh bulanan, biasanya sohibul bait menggambar wajah manusia pada buah kelapa atau buah labu. Setelah lahir ada pula prosesi puputan atau mengubur ari-ari juga dengan ritual tertentu sampai pada kita mengasih nama pada anak bayi.

Ketika prosesi pemakaman pun tidak luput dari yang namanya tanda. Tentu kita mengenal talqin sebagai pengingat kita yang masih hidup perihal pertanyaan kelak di alam kubur. Ada juga kain mori berwarna putih, gelu dan yang tidak ketinggalan adalah tetenger atau batu nisan. Demikianlah manusia sebagai homo symbolicum yaitu manusia yang hidup dan berelasi dengan simbol-simbol dan tradisi adalah bagian yang dibuat manusia sebagai simbol baik yang sifatnya habluminannas atau pun habluminallah.

Begitupula tradisi yang disiapkan oleh masyarakat dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Kita kenal dengan istilah unggah-unggahan. Kata unggah-unggahan berasal dari kata “munggah” yang memiliki arti naik atau dalam Bahasa Jawa bisa diartikan sebagai ”manjat” atau “menek”. Tentu banyak prosesi yang dilalui untuk bisa menaikkan level kedekatan hamba dengan Tuhannya. Tak terkecuali dengan menaikkan kualitas hidup manusia di antaranya dengan menaikkan kualitas hidup masyarakat dan juga kualitas keimanan. 

Sebagaimana ajaran Rasulullah tidak hanya ibadah untuk menjangkau wilayah transendental, tetapi juga memancarkan nilai-nilai sosial. Seperti halnya peristiwa Isra’Mi’raj juga memberikan pesan kepada para pemimpin untuk merakyat dan membuat kebijakan yang pro-rakyat. Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, hal itu telah diteladankan Rasulullah saat kembali ke bumi setelah bertemu Allah Swt. Padahal, pertemuan dengan Allah Swt. adalah tujuan utama manusia. Namun, karena kepedulian Rasulullah terhadap nasib umat manusia, beliau rela kembali ke bumi.

Bentuk tradisi Unggah-unggahan sendiri biasanya masyarakat memberikan sedekah dengan mengadakan selamatan dan kirim doa. Mereka membawa makanan seadanya menurut kemampuan. Makanan yang disediakan biasanya ada dua macam yaitu makanan yang akan dibagikan dan makanan yang akan dimakan bersama-sama setelah selamatan. Sebelum makan dibagi atau dimakan bersama   masyarakat biasanya mereka berkumpul di mushalla atau masjid terdekat. Dalam pelaksanaannya setiap wilayah memiliki keunikannya masing-masing baik dari waktu, tempat, atau hidangan yang disajikan.

Terkadang masih sering didapati makanan tradisional yang disajikan ketika unggaha-unggahan. Salah satunya jenis kue apem yang kalau diistilahkan dengan menggunakan bahasa Arab menjadi Afuwun yang artinya minta maaf dan saling memaafkan. Unggah-unggahan merupakan serentetan kegiatan untuk menyambut bulan suci agar jiwa kita juga bersih atau suci diawali dengan batin yang suci. Di akhir Ramadhan  kita juga akan menjumpai hari raya Idul Fitri dengan fitrah yang suci. Dengan begitu tentu akan semakin meningkat kualitas hidup kita.

Pertanyaan besar kemudian muncul, jika kita sebagai manusia sedang berada di tengah anak tangga, akan kemanakah kaki kita melangkah?

(Miftahul Azis/Redaksi) 

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button