TANI MAIYAH, BUKAN ORGANIC BUKAN PULA ORGANIK TAPI ORGANIQ
Sore itu setelah magrib ada WA masuk dari dulur tanah Sumatera yang beberapa bulan ini intens mengobrol atau sekedar menyapa di Kadipiro setelah tawashshulan. “Ngapunten mas telat ngabari malam ini ada agenda/acara di Kadipiro. Mbah Dil dan Cak Solihkin datang.” Lalu saya zoom flyer jpeg “Sinau Tani Maiyah” 29 Oktober 24. Duh mana saya lelah sekal. Saya jawab, “Insyaallah ya Mas nanti sehabis banting tulang dan tutup rolling door saya coba kesana semoga masih ada tenaga.”
Sembari menunggu, saya mulai teringat pesan Mbah Nun di Mocopat Syafaat 2022 tentang pangan yang isinya, pertama, menabung sebisanya; kedua, kemungkinan untuk swasembada pangan minimal rumah tangga, keluargamu tercukupi dan; yang ketiga mohon keajaiban dengan Tawashshulan. Kita semua butuh keajaiban dari Gusti Allah. Demikian pesan Simbah waktu itu.
Tawashshulan sudah, tinggal nabung dan nandur yang belum. Wah harus berangkat ini pokmen malam ini ke Kadipiro. Sek sek tak kosongkan hardisk dulu, sepertinya nanti akan dapat ilmu pengetahuan yang banyak dari Mbah Dil (Mbah Adil Amrullah) dan Cak Solihkin tentang tani toh sebelumnya memang sudah beberapa kali ngobrol tentang tani setelah Tawashshulan di Kadipiro dengan dulur dari Medan berdarah Tasikmalaya yang sudah mengikuti tani di Lumajang. Berbekal trusted itulah saya berangkat ke Rumah Maiyah Kadipiro.
Akhirnya sampai juga di Kadipiro walaupun rodo telat. Ternyata semua peserta Sinau Tani Maiyah satu persatu ditanya latar belakangnya. Menyenangkan, ternyata ada yang sudah bertani atau hanya ingin belajar tentang tani. Mbah Dil membuka sinau tani malam itu dengan bercerita bahwa pada zaman Majapahit yang mana awal abad ke-15 terjadi krisis yang berkepanjangan disebabkan oleh Perang Paregreg yang mengakibatkan rakyat hidup dalam ketidakpastian dan banyak sektor pertanian desa tidak terurus.
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) melihat situasi kala itu melalui keterampilannya berinisiatif menghidupkan kembali pertanian di Sungai Bengawan Solo dan ternyata menghasilkan panen melimpah yang kemudian disebarkan ke berbagai wilayah untuk mengatasi kelaparan. Hal ini membuat Raja Majapahit gembira dan terkesan tentang ilmu tani ini.
Mbah Dil juga bercerita bahwa orang tani itu diawali dengan mangkel dan diakhiri dengan putus asa, tapi itu akan terus di-lakoni lagi dan lagi karena ada harapan di situ juga harus menyenangkan, bergembira dan kedermawan untuk berbagi. Jangan berpikir dengan nandur ini kita untung piro karena kita menanam tanduran bukan nanam duit ini yang harus kita jaga. Demikian ujar Mbah Dil.
Yang membuat saya gumun adalah ketika Mbah Dil menjelaskan tentang apa itu Tani Organik. Beliau membagi tiga hal, pertama, Organic yang berakhiran huruf C itu dari Eropa atau orang orang Londo, yang seolah-olah mereka yang paling mulia dengan embel embel memakai produk dari mereka; yang kedua, Organik berakhiran huruf K yaitu ditujukan untuk para tani yang hanya memikirkan keuntungan semata karena bertujuan labeling organik karena bisa dijual mahal produk dari tani tersebut; yang ketiga Organiq, berakhiran huruf Q yang ternyata Q tersebut adalah Quran yang berarti kita harus terus ngaji sinau karepe Gusti Allah iki kepiye? Nah mak tratap saya malam itu. Mbah Dil juga mengingatkan kembali apa yang pernah didawuhkan Simbah bahwa “ Pertanian itu adalah pilar dari peradaban”.
Cak Solihkin memulai dengan dawuh simbah di Padhangmbulan yang membuka hadist Rasulullah Muhammad “Masio sesuk kiamat neng ning tanganmu ono bibit sitok tok tetep po koe tandur” dan Cak Kin bercerita bukan belatar belakang tani tetapi dengan tulus beliau terus belajar. Beliau dengan semangat berapi-api bercerita bagaimana latar belakang beliau bisa memulai semua ini dengan tentunya bimbingan dari Mbah Nun dan Mbah Dil dengan resep-resep cara bertani ala Maiyah. Cak Kin juga bercerita bagaimana di awal-awal mereka bertani mengalami kegagalan demi kegagalan. Karena keyakinan terhadap dawuh guru terus dilakukan dan akhirnya berbuah hasil yang sangat mengembirakan .
Setelah sinau tani di Kadipiro, dua hari setelahnya, yakni hari kamis tanggal tua 31, jamaah Mocopat Syafaat memulai praktik tani di rumah salah satu sesepuh jamaah MS yang dulu dipanggil Mas Kun sekarang naik level menjadi Pakdhe Maskun, from Mas to Padkde. Dibuka dengan bersholawat ala Maiyah dan dimulai jam sepuluh mulailah praktik tani maiyah ini yang luar biasa dari pupuk A ke pupuk Z. Hari itu kita ketiban segoro ilmu tani.
Luar biasa semangat dari jamaah MS yang entah ini akan diaplikasikan dengan nandur beneran atau hanya mencari tempat untuk merokok dan ngopi bareng saja semoga semua digerakkan. Yang membuat optimis adalah ketika ternyata Mbah Dil sempat tertidur sebentar di teras dan ketika bangun lalu bercerita kepada kami yang hadir “eh aku mau keturon rek, terus aku mimpi sesuk iki awak dewe merdeka. ” Hahaha disambut tawa Mbah Dil dan anak-anak putunya yang ada saat itu, ya ya semoga kita semua merdeka Mbah, merdeka lahir dan batin.
Malam hari dalam perjalanan pulang seusai Sinau Tani Maiyah teringat sinau bareng dengan Mbah Nun di Ngluwar Muntilan lima tahun kebelakang, yang ada seorang Bapak dengan topi ala tentara dan seragam dengan menenteng helm dan memakai kacamata hitam bergembira dengan sholawat yang bernama Pak Nuriadi. Ia ditanya Mbah Nun sehari-hari kerja apa. Dijawab, “apa yang saya kerjakan hari itu adalah pekerjaanku.”
Saya yang dalam perjalanan semakin yakin dengan tidak adanya latar belakang dari tani ini apabila kita berkeyakinan dan tidak memikirkan pada tujuan hasil semata insya Allah hasil pasti akan jalan-Nya , toh ini bukan tentang menang atau kalah tapi kita membuat sejarah untuk diri kita sendiri, semoga apa yang didawuhkan oleh guru kita bersama bisa dipraktikan dalam skala kecil khususnya rumah tangga, keluarga, syukur syukur bisa untuk Indonesia, Amin Amin Amin.
Bantul Yogyakarta 8 Nov 2024
Jamaah Maiyah Mocopat Syafaat tinggal di Yogyakarta.