Tadabbur Hari ini (62)
HIKMAH LOMBOK DAN KEARIFAN LOKAL

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيم
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ
غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
(Al-Fatihah: 1-7)

Pesepakbola kita itu sebelumnya ketika berada di Jakarta kehilangan dompet. Kemudian ia menelpon kita dan kita minta ketemu di Mojokerto. Ternyata kemudian ada orang di Mojokerto yang menemukan dompetnya.

Sebelum tiba di Mojokerto ia bersama istrinya makan siang di sebuah restoran. Ia pesan Capcay, kemudian menjumpai lombok di makanan itu pucuknya sudah hitam karena membusuk. Ia mau memprotes atau membuang makanan itu, tapi kemudian tiba-tiba muncul sesuatu yang lain di pikirannya. Ia kemudian memotong bagian hitam dari Lombok itu dan sisanya ia makan.

Apa pentingnya pucuk bosok Lombok itu masuk ke dalam tadabbur kita. Kemungkinan lain andaikan kita yang mengalaminya: pucuk Lombok hitam busuk itu bisa saja membuat kita membenci dan menolak seluruh batang Lombok itu, bahkan bisa juga menganggap seluruh makanan di piring itu busuk. Itu membuat kita marah dan protes kepada pemilik warung karena kita yakin itu adalah hak kita sebagai konsumen. Tidak mustahil kita bukan hanya protes dan marah, bisa juga kita naik pitam dan membuang seluruh isi piring itu. Bahkan kasus itu bisa kita laporkan kepada Lembaga atau Komisi Hak-hak Konsumen.

Dan itu semua bukanlah yang terjadi serta bukan jenis keputusan yang diambil oleh pesepakbola kita. Kita menjadi tahu bahwa kebijaksanaan perilaku dan hikmah kehidupan tidak bisa dipastikan hanya dimiliki oleh muslim alim saleh, oleh Kiai, Ustadz, Ulama madzhab atau Mursyid Thariqat. Bisa jadi orang awam biasa, tukang becak, bahkan pengemis, berkemungkinan memiliki kebijaksanaan hidup yang pada kasus-kasus tertentu melebihi tokoh-tokoh spiritual atau pemimpin-pemimpin masyarakat.

Lihat juga

Penciptaan langit dan bumi, siang malam dan bergantiannya siang malam, oleh Allah disebut merupakan tanda-tanda bagi Ulul Albab. Dan untuk soal tertentu, mungkin saja seorang yang awam remeh dan miskin di pojok kampung ternyata lebih ulul albab dibanding tokoh-tokoh hebat yang popular dan kita kagumi. Kearifan budaya bangsa Jawa memperingatkan: “Ojo dumeh, ojo gumunan, ojo kagetan”.

Di antara kita sendiri mungkin tidak banyak yang menemukan kearifan pucuk hitam lombok pesepakbola itu. Mungkin banyak di antara kita yang dalam berbagai peristiwa atau kasus, entah dengan siapapun, kecil maupun besar, yang “membuang seluruh isi piring” itu. Sejak SD guru kita mengajari: “nila setitik merusak susu sebelanga”. Atau dari spektrum lain “kuman di seberang laut tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak”. Apa yang digambarkan oleh peribahasa klasik itu kalau kita simulasikan terjadi di dalam pergaulan di kampung, dalam komunitas atau organisasi, apalagi dalam pergaulan kenegaraan dan politik akan menjadi triggermuncul atau merebaknya kekacauan komunikasi, bahkan mungkin meledaknya khaos. Sikap over-subyektif seperti itu pasti akan merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak atau minimal orang lain yang terkait dengan perkara tersebut. Bahkan bisa sangat lebih fatal dan menghancurkan.

Apalagi iklim budaya dan psikologi kehidupan modern cenderung meremehkan idiom seperti “bisa rumangsa” atau “kriwikan dianggep grojogan”, sehingga mereka sebut “kearifan lokal”, dan itu maksudnya tidak berlaku global atau universal, maka tidak apa-apa diremehkan.

Tetapi mungkin itu memang kecenderungan kerapuhan pada jiwa dan akal manusia, sehingga Allah memberi tuntunan langsung di AlQur`an:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ
وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَ‍َٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Maidah: 8)

Itu merupakan kandungan substansial dari algoritma “Maliki Yaumiddin”. Secara umum dan universal, bahkan Allah membeberkan semacam rumus mendasar tentang kehidupan yang mestinya membuat manusia lebih berhati-hati, tidak “asal pukul” atau menyuburkan prasangka:

وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ
وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ
وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (AlBaqarah: 216)

Sejak tulisan tadabbur sebelum ini, inti kasusnya adalah soal “tahu diri”. Mungkin sekali manusia ini punya kecenderungan berupa semacam penyakit jiwa: bahwa semakin ia pandai, kaya, berkuasa atau memiliki keunggulan dan kehebatan di antara sesama manusia — ia semakin tidak tahu diri.

Sedangkan para pengemis misalnya, tidak jarang menunjukkan sikap lebih manusiawi dan lebih rasional. Sesudah kita kasih uang lantas “ngapurancang” membungkukkan badan dan mengucapkan doa-doa berkah untuk kita sebagaimana yang sering kita dengar dari Kiai atau Ustadz di pengajian. Atau banyak pengemis lain yang meskipun tidak sampai mengucapkan doa, tapi bersikap terima kasih, bersyukur dan menunjukkan sopan santun yang mengharukan kita. Sujudnya pesepakbola kita dengan teman-teman kesebelasannya itu apa lagi kalau bukan ungkapan rasa syukur, tidak sekedar atas pertandingan sepakbolanya. Tapi juga atas adanya lapangan, rumput, udara, kaki mereka dan semua bagian diri dan alam yang mereka nikmati dalam bersepakbola.

Aslinya bangsa Nusantara ini sungguh-sungguh bangsa yang beradab, yang berkeadaban atau berperadaban. Aslinya. Juga sangat sadar untuk menjaga harga diri dan martabatnya sebagai manusia.

Seorang mbok-mbok menjual plastikan karak yang harganya 50 ribu rupiah, dikasih oleh teman saya segepok uang yang isinya beratus-ratus ribu. Ia bukan berterima kasih tapi tersinggung, dan langsung mengembalikan gepokan uang itu dengan disisakan haknya yakni 50 ribu rupiah. “Saya ini berjualan, Dèn, bukan mengemis”, katanya ketus.

Sepertinya terpaksa kita menyadari bahwa salah satu efek dari proses modernisasi yang kita jalani bersama dengan bangga dan “umuk” selama ini adalah menurunnya perhitungan manusia tentang harga dirinya, semakin lapuknya martabat diri atau jangan-jangan sampai tingkat terkikisnya martabat kemanusiaan kita.

Emha Ainun Nadjib
29 Juni 2023.

Lihat juga

Lihat juga
Close
Back to top button